Maria dan Keistimewaannya
Maria dan Keistimewaannya dalam iman dan Ajaran Katolik: Bunda Yesus, Bunda Allah. |
Oleh Fr. Benn Hasan
Maria adalah
seorang perawan yang tinggal di Nazaret, daerah Galilea. Ia adalah puteri dari
Yoakim dan Anna. Maria digambarkan sebagai orang Yahudi sejati. Ia senantiasa
taat pada aturan, dan menunjukkan dirinya sebagai orang Yahudi sejati, bukan
saja hanya secara etnis, lebih dari itu, Maria taat secara spiritual-religius
(Luk. 2:21-24).
Gereja
Katolik amat mencintai dan menghormati Maria. Ia dicintai dan dihormati sebagai
pribadi dan karena tindakan iman yang ia lakukan. Katekismus Gereja Katolik
(KGK) mencatat bahwa “Maria adalah Bunda kita dalam tata rahmat, karena ia
menyetujui secara penuh dan utuh kehendak Bapa, karya penebusan Putra dan
setiap dorongan Roh Kudus, maka Perawan Maria adalah contoh iman dan cinta bagi
Gereja. Ia adalah anggota Gereja yang maha unggul dan sangat khusus”.
Maria Bunda Allah
Ajaran ini pertama kali diresmikan
pada konsili Efesus (431) dan Kalsedon (451), namun hal ini sejatinya tidak
berarti bahwa sebelum tahun 431 Bunda Maria belum disebut sebagai Bunda Allah,
dan bahwa Gereja 'baru' menobatkan Maria sebagai Bunda Allah pada tahun 431.
Kepercayaan Gereja akan peran Maria
sebagai Bunda Allah dan Hawa yang baru sudah berakar sejak abad awal.
Keberadaan Konsili Efesus yang mengajarkan ajaran bahwa Maria adalah Bunda
Allah (Theotokos), berangkat dari konteks zaman bahwa para bapa konsili hendak
menolak ajaran sesat dari Nestorius yang menolak menyebut Maria sebagai
“Theotokos” yang arti literernya adalah “pembawa Allah”, atau dikenal
sebagai Ibu Tuhan.
Dalam Kitab Suci, kita mendengar
bahwa Elisabet menyebut Maria sebagai Ibu Tuhan (Luk 1:43). Hal ini jelas, karena
Yesus Kristus yang dilahirkan oleh Bunda Maria adalah Allah, maka Maria disebut
Bunda Allah.
Maria tetap Perawan
Konsili Konstantinopel II merangkum
ajaran-ajaran penting berkaitan dengan kepercayaan bahwa Yesus sungguh Allah
dan sungguh manusia. Termasuk dalam ajaran ini adalah tentang keperawanan
Maria.
Dogma ini kemudian lebih ditegaskan
lagi melalui Pengajaran Magisterium Gereja Katolik. Kuasa mengajar Gereja
menyatakan bahwa Maria adalah perawan sebelum, pada saat dan sesudah kelahiran
Yesus Kristus. Jadi, sebelum Maria melahirkan Yesus, ia adalah perawan; pada
saat ia melahirkan Yesus ia pun tetap perawan; sesudah melahirkan Yesus, Maria
pun tetaplah seorang perawan. Ajaran ini kemudian disahkan secara definitif
oleh Paus St. Martin I di Sinode Lateran tahun 649.
Sinode
Lateran menyatakan: “Maria
yang tetap perawan dan tak bernoda yang terberkati, mengandung tanpa benih
manusia, oleh Roh Kudus, dan tanpa kehilangan keutuhan melahirkan Dia dan
sesudahnya tetap perawan. Maka, seperti Kritus yang bangkit dengan tubuh-Nya
dapat menembus pintu-pintu rumah yang terkunci (lihat Yoh 20: 26), maka pada
saat kelahiran-Nya, Ia pun lahir dengan tidak merusak keperawanan ibu-Nya,
yaitu Bunda Maria.”
Kristus yang datang ke dunia untuk menebus dosa dan memulihkan kerusakan akibat dosa, tidak mungkin pada saat kedatangan-Nya malah merusak keutuhan ibu-Nya sendiri.
Maria dikandung tanpa noda dosa asal
Paus Pius IX melalui dogma Ineffabilis
Deus, menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung tanpa noda dosa asal. Bagi
Gereja Katolik Roma, dogma Dikandung Tanpa Noda menjadi semakin penting setelah
penampakannya di Lourdes pada tahun 1858.
Maria adalah Yang Saleh, tanpa
salah, tanpa noda, “yang terpisah dari orang-orang berdosa” (Ibr 7:26).
Keterpisahan Kristus secara total dengan dosa, mensyaratkan kekudusan ibu-Nya
juga, sebab penjelmaan-Nya sebagai manusia mengambil tempat di tubuh ibu-Nya.
Dasar dogma ini, karena Kristus
adalah Mesias, Imam Besar Pengantara satu-satunya kepada Allah Bapa, maka Ia
adalah Yang Saleh, tanpa noda. Saleh, kudus dan tak bernoda ini juga berdampak
pada Maria bunda-Nya, sebab dalam inkarnasi, Kristus mengambil kodrat
manusiawinya dalam diri Maria.
Dengan demikian, ibu yang mengandung
Kristus pun harus terpisah sama sekali dengan dosa (tanpa noda dosa) sebab
Kristus yang dikandungnya adalah Allah yang tidak berdosa.
Lalu yang
mungkin menjadi pertanyaan, sejak kapan Maria dikandung tanpa noda dosa? Karena kehidupan manusia dimulai
sejak terbentuk dalam rahim ibu (lih. Ayb 31:15, Mzm 139:13), maka Bunda Maria
dikuduskan Allah, sejak ia terbentuk di dalam kandungan ibunya. Bunda Maria
dikuduskan, yaitu dibebaskan dari noda dosa, sebab ia dipersiapkan Allah untuk
mengandung dan melahirkan Putera-Nya yang kudus dan tak berdosa. Jadi kekudusan
Bunda Maria sesungguhnya merupakan karunia Allah yang diberikan kepadanya demi
tugas istimewanya sebagai Bunda bagi Sang Putera Allah.
Maria diangkah ke surga
Bunda Maria “diangkat” ke surga,
bukan “naik” ke surga. Kata “diangkat” mau menyatakan bahwa Maria ke surga
bukan karena kekuatannya sendiri, melainkan diangkat oleh kuasa Allah. Hal ini
sama sekali berbeda dengan Yesus yang “naik” ke surga oleh kekuatan-Nya
sendiri.
Bunda Maria sejak awal tidak
berdosa, ia dikandung tanpa noda dosa asal. Ia pun sepanjang hidupnya berhasil
menjaga diri dengan tidak berdosa. Oleh karena itu, Maria menjadi yang pertama
dari semua orang beriman yang menerima penggenapan janji Kristus akan mahkota
kehidupan abadi (lih. Yak 1:12; 1Kor 9:25; Why 2:10).
Bunda Maria telah membuktikan iman
dan kesetiaannya sampai akhir hidupnya, maka ia beroleh penggenapan janji Tuhan
itu. Dogma Maria Diangkat ke Surga ini dinyatakan oleh Paus Pius XII pada
tanggal 1 November 1950, lewat sebuah Konstitusi Apostolik berjudul Munificentissimus
Deus, yang mengatakan: “Maria, Bunda Allah yang tak bernoda dan Bunda Allah yang tetap Perawan,
setelah selesai hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam
kemuliaan surgawi.”
Jadi sesungguhnya dogma tentang
‘Bunda Maria Diangkat ke Surga’, bukan semata-mata hanya untuk menghormati
Bunda Maria, tetapi juga untuk mengingatkan akan pengharapan kita sebagai umat
beriman, yaitu bahwa jika kita setia beriman sampai akhir seperti Bunda Maria,
kita pun akan diangkat ke Surga, tubuh dan jiwa, dan memeroleh mahkota
kehidupan.