Penyaliban Yesus : Latar Historis dan Pangkal Mula Penebusan
Penyaliban Yesus suatu perbuatan manusia yang ditinggikan dan diubah Allah jadi peristiwa penebusan. |
Oleh Sr. Felicia Tesalonika
Penyaliban Yesus secara historis merupakan konspirasi antara otoritas Romawi di bawah Pontius Pilatus dan para pemimpin Yahudi melalui Sanhedrin. Namun dari sudut iman Kristen, Allah menghadirkan rencana keselamatan melalui peristiwa itu. Seperti oleh satu manusia, Adam, dosa masuk ke dunia, demikian pula oleh satu manusia, Yesus, keselamatan dan pengampunan dosa diberikan. Penyaliban yang tampak sebagai kekalahan justru dimaknai sebagai kemenangan ilahi atas dosa dan maut.
Penyaliban Yesus merupakan peristiwa sentral dalam sejarah Kristen, yang terjadi sekitar tahun 30-33 M di Yerusalem, di bawah pemerintahan Romawi atas Yudea. Peristiwa penyaliban ini tidak dapat dilepaskan dari kodrat Yesus vere Deus, vere homo atau sungguh Alah dan sungguh manusia (Konsili Khalsedon 451 Masehi, Roma 3:23–24, 1 Korintus 15:3–4; Galatia 2:16).
Dari perspektif teologi Katolik, penyaliban ini bukan hanya akhir tragis dari kehidupan Yesus, tetapi juga pemenuhan rencana keselamatan Allah. Namun, untuk memahami mengapa Yesus disalibkan, kita harus melihat konteks historisnya terlebih dahulu.
Yudea pada waktu penyalibab Yesus saat itu adalah provinsi Romawi yang
gelisah, dengan ketegangan antara otoritas Romawi dan pemimpin Yahudi. Pontius
Pilatus, prefek Romawi yang memerintah dari tahun 26-36 M, bertanggung jawab
atas eksekusi, sementara Sanhedrin (dewan Yahudi) memainkan peran dalam
penangkapan dan tuduhan awal.
Yesus ancaman bagi otoritas karena kritik moral dan sosial
Secara historis, penyaliban adalah metode eksekusi Romawi yang brutal, dirancang untuk menghukum pemberontak, budak yang melarikan diri, dan penjahat berat. Josephus, sejarawan Yahudi abad pertama, menggambarkan penyaliban sebagai "kematian paling menyedihkan" yang digunakan Romawi untuk menekan pemberontakan.
Dalam kasus Yesus, tuduhan utama adalah
bahwa Ia mengklaim diri sebagai "Raja Orang Yahudi", yang dianggap
sebagai pengkhianatan terhadap Kaisar Roma. Ini tercermin dalam plakat yang
dipasang di salib: "Yesus dari Nazaret, Raja Orang Yahudi" (Yohanes
19:19). Sumber non-Kristen seperti Tacitus, sejarawan Romawi, mengonfirmasi
eksekusi Yesus oleh Pilatus atas tuduhan politik, menyebutnya sebagai
"pendiri sekte Kristen" yang dieksekusi di bawah Tiberius. Tacitus
menulis dalam Annals (sekitar 116 M): "Kristus, pendiri nama itu, telah
dieksekusi oleh Pontius Pilatus selama pemerintahan Tiberius."
Dari perspektif Yahudi, Yesus dianggap mengancam otoritas
keagamaan. Ia sering mengkritik pemimpin Farisi dan Saduki, menyebut mereka
"orang-orang munafik" (Matius 23:13-36). Konflik ini memuncak ketika
Yesus membersihkan Bait Allah, mengusir pedagang dan penukar uang (Matius
21:12-13), yang dilihat sebagai tindakan provokatif terhadap institusi Yahudi.
Menurut Josephus, periode ini penuh dengan mesias-mesias palsu yang memicu
kerusuhan, dan Yesus mungkin dianggap sebagai salah satunya. Namun, penyaliban
bukan hukuman Yahudi; hukuman mati Yahudi biasanya adalah rajam, seperti untuk
penghujatan (Imamat 24:16). Oleh karena itu, pemimpin Yahudi membawa Yesus ke
Pilatus untuk dieksekusi secara Romawi.
Dalam Alkitab, peristiwa ini dideskripsikan secara rinci.
Dalam Matius 26:3-4, para imam kepala dan tua-tua berkumpul di istana Kayafas
dan merencanakan untuk menangkap Yesus secara diam-diam dan membunuh-Nya.
Mereka takut akan kerusuhan rakyat selama Paskah. Judas Iskariot, salah satu
murid, mengkhianati Yesus dengan imbalan 30 keping perak (Matius 26:14-16),
yang memenuhi nubuat Zakharia 11:12. Penangkapan terjadi di Getsemani, di mana
Yesus berdoa dan menerima nasib-Nya (Markus 14:32-42). Para prajurit Romawi dan
petugas Yahudi menangkap-Nya setelah Judas mencium-Nya sebagai tanda (Markus
14:43-46).
Proses pengadilan Yesus melibatkan dua tahap: pengadilan
Yahudi dan Romawi. Di hadapan Kayafas, Yesus dituduh menghujat karena mengaku
sebagai Mesias dan Anak Allah (Matius 26:63-66). Kayafas merobek pakaiannya dan
menyatakan Yesus layak mati. Kemudian, Yesus dibawa ke Pilatus, di mana tuduhan
bergeser ke politik: "Kami mendapati orang ini menyesatkan bangsa kami,
melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan mengatakan bahwa Ia adalah Mesias,
seorang raja" (Lukas 23:2). Pilatus, setelah memeriksa, menemukan tidak
ada kesalahan pada Yesus (Yohanes 18:38), tapi karena tekanan massa, ia
menyerah dan memerintahkan penyaliban. Herod Antipas juga terlibat singkat,
tapi mengembalikan Yesus ke Pilatus (Lukas 23:6-12).
Kon teks historis ini menunjukkan bahwa penyaliban Yesus
adalah hasil dari konvergensi kepentingan politik dan agama. Romawi melihat
Yesus sebagai potensi pemberontak yang bisa memicu pemberontakan, sementara
pemimpin Yahudi melihat-Nya sebagai ancaman terhadap status quo keagamaan
mereka. Sumber seperti Flavius Josephus dalam Antiquities of the Jews (18.3.3)
menyebut Yesus sebagai "orang bijak" yang dieksekusi oleh Pilatus
atas desakan pemimpin Yahudi, meskipun ada perdebatan tentang keaslian teks
tersebut. Secara keseluruhan, latar belakang ini menjelaskan mengapa Yesus,
yang mengajarkan kasih dan perdamaian, akhirnya disalibkan: Ia mengganggu
kekuasaan yang ada.
Perspektif Romawi dan Yahudi
Dari sudut pandang historis, penyaliban Yesus dapat dianalisis melalui lensa Romawi dan Yahudi, berdasarkan sumber-sumber kuno seperti Injil, Josephus, Tacitus, dan Plinius Muda. Perspektif Romawi melihat penyaliban sebagai alat untuk mempertahankan pax Romana, sementara perspektif Yahudi melibatkan konflik internal keagamaan.
Dari perspektif Romawi, Yesus disalibkan karena dianggap sebagai ancaman politik. Romawi menggunakan penyaliban untuk menekan pemberontakan, khususnya di provinsi-provinsi rawan seperti Yudea. Menurut Tacitus, Pilatus mengeksekusi Yesus karena tuduhan "superstitio" atau ajaran sesat yang bisa mengganggu ketertiban. Tuduhan utama adalah bahwa Yesus mengklaim sebagai raja, yang bertentangan dengan otoritas Kaisar. Dalam Yohanes 19:12, pemimpin Yahudi berkata kepada Pilatus: "Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar." Ini membuat Pilatus takut kehilangan posisinya, karena laporan ke Roma bisa merusak karirnya. Sejarawan seperti Philo dari Aleksandria menggambarkan Pilatus sebagai pemimpin kejam yang sering menggunakan kekerasan untuk menekan kerusuhan Yahudi.
Penyaliban itu sendiri adalah hukuman Romawi yang dirancang untuk mempermalukan dan menakut-nakuti. Korban dipukuli, dibuat membawa salibnya, dan digantung telanjang di tempat umum. Dalam Markus 15:16-20, prajurit Romawi memakaikan jubah ungu dan mahkota duri pada Yesus, mengejek-Nya sebagai "Raja Orang Yahudi". Ini mencerminkan sikap Romawi terhadap klaim mesianik Yahudi, yang sering dilihat sebagai pemberontakan. Sumber arkeologi, seperti tulang kaki Yehohanan bin Hagkol yang ditemukan di Yerusalem dengan paku masih tertancap, mengonfirmasi metode Romawi ini. Yesus kemungkinan disalibkan pada hari Jumat, karena Alkitab menyebutnya sebagai "hari persiapan" sebelum Sabat (Markus 15:42).
Dari perspektif Yahudi, Yesus disalibkan karena dianggap sebagai penghujat dan pengacau. Pemimpin Sanhedrin takut Yesus akan memicu kerusuhan selama Paskah, ketika Yerusalem penuh peziarah. Dalam Yohanes 11:47-50, Kayafas berkata: "Lebih baik satu orang mati untuk bangsa daripada seluruh bangsa binasa." Ini menunjukkan perhitungan politik: Yesus harus dikorbankan untuk menghindari intervensi Romawi yang lebih besar. Tuduhan penghujatan datang dari pengakuan Yesus sebagai Anak Allah (Markus 14:61-64), yang melanggar hukum Taurat (Ulangan 13:1-5). Namun, Yahudi tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi hukuman mati di bawah Romawi (Yohanes 18:31), jadi mereka memanipulasi Pilatus dengan tuduhan politik.
Josephus dalam Antiquities (18.63-64) menyebut Yesus sebagai "pembuat mukjizat" yang dieksekusi atas desakan "orang-orang terkemuka di antara kami" (Yahudi). Talmud Yahudi kemudian (Sanhedrin 43a) menyebut Yesus dieksekusi karena penyihir dan menyesatkan Israel, meskipun ini sumber abad kemudian. Secara historis, penyaliban Yesus mencerminkan ketegangan antara gerakan mesianik Yahudi dan otoritas Romawi-Yahudi. Banyak mesias palsu seperti Theudas atau orang Mesir (Kisah 21:38) juga dieksekusi serupa. Argumen ini didukung oleh fakta bahwa murid-murid Yesus melarikan diri, menunjukkan ketakutan akan nasib serupa (Matius 26:56).
Secara keseluruhan, argumen historis menunjukkan bahwa penyaliban Yesus adalah hasil dari dinamika kekuasaan: Romawi untuk stabilitas politik, Yahudi untuk pelestarian agama. Ini bukan anti-Semitisme, tapi konteks kolonial Romawi.
Argumen Teologis dari Alkitab
Dari perspektif teologi Katolik, penyaliban Yesus memiliki makna mendalam sebagai pengorbanan penebusan dosa. Alkitab memberikan dasar teologis melalui nubuat Perjanjian Lama dan narasi Perjanjian Baru.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri meramalkan penyaliban-Nya. Dalam Matius 20:18-19: "Sesungguhnya, kita pergi ke Yerusalem, dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala... dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa lain untuk diejek, disesah dan disalibkan." Ini menekankan bahwa penyaliban adalah bagian dari rencana ilahi, bukan kecelakaan.
Narasi penyaliban menyoroti makna teologis. Dalam Lukas 23:33-34, Yesus disalibkan di antara dua penjahat, memenuhi Yesaya 53:12: "Ia dicacah di antara orang-orang durhaka." Yesus berdoa: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Ini menunjukkan belas kasih-Nya sebagai penebus. Dalam Yohanes 19:30, Yesus berkata: "Sudah selesai," menandakan penyelesaian misi penebusan.
Teologis, penyaliban adalah kurban sempurna. Dalam Ibrani 9:22: "Tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan." Darah Yesus adalah darah perjanjian baru (Matius 26:28), menggantikan kurban hewan Perjanjian Lama. Roma 3:25: "Allah telah menetapkan Dia sebagai kurban pendamaian di dalam darah-Nya." Ini menebus dosa Adam (Roma 5:18-19).
Dalam Markus 15:34, Yesus berseru: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" (Mazmur 22:1), menunjukkan Ia menanggung pemisahan dari Bapa karena dosa kita. Namun, ini mengarah pada kebangkitan, membuktikan kemenangan atas maut (1 Korintus 15:3-4).
Dari perspektif Katolik, ini adalah misteri Paskah: kematian membawa kehidupan. Katekismus Gereja Katolik (CCC 571-630) menyatakan bahwa penyaliban adalah puncak Inkarnasi, di mana Yesus menanggung dosa dunia.
Makna Teologis dalam Teologi Katolik
Dalam teologi Katolik, penyaliban Yesus adalah tindakan kasih Allah yang ultimate, menebus umat manusia dari dosa asal. Ini bukan kegagalan, tapi kemenangan. CCC 599 menyatakan: "Kematian kekerasan Yesus bukanlah hasil kebetulan... tapi bagian dari misteri rencana Allah."
Teologis, penyaliban adalah penebusan. Melalui kematian-Nya, Yesus membayar hutang dosa (Kolose 2:14). Santo Tomas Aquinas menjelaskan bahwa kematian Yesus bukan mutlak diperlukan, tapi paling sesuai untuk menunjukkan kasih Allah (Summa Theologica III, q. 46). Ini menggabungkan keadilan dan belas kasih: dosa dihukum, tapi manusia diselamatkan.
Dalam Misa Kudus, penyaliban diperingati melalui Ekaristi, di mana roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus (1 Korintus 11:23-26). Ini adalah pengorbanan abadi, hadir dalam setiap Misa.
Akhirnya, penyaliban mengarah pada kebangkitan, membuka surga. CCC 654:
"Dalam kematian-Nya, Kristus membebaskan kita dari dosa; dalam kebangkitan-Nya, Ia membuka bagi kita hidup baru." Ini adalah dasar iman Katolik, di mana salib menjadi simbol harapan, bukan kekalahan.
Jayapura, 11 September 2025