Bid'ah dan Heretik dalam Kekristenan: Aliran yang Menyimpang dari Pokok Iman

 

Katolik telah selesai dengan bid;ah dan heretik
Katolik telah selesai dengan bid;ah dan heretik yang menyerang dan melemahkan pokok-pokok iman Kristen malalui Konsisili, pengajaran, penerangan, dan edukasi kepada umat sejak abad pertama. Ist.

Oleh Dr. Laurentius Prasetyo

Kekristenan lahir sebagai sebuah gerakan spiritual yang sederhana namun revolusioner di tengah gemuruh perubahan sejarah.

Dari abad pertama Masehi, ketika para rasul masih berkelana menyampaikan Injil, hingga abad kelima saat Kekaisaran Romawi mulai merangkul agama ini sebagai ideologi negara, gereja menghadapi tantangan besar: mempertahankan kemurnian ajaran.

Pokok iman Kristen, yang kemudian dirumuskan dalam Kredo Nicea pada 325 M, menjadi benteng utama. Kredo ini menegaskan keesaan Tuhan dalam Tritunggal, keilahian Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang setara dengan Bapa, inkarnasi-Nya sebagai manusia sejati, serta keselamatan melalui penebusan-Nya.

Namun, sejak dini, muncul aliran-aliran yang disebut bid'ah, atau heresy dalam istilah Yunani kuno, yang awalnya berarti "pilihan" tapi kemudian bermakna penyimpangan doktrinal. Bid'ah ini bukan sekadar perdebatan intelektual; ia mengancam fondasi iman, memaksa gereja mendefinisikan dirinya melalui konsili dan perdebatan sengit.

Bid'ah dalam Kekristenan awal sering kali lahir dari upaya menyelaraskan Injil dengan filsafat Yunani, tradisi Yahudi, atau pengalaman mistik pribadi. Seperti yang dicatat oleh sejarawan gereja Eusebius dalam Historia Ecclesiastica, gereja mula-mula melihat bid'ah sebagai racun yang merusak kesatuan tubuh Kristus.

Mengapa ini penting? Karena pokok iman bukanlah sekadar dogma kaku, melainkan inti dari hubungan manusia dengan Ilahi. Aliran yang menyimpang sering kali meragukan keilahian Kristus, menolak Tritunggal, atau mengabaikan peran rahmat Tuhan dalam keselamatan, semua itu bertentangan dengan apa yang diajarkan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Galatia: "Jika kami sendiri atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia!" (Galatia 1:8).

bid'ah utama dari abad pertama hingga kelima, bagaimana ia muncul, tokoh-tokohnya, dan mengapa ia ditolak oleh ortodoksi. Melalui lensa sejarah, kita melihat bagaimana konflik ini justru memperkaya pemahaman iman Kristen.

Abad Pertama: Akar Penyimpangan di Tengah Penganiayaan

Pada abad pertama, Kekristenan masih seperti tunas muda yang rentan. Para rasul seperti Petrus dan Paulus sibuk membangun jemaat di Yerusalem, Antiokhia, dan Roma, di tengah penganiayaan dari Kaisar Nero. Namun, sudah muncul bibit bid'ah. Salah satunya adalah Nicolaisme, yang disebutkan dalam Wahyu 2:6 dan 2:15. Aliran ini dikaitkan dengan Nikolaus, salah satu dari tujuh diaken pertama (Kisah Para Rasul 6:5), meski bukti historisnya samar. Nicolaisme menganjurkan kebebasan seksual dan makan makanan persembahan berhala, menyimpang dari etika Kristen yang menekankan kekudusan. Ini bertentangan dengan pokok iman tentang tubuh sebagai bait Roh Kudus, sebagaimana ditegaskan Paulus dalam 1 Korintus 6:19-20. Gereja mula-mula menolaknya karena ia mengaburkan batas antara iman dan budaya pagan.

Lainnya adalah Sirkumcisi atau Ebionisme, yang sering disebut sebagai "heresi pemotong" oleh para Bapa Gereja. Kelompok ini, yang terdiri dari orang Yahudi-Kristen, menuntut pemeluk baru untuk disunat dan mematuhi Hukum Taurat secara ketat, seperti yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul 15. Mereka melihat Yesus sebagai nabi biasa, bukan Anak Allah yang ilahi. Ini menyimpang dari pokok iman tentang keselamatan oleh rahmat, bukan oleh perbuatan hukum, sebagaimana diputuskan dalam Konsili Yerusalem sekitar 50 M. Irenaeus, dalam Against Heresies (akhir abad kedua), mengkritik mereka karena menolak keilahian Kristus, yang esensial untuk doktrin inkarnasi. Bid'ah ini pudar seiring dengan kehancuran Bait Suci pada 70 M, tapi ia mengingatkan betapa rapuhnya kesatuan gereja awal.

Abad Kedua: Ledakan Gnosis dan Dualisme

Abad kedua menjadi era emas bid'ah, ketika Kekristenan menyebar ke dunia Helenistik. Pengaruh filsafat Plato dan mistisisme Timur melahirkan Gnosticisme, aliran yang paling berpengaruh.

Gnostik percaya bahwa dunia materi adalah jahat, diciptakan oleh dewa rendah (Demiurge), dan keselamatan dicapai melalui "gnosis" atau pengetahuan rahasia, bukan iman. Mereka menolak inkarnasi Yesus sebagai manusia sejati, menganggap tubuh-Nya ilusi (Doketisme).

Tokoh seperti Valentinus dan Basilides memimpin sekolah-sekolah Gnostic di Alexandria dan Roma. Valentinus, misalnya, mengajarkan sistem emanasi rumit di mana Kristus adalah salah satu aeon spiritual. Ini bertabrakan dengan pokok iman Tritunggal dan keselamatan universal, karena Gnosticisme elitist, hanya yang "tercerahkan" yang selamat.

Irenaeus dari Lyon, dalam karyanya yang monumental, membongkar Gnosticisme sebagai penyimpangan dari tradisi apostolik. Ia menekankan "aturan iman" (regula fidei), cikal bakal Kredo, yang menegaskan Tuhan sebagai Pencipta yang baik. Serupa dengan itu, Marcionisme, dipelopori Marcion dari Sinope sekitar 140 M, memisahkan Tuhan Perjanjian Lama (dewa hukum yang kejam) dari Tuhan Perjanjian Baru (dewa kasih).

Marcion menyusun kanon Alkitab sendiri, menolak Perjanjian Lama dan sebagian besar Injil. Ini menyimpang dari pokok iman tentang kesatuan Alkitab dan rencana keselamatan Tuhan yang kontinu. Tertullian, apologis Afrika, mengecam Marcion sebagai "pembunuh Tuhan" karena membelah esensi Ilahi.

Montanisme, yang muncul sekitar 170 M di Frigia, menekankan nubuat ekstatik dan akhir zaman yang segera. Dipimpin Montanus, Priscilla, dan Maximilla, aliran ini menuntut asketisme ketat dan mengklaim wahyu baru melebihi Alkitab. Meski tidak langsung menyerang doktrin inti, ia mengancam otoritas gereja karena mengabaikan hirarki episkopal.

Gereja menolaknya di sinode-sinode lokal, melihatnya sebagai ancaman terhadap kanon tertutup. Abad ini juga melihat Adoptionisme, yang menganggap Yesus diadopsi sebagai Anak Allah saat pembaptisan, bukan dari kekal. Ini meragukan keilahian abadi Kristus, pokok iman yang kemudian dikuatkan di Nicea.

Abad Ketiga: Modalisme dan Disiplin Gereja

Pada abad ketiga, ketika Kekristenan mulai diakui secara sporadis, bid'ah bergeser ke isu Trinitas dan disiplin. Sabellianisme atau Modalisme, dipromosikan Sabellius di Roma sekitar 220 M, mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanyalah modus atau manifestasi Tuhan yang sama, bukan pribadi yang berbeda. Ini seperti aktor yang berganti topeng, menyimpang dari pokok iman Tritunggal sebagai tiga pribadi dalam satu esensi. Dionysius dari Alexandria menentangnya, dan konsili lokal mengutuknya karena mengaburkan perbedaan dalam Tritunggal, yang esensial untuk pemahaman penebusan.

Gereja (Katolik) telah selesai dengan segala Heretik, Bid'ah, dan isu-isu yang menyerang dan melemahkan Pokok-pokok Iman Kristen dari zaman ke zaman.

Novatianisme muncul pasca-penganiayaan Decius (250 M). Novatianus, seorang presbiter Roma, menolak penerimaan kembali orang murtad ke gereja, menuntut kemurnian absolut. Ini bertentangan dengan pokok iman tentang pengampunan dan rahmat, sebagaimana diajarkan dalam perumpamaan anak hilang. 

Paus Cornelius menentangnya, dan sinode Roma 251 M mengukuhkan penitensi sebagai jalan kembali. Aliran ini menyoroti ketegangan antara kemurnian dan inklusivitas, tapi ditolak karena mengabaikan kasih karunia Tuhan. Manikeisme, dipelopori Mani dari Persia, menggabungkan dualisme Zoroaster dengan elemen Kristen, melihat dunia sebagai perang antara cahaya dan kegelapan. Meski memengaruhi Agustinus muda, ia ditolak karena menolak kebebasan manusia dan inkarnasi.

Abad Keempat: Puncak Krisis dengan Arianisme

Abad keempat adalah titik balik, ketika Konstantinus Agung mengakhiri penganiayaan melalui Edik Milan (313 M). Namun, ini juga era bid'ah terbesar: Arianisme. Arius, presbiter Aleksandria, mengajarkan bahwa Anak Allah diciptakan, bukan setara dengan Bapa, "ada waktu ketika Ia tidak ada." Ini populer di kalangan intelektual karena selaras dengan filsafat Platonis, tapi menyimpang dari pokok iman keilahian Kristus. Konsili Nicea 325 M, dihadiri 318 uskup, menolaknya dengan kredo yang menyatakan Kristus "sehakikat dengan Bapa" (homoousios). Atanasius dari Aleksandria menjadi pembela utama ortodoksi, menulis Against the Arians.

Donatisme di Afrika Utara, dipimpin Donatus, mirip Novatianisme: menolak sakramen dari uskup yang murtad selama penganiayaan Diokletianus (303-305 M). Agustinus Hippo memeranginya melalui debat dan tulisan seperti De Baptismo, menegaskan validitas sakramen bergantung pada Kristus, bukan manusia. Ini dikuatkan di Konsili Arles 314 M. Euchites atau Messalian, dari Mesopotamia, menekankan doa kontinu untuk kesempurnaan, menolak sakramen. Ini menyimpang dari pokok iman tentang peran gereja dalam keselamatan.

Abad Kelima: Kristologi dan Keselamatan

Abad kelima menyaksikan bid'ah kristologi. Nestorianisme, dipromosikan Nestorius dari Konstantinopel, memisahkan natur ilahi dan manusiawi Kristus menjadi dua pribadi. Ini bertentangan dengan inkarnasi sebagai persatuan sempurna, pokok iman yang dikuatkan di Konsili Efesus 431 M. Cyril dari Aleksandria membela "Theotokos" (Bunda Allah) untuk Maria. Monofisitismo, ekstrem sebaliknya, menggabungkan natur Kristus menjadi satu (ilahi menelan manusiawi), dipimpin Eutyches. Konsili Kalkedon 451 M menolaknya, menyatakan dua natur dalam satu pribadi.

Pelagianisme, dari Pelagius Inggris, menyangkal dosa asal dan menekankan kehendak bebas manusia untuk keselamatan tanpa rahmat. Agustinus menentangnya dalam Confessions dan De Gratia et Libero Arbitrio, menegaskan rahmat sebagai inisiatif Tuhan. Konsili Efesus mengutuknya. Bid'ah ini menyimpang dari pokok iman tentang ketergantungan manusia pada Tuhan.

Gereja (Katolik) Telah Selesai dengan Segala Heretik, Bid'ah, dan Isu-Isu yang Melemahkan Pokok-Pokok Iman Kristen dari Zaman ke Zaman

Di balik megahnya katedral-katedral Gotik dan gemerlapnya ritus Vatikan, Gereja Katolik berdiri sebagai penjaga abadi pokok iman Kristen. Sejak era apostolik hingga zaman modern, gereja ini telah menghadapi gelombang demi gelombang heretik, atau bid'ah, yang berusaha menggoyahkan fondasi spiritualnya. Namun, seperti pohon ek yang semakin kokoh dihantam badai, 

Gereja Katolik telah "selesai" dengan isu-isu ini, dalam arti bahwa ia telah merumuskan respons dogmatis melalui konsili ekumenis, ensiklik paus, dan tradisi apostolik yang tak tergoyahkan. Isu-isu yang berulang sepanjang sejarah, sebagaimana dicatat dalam sejarah gereja, memang "itu-itu saja": keilahian Yesus Kristus, peran Maria sebagai Bunda Allah, dan makna penyaliban sebagai penebusan sejati. Ini bukan kebetulan; bid'ah sering kali lahir dari upaya manusiawi untuk "menyederhanakan" misteri Ilahi, tapi gereja, dengan bimbingan Roh Kudus, telah menegaskan kebenaran ortodoks berulang kali. Melalui lensa sejarah, kita melihat bagaimana konflik ini justru memperkaya pemahaman iman, sebagaimana diuraikan dalam daftar heresi Gereja Katolik.

Mari kita mulai dari keilahian Yesus, isu sentral yang telah menjadi medan pertempuran sejak abad pertama. Heresi seperti Arianisme, yang dipelopori Arius pada awal abad keempat, menyangkal bahwa Yesus setara dengan Bapa secara esensi. Arius mengajarkan bahwa Anak Allah adalah ciptaan pertama, "ada waktu ketika Ia tidak ada," sehingga meragukan keilahian abadi Kristus. Ini bukan sekadar perdebatan filosofis; ia mengancam pokok iman tentang Tritunggal dan keselamatan, karena jika Yesus bukan Tuhan sejati, penebusan-Nya hanyalah ilusi. Gereja Katolik "menyelesaikan" ini melalui Konsili Nicea pada 325 M, di mana 318 uskup menyusun Kredo Nicea yang menegaskan Kristus sebagai "sehakikat dengan Bapa" (homoousios). Atanasius dari Aleksandria, pembela ortodoksi, menulis traktat-traktat yang membongkar Arianisme sebagai penyimpangan dari tradisi apostolik. Meski Arianisme sempat populer di kalangan elit Kekaisaran Romawi, bahkan Kaisar Konstantius II mendukungnya, gereja akhirnya menang, dan isu ini pudar pada abad keenam. Di zaman modern, varian seperti Saksi Yehuwa mengulang tema serupa, tapi Gereja Katolik tetap teguh pada Kredo, membuktikan bahwa isu keilahian Yesus telah "selesai" dalam dogma.

Serupa dengan itu, Adoptionisme, heresi abad kedua dan ketiga, menganggap Yesus sebagai manusia biasa yang "diadopsi" sebagai Anak Allah saat pembaptisan atau kebangkitan. Ini menyimpang dari pokok iman tentang inkarnasi dari rahim perawan, karena menolak keilahian-Nya sejak kekal. Paus Viktor I mengutuknya pada akhir abad kedua, dan Konsili Konstantinopel I (381 M) memperkuatnya dalam Kredo Nicea-Konstantinopel. Heresi ini, yang sering muncul di kalangan Yahudi-Kristen awal, mencerminkan ketegangan antara monoteisme ketat dan Tritunggal, tapi gereja telah menyelesaikannya dengan menekankan bahwa Yesus adalah "Allah dari Allah, Terang dari Terang." Bahkan di era Reformasi, ketika beberapa kelompok Protestan meragukan doktrin ini, Gereja Katolik tetap konsisten, seperti dalam Katekismus Gereja Katolik (1992) yang merujuk kembali ke konsili-konsili awal.

Berpindah ke peran Maria, isu ini sering kali terjalin dengan kristologi. Nestorianisme, yang muncul pada abad kelima melalui Nestorius, Patriarkh Konstantinopel, memisahkan natur ilahi dan manusiawi Kristus menjadi dua pribadi terpisah. Akibatnya, Maria hanya disebut sebagai "Christotokos" (Bunda Kristus), bukan "Theotokos" (Bunda Allah), karena takut mencampur aduk esensi Ilahi. Ini melemahkan pokok iman tentang persatuan hipostatis, dua natur dalam satu pribadi, dan mengaburkan misteri inkarnasi. Gereja Katolik menyelesaikannya di Konsili Efesus (431 M), di mana Cyril dari Aleksandria memimpin debat sengit, dan Maria secara resmi dinyatakan sebagai Theotokos. Konsili ini tidak hanya menolak Nestorianisme tapi juga memperkaya devosi Marian, yang kemudian berkembang menjadi dogma Imakulata Konsepsi (1854) dan Asumsi (1950) oleh Paus Pius IX dan Pius XII. Meski Nestorianisme bertahan di Gereja Asiria Timur, bagi Gereja Katolik, isu ini "selesai", Maria adalah Bunda Allah, penjaga iman ortodoks.

Isu Maria juga muncul dalam Monofisitismo, heresi sebaliknya yang menggabungkan natur Kristus menjadi satu (ilahi menelan manusiawi), dipromosikan Eutyches pada abad kelima. Ini secara tidak langsung memengaruhi pemahaman tentang Maria, karena jika Kristus hanya ilahi, peran Maria sebagai ibu manusiawi menjadi kabur. 

Konsili Kalkedon (451 M) menyelesaikannya dengan menyatakan dua natur tak tercampur dalam satu pribadi, sebuah formula yang menjadi dasar kristologi Katolik hingga kini. Di abad-abad berikutnya, seperti selama Reformasi ketika Martin Luther menolak beberapa devosi Marian, Gereja Katolik mempertahankan posisinya melalui Konsili Trente (1545-1563), yang menegaskan peran Maria dalam keselamatan tanpa menyembahnya sebagai dewi.

Akhirnya, penyaliban, misteri pusat iman Kristen, telah menjadi sasaran heresi seperti Doketisme sejak abad pertama. Doketisme, bagian dari Gnosticisme, mengklaim bahwa Yesus hanya tampak menderita di salib, karena tubuh-Nya adalah ilusi spiritual; dunia materi dianggap jahat, sehingga Tuhan tak mungkin benar-benar inkarnasi. Ini melemahkan pokok iman tentang penebusan melalui darah dan daging, sebagaimana ditegaskan Rasul Yohanes: "Setiap roh yang mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah" (1 Yohanes 4:2). 

Irenaeus dari Lyon membongkarnya dalam Against Heresies (akhir abad kedua), dan Konsili Nicea secara implisit menolaknya dengan menekankan inkarnasi sejati. Gereja Katolik "menyelesaikan" isu ini melalui doktrin penebusan, yang dikuatkan di Konsili Trente dan Vatikan II (1962-1965), di mana penyaliban dilihat sebagai tindakan kasih historis dan abadi.

Sepanjang sejarah, dari abad pertengahan dengan heresi seperti Katarisme (dualisme mirip Gnosticisme) hingga modern dengan sekte-sekte yang meragukan historisitas penyaliban, Gereja Katolik telah menghadapi varian isu-isu ini. Namun, melalui 21 konsili ekumenis dan otoritas magisterium, gereja telah "selesai" dengannya, dalam arti bahwa dogma telah dirumuskan secara definitif. 

Paus Benediktus XVI dalam ensiklik Deus Caritas Est (2005) menyatakan bahwa heresi memaksa gereja untuk mendalami kebenaran, tapi pokok iman tetap tak tergoyahkan. 

Di era sekularisme hari ini, di mana isu keilahian Yesus sering direduksi menjadi mitos atau Maria dilihat sebagai simbol feminis semata, Gereja Katolik mengingatkan bahwa isu "itu-itu saja" ini telah diselesaikan oleh Roh Kudus melalui tubuh Kristus yang hidup. Ini bukan akhir dari dialog, tapi penegasan bahwa iman ortodoks adalah jangkar di tengah arus zaman.

Bid'ah bagi Iman Modern

Bid'ah dari abad pertama hingga kelima bukanlah kegagalan gereja, melainkan katalisator untuk klarifikasi. Melalui konsili seperti Nicea dan Kalkedon, ortodoksi terbentuk, menghasilkan Kredo Nicea-Konstantinopel 381 M yang menjadi dasar iman Kristen hingga kini. Seperti kata Ireneus, "Kesalahan memang tidak pernah muncul sendirian, tapi selalu disertai kebenaran yang lebih dalam." Hari ini, di tengah pluralisme, pelajaran ini relevan: iman sejati bukan statis, tapi hidup melalui dialog dengan penyimpangan. 

Namun, pokok iman tetap: satu Tuhan dalam Tritunggal, Kristus sebagai Juruselamat, dan keselamatan oleh rahmat. Dalam sejarah yang panjang ini, gereja belajar bahwa kesatuan bukanlah keseragaman, melainkan kesetiaan pada Injil.

21 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org