Tujuh Perkataan Yesus di Kayu Salib Dari Doa Ratapan Mazmur 22 hingga Pengampunan Illahi

 

7 Kata Yesus di kayu salib.
Kata-kata Yesus di salib mengutip Mazmur: doa dalam kesesakan dan penyerahan pada Allah. Ist.

Oleh Dr. Laurentius Prasetyo 

Ada yang mengguncang hati setiap kali membaca bagian Injil tentang kematian Yesus. Ia yang dikenal penuh kuasa, sanggup menyembuhkan orang lumpuh, membangkitkan orang mati, bahkan menenangkan badai, kini bergantung tak berdaya di kayu salib. Tetapi justru dalam momen itulah terungkap sesuatu yang lebih dalam. Ucapan-Nya terakhir bukan sembarang kata, melainkan gema dari kitab doa bangsa-Nya: Mazmur.

Yesus tidak mengarang kata-kata terakhir itu. Ia mengutip, melanjutkan, dan menghidupi ratapan yang sudah ribuan tahun menjadi milik umat Israel. Mazmur 22, misalnya, dengan seruan: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”. Ini adalah sebuah doa yang mewakili jerit manusia di puncak penderitaan. Juga Mazmur 31:6, doa kepercayaan penuh: “Ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.”

Di kayu salib, ratapan itu bukan hanya menjadi keluhan, tetapi doa yang hidup. Yesus meminjam bahasa doa nenek moyangnya untuk menafsirkan derita-Nya. Dengan demikian, penderitaan-Nya bukan terputus dari sejarah umat, melainkan menjadi bagian dari alur panjang pergumulan manusia yang mencari Allah. Ratapan berubah menjadi doa, dan doa itu berbuah keselamatan.

Ampunan yang Tak Masuk Akal

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34).

Kata-kata pertama dari salib mengejutkan. Manusia pada umumnya, bila disakiti, bereaksi dengan amarah atau dendam. Tetapi Yesus membuka penderitaan-Nya dengan permohonan ampun, bukan untuk diri-Nya, melainkan untuk mereka yang menyiksa dan menyalibkan-Nya.

Di balik doa itu, ada gema nubuat Yesaya 53:12: “Ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak.” Di kayu salib, Yesus bukan hanya korban, Ia juga imam yang mempersembahkan doa syafaat. Permohonan ampun itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang mengubah logika dunia.

Inilah momen ketika “ampunan” bukan teori, tetapi kenyataan. Para serdadu Romawi, imam-imam Yahudi, dan orang banyak yang mengejek-Nya, tak pernah meminta ampun. Namun Yesus mendahului mereka dengan doa pengampunan. Itulah radikalitas Injil: kasih yang melampaui akal sehat, ampunan yang lahir bahkan sebelum ada penyesalan.

Janji di Ambang Kematian

Di kanan dan kiri Yesus ada dua penjahat. Satu mengejek, yang lain merendahkan diri: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Jawaban Yesus singkat tetapi mengguncang: “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43).

Janji itu menghadirkan paradoks. Di saat Yesus tampak kalah, dicemooh, dan sekarat, Ia tetap berbicara sebagai Raja yang berdaulat. Di tengah rasa sakit, Ia masih punya ruang untuk menyelamatkan. Dan yang diselamatkan bukan orang saleh, bukan imam, bukan rabi, melainkan seorang penjahat di ambang maut.

Gema Perjanjian Lama jelas: Yesaya 49:9 berbicara tentang Mesias yang berkata kepada orang-orang terkurung, “Keluarlah!” Firdaus di sini bukan sekadar taman Eden yang hilang, melainkan simbol pemulihan total. Di kayu salib, Yesus membuka pintu surga bahkan bagi orang yang di mata dunia sudah tak pantas. Janji itu meneguhkan bahwa anugerah Allah tak mengenal batas.

Cinta Keluarga di Tengah Derita

“Ibu, inilah anakmu!... Inilah ibumu!” (Yoh 19:26–27).

Salib adalah tempat penderitaan, tetapi juga ruang kasih. Dari ketinggian kayu salib, Yesus masih memikirkan Maria, ibunya. Ia tidak membiarkan Maria sendirian menghadapi masa depan. Dengan menunjuk murid yang dikasihi-Nya, Yesus membentuk keluarga baru.

Kata-kata itu sederhana, tetapi sarat makna. Ia menegaskan bahwa iman bukan hanya soal relasi vertikal dengan Allah, tetapi juga horizontal dengan sesama. Bahkan dalam penderitaan, Yesus menunjukkan kesetiaan pada hukum Taurat yang menuntut hormat kepada orangtua.

Peristiwa ini mengisyaratkan pembentukan komunitas iman baru: Maria, simbol Israel, dan murid yang dikasihi, simbol Gereja. Di kaki salib, lahir sebuah keluarga rohani yang melintasi ikatan darah. Itulah pewartaan kasih yang tetap bertahan meski dunia runtuh.

Kesepian Kosmik Sang Mesias

“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46; Mrk 15:34).

Inilah pekikan yang paling menyayat. Seolah-olah Yesus merasakan jurang keterpisahan dari Bapa. Di balik kalimat itu, tersimpan kutipan Mazmur 22:2. Banyak ahli tafsir melihat bahwa Yesus menghidupi seluruh mazmur itu, dari ratapan di awal hingga kemenangan di akhir.

Jeritan ini menyentuh sisi terdalam manusia: rasa ditinggalkan. Dalam kesepian kosmik itu, Yesus menanggung pengalaman yang paling gelap, agar tidak ada lagi manusia yang merasa sendirian.

Namun jeritan itu bukan tanda putus asa, melainkan doa. Mazmur 22 pada akhirnya berujung pada pujian: “Ia tidak memandang hina penderitaan orang yang tertindas… kepada-Nya ia berseru minta tolong, dan Ia mendengarnya.” Yesus, bahkan dalam perasaan ditinggalkan, tetap berpaut pada Allah. Di situlah iman diuji, dan dari situ lahirlah keselamatan.

Tetes Haus dan Nubuat yang Hidup

“Aku haus.” (Yoh 19:28).

Sebuah ucapan singkat, nyaris tak penting bila dibandingkan dengan kata-kata sebelumnya. Namun Yohanes menulisnya dengan teliti, bahkan menyebut bahwa hal itu diucapkan “supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci.” Nubuat yang dimaksud adalah Mazmur 69:22: “Untuk minumanku mereka memberi aku cuka.”

Haus itu nyata, tubuh Yesus memang kering oleh penderitaan. Tetapi ucapan ini juga lambang dahaga rohani. Ia yang dulu berkata, “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum” (Yoh 7:37), kini sendiri merasakan kehausan terdalam.

Haus itu bukan hanya karena luka, melainkan juga kerinduan agar karya penebusan-Nya genap. Dan ketika prajurit memberi-Nya anggur asam, nubuat pun tergenapi. Dari situ kita belajar: dalam detail yang tampak kecil sekalipun, Allah menepati janji-Nya.

Penyerahan Diri dan Tuntasnya Karya

Dua kalimat terakhir Yesus menyatu menjadi puncak: “Sudah selesai” (Yoh 19:30) dan “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23:46).

“Sudah selesai” bukan sekadar pengakuan bahwa hidup-Nya berakhir. Itu deklarasi kemenangan: seluruh misi yang dipercayakan Bapa telah tuntas. Kata Yunani yang dipakai, tetelestai, berarti “sudah digenapi,” “sudah sempurna.” Segala nubuat, hukum Taurat, janji keselamatan — semua mencapai puncaknya di salib.

Dan dengan menyerahkan nyawa-Nya ke tangan Bapa, Yesus menutup hidup-Nya dengan doa. Mazmur 31:6 menjadi doa penutup yang penuh kepercayaan. Di sana tak ada lagi ratapan, hanya penyerahan total.

Inilah kontras indah: dari awal, Yesus memulai penderitaan dengan doa pengampunan; di akhir, Ia menutupnya dengan doa penyerahan. Salib menjadi bingkai doa yang menyatukan bumi dan surga, manusia dan Allah, ratapan dan kemenangan.

Salib sebagai Tafsir Kitab Suci

Ketujuh perkataan Yesus di kayu salib bukan sekadar kata-kata perpisahan. Ia sedang menafsirkan ulang seluruh Kitab Suci melalui hidup dan matinya. Mazmur, nubuat Yesaya, janji para nabi, hukum Taurat — semua berlabuh di Kalvari.

Dengan kata-kata itu, Yesus mengajar bahwa penderitaan bisa menjadi doa, bahwa kasih tetap mungkin di tengah derita, bahwa ampunan mendahului penyesalan, dan bahwa penyerahan diri kepada Allah adalah puncak iman.

Di kayu salib, Yesus bukan hanya mati. Ia juga berbicara, mengajar, dan berdoa. Dan doa-Nya, sampai hari ini, masih bergema.

Pontianak, 11 September 2025

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org