Tujuh Perkataan Yesus di Kayu Salib Dari Doa Ratapan Mazmur 22 hingga Pengampunan Illahi
Kata-kata Yesus di salib mengutip Mazmur: doa dalam kesesakan dan penyerahan pada Allah. Ist. |
Ada yang mengguncang hati setiap kali membaca bagian Injil tentang kematian Yesus. Ia yang dikenal penuh kuasa, sanggup menyembuhkan orang lumpuh, membangkitkan orang mati, bahkan menenangkan badai, kini bergantung tak berdaya di kayu salib. Tetapi justru dalam momen itulah terungkap sesuatu yang lebih dalam. Ucapan-Nya terakhir bukan sembarang kata, melainkan gema dari kitab doa bangsa-Nya: Mazmur.
Yesus tidak mengarang kata-kata terakhir itu. Ia mengutip,
melanjutkan, dan menghidupi ratapan yang sudah ribuan tahun menjadi milik umat
Israel. Mazmur 22, misalnya, dengan seruan: “Allahku, Allahku, mengapa
Engkau meninggalkan aku?”. Ini adalah sebuah doa yang mewakili jerit
manusia di puncak penderitaan. Juga Mazmur 31:6, doa kepercayaan penuh: “Ke
dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.”
Di kayu salib, ratapan itu bukan hanya menjadi keluhan,
tetapi doa yang hidup. Yesus meminjam bahasa doa nenek moyangnya untuk
menafsirkan derita-Nya. Dengan demikian, penderitaan-Nya bukan terputus dari
sejarah umat, melainkan menjadi bagian dari alur panjang pergumulan manusia
yang mencari Allah. Ratapan berubah menjadi doa, dan doa itu berbuah
keselamatan.
Ampunan yang Tak Masuk Akal
“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa
yang mereka perbuat.” (Luk 23:34).
Kata-kata pertama dari salib mengejutkan. Manusia pada
umumnya, bila disakiti, bereaksi dengan amarah atau dendam. Tetapi Yesus
membuka penderitaan-Nya dengan permohonan ampun, bukan untuk diri-Nya,
melainkan untuk mereka yang menyiksa dan menyalibkan-Nya.
Di balik doa itu, ada gema nubuat Yesaya 53:12: “Ia
menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak.” Di kayu salib,
Yesus bukan hanya korban, Ia juga imam yang mempersembahkan doa syafaat.
Permohonan ampun itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang mengubah logika
dunia.
Inilah momen ketika “ampunan” bukan teori, tetapi kenyataan.
Para serdadu Romawi, imam-imam Yahudi, dan orang banyak yang mengejek-Nya, tak
pernah meminta ampun. Namun Yesus mendahului mereka dengan doa pengampunan.
Itulah radikalitas Injil: kasih yang melampaui akal sehat, ampunan yang lahir
bahkan sebelum ada penyesalan.
Janji di Ambang Kematian
Di kanan dan kiri Yesus ada dua penjahat. Satu mengejek,
yang lain merendahkan diri: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang
sebagai Raja.” Jawaban Yesus singkat tetapi mengguncang: “Sesungguhnya
hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
(Luk 23:43).
Janji itu menghadirkan paradoks. Di saat Yesus tampak kalah,
dicemooh, dan sekarat, Ia tetap berbicara sebagai Raja yang berdaulat. Di
tengah rasa sakit, Ia masih punya ruang untuk menyelamatkan. Dan yang
diselamatkan bukan orang saleh, bukan imam, bukan rabi, melainkan seorang
penjahat di ambang maut.
Gema Perjanjian Lama jelas: Yesaya 49:9 berbicara tentang
Mesias yang berkata kepada orang-orang terkurung, “Keluarlah!” Firdaus
di sini bukan sekadar taman Eden yang hilang, melainkan simbol pemulihan total.
Di kayu salib, Yesus membuka pintu surga bahkan bagi orang yang di mata dunia
sudah tak pantas. Janji itu meneguhkan bahwa anugerah Allah tak mengenal batas.
Cinta Keluarga di Tengah Derita
“Ibu, inilah anakmu!... Inilah ibumu!” (Yoh
19:26–27).
Salib adalah tempat penderitaan, tetapi juga ruang kasih.
Dari ketinggian kayu salib, Yesus masih memikirkan Maria, ibunya. Ia tidak
membiarkan Maria sendirian menghadapi masa depan. Dengan menunjuk murid yang
dikasihi-Nya, Yesus membentuk keluarga baru.
Kata-kata itu sederhana, tetapi sarat makna. Ia menegaskan
bahwa iman bukan hanya soal relasi vertikal dengan Allah, tetapi juga
horizontal dengan sesama. Bahkan dalam penderitaan, Yesus menunjukkan kesetiaan
pada hukum Taurat yang menuntut hormat kepada orangtua.
Peristiwa ini mengisyaratkan pembentukan komunitas iman
baru: Maria, simbol Israel, dan murid yang dikasihi, simbol Gereja. Di kaki
salib, lahir sebuah keluarga rohani yang melintasi ikatan darah. Itulah
pewartaan kasih yang tetap bertahan meski dunia runtuh.
Kesepian Kosmik Sang Mesias
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
(Mat 27:46; Mrk 15:34).
Inilah pekikan yang paling menyayat. Seolah-olah Yesus
merasakan jurang keterpisahan dari Bapa. Di balik kalimat itu, tersimpan
kutipan Mazmur 22:2. Banyak ahli tafsir melihat bahwa Yesus menghidupi seluruh
mazmur itu, dari ratapan di awal hingga kemenangan di akhir.
Jeritan ini menyentuh sisi terdalam manusia: rasa
ditinggalkan. Dalam kesepian kosmik itu, Yesus menanggung pengalaman yang
paling gelap, agar tidak ada lagi manusia yang merasa sendirian.
Namun jeritan itu bukan tanda putus asa, melainkan doa.
Mazmur 22 pada akhirnya berujung pada pujian: “Ia tidak memandang hina
penderitaan orang yang tertindas… kepada-Nya ia berseru minta tolong, dan Ia
mendengarnya.” Yesus, bahkan dalam perasaan ditinggalkan, tetap berpaut
pada Allah. Di situlah iman diuji, dan dari situ lahirlah keselamatan.
Tetes Haus dan Nubuat yang Hidup
“Aku haus.” (Yoh 19:28).
Sebuah ucapan singkat, nyaris tak penting bila dibandingkan
dengan kata-kata sebelumnya. Namun Yohanes menulisnya dengan teliti, bahkan
menyebut bahwa hal itu diucapkan “supaya genaplah yang ada tertulis dalam
Kitab Suci.” Nubuat yang dimaksud adalah Mazmur 69:22: “Untuk minumanku
mereka memberi aku cuka.”
Haus itu nyata, tubuh Yesus memang kering oleh penderitaan.
Tetapi ucapan ini juga lambang dahaga rohani. Ia yang dulu berkata, “Barangsiapa
haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum” (Yoh 7:37), kini sendiri
merasakan kehausan terdalam.
Haus itu bukan hanya karena luka, melainkan juga kerinduan
agar karya penebusan-Nya genap. Dan ketika prajurit memberi-Nya anggur asam,
nubuat pun tergenapi. Dari situ kita belajar: dalam detail yang tampak kecil
sekalipun, Allah menepati janji-Nya.
Penyerahan Diri dan Tuntasnya Karya
Dua kalimat terakhir Yesus menyatu menjadi puncak: “Sudah
selesai” (Yoh 19:30) dan “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan
nyawa-Ku.” (Luk 23:46).
“Sudah selesai” bukan sekadar pengakuan bahwa hidup-Nya
berakhir. Itu deklarasi kemenangan: seluruh misi yang dipercayakan Bapa telah
tuntas. Kata Yunani yang dipakai, tetelestai, berarti “sudah digenapi,”
“sudah sempurna.” Segala nubuat, hukum Taurat, janji keselamatan — semua
mencapai puncaknya di salib.
Dan dengan menyerahkan nyawa-Nya ke tangan Bapa, Yesus
menutup hidup-Nya dengan doa. Mazmur 31:6 menjadi doa penutup yang penuh
kepercayaan. Di sana tak ada lagi ratapan, hanya penyerahan total.
Inilah kontras indah: dari awal, Yesus memulai penderitaan
dengan doa pengampunan; di akhir, Ia menutupnya dengan doa penyerahan. Salib
menjadi bingkai doa yang menyatukan bumi dan surga, manusia dan Allah, ratapan
dan kemenangan.
Salib sebagai Tafsir Kitab Suci
Ketujuh perkataan Yesus di kayu salib bukan sekadar
kata-kata perpisahan. Ia sedang menafsirkan ulang seluruh Kitab Suci melalui
hidup dan matinya. Mazmur, nubuat Yesaya, janji para nabi, hukum Taurat — semua
berlabuh di Kalvari.
Dengan kata-kata itu, Yesus mengajar bahwa penderitaan bisa
menjadi doa, bahwa kasih tetap mungkin di tengah derita, bahwa ampunan
mendahului penyesalan, dan bahwa penyerahan diri kepada Allah adalah puncak
iman.
Di kayu salib, Yesus bukan hanya mati. Ia juga berbicara,
mengajar, dan berdoa. Dan doa-Nya, sampai hari ini, masih bergema.
Pontianak, 11 September 2025