Paus dari Santo Petrus hingga Leo XIV tetap Solid dan kian Berkembang
Paus dari Petrus hingga Leo XIV tetap solid dan kian berkembang. Ist. |
Oleh Br. Comas Damianus
Gereja Katolik organisasi keagamaan yang terbukti solid. Lebih dari dua ribu tahun bukannya mundur, sebaliknya anggotanya bertambah berbilang-bilang.
Di bawah langit Roma yang abadi, di mana Sungai Tiber mengalir seperti vena sejarah yang tak pernah kering, berdiri sebuah institusi yang telah menyaksikan lahirnya kerajaan, runtuhnya imperium, dan lahirnya era baru. Institusi itu adalah kepausan, jabatan Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik.
Mulai dari Santo Petrus, sang nelayan Galilea yang menjadi
batu karang pertama, hingga Paus Fransiskus yang memimpin umat di abad ke-21,
daftar Paus membentang panjang, penuh liku, dan sarat makna. Tapi apa dasar
segalanya? Mengapa seorang manusia biasa bisa menjadi "wakil Kristus di
bumi"?
Jawabannya tertanam dalam naskah suci Alkitab, khususnya
dalam kata-kata Yesus kepada Petrus. Dan hari ini (11 September 2025), di tahun
2025, umat yang dipimpin institusi ini telah menjangkau 1,406 miliar jiwa di
seluruh dunia, sebuah angka yang mencerminkan ketahanan iman di tengah badai
modernitas.
Kisah ini bukan sekadar kronologi. Ia adalah narasi tentang
bagaimana satu rantai suksesi, dari 266 Paus, menjaga api api Petrus tetap
menyala, meski angin sejarah berhembus kencang.
Dasar Alkitab dan Kelahiran Kepausan
Bayangkan sebuah pantai berbatu di sekitar Kaisarea Filipi,
angin laut menyapu wajah para murid Yesus. Di sana, di tengah keramaian suara
ombak, Yesus bertanya: "Siapakah kamu katakan Aku ini?"
Simon Petrus menjawab, tegas, "Engkau adalah Mesias,
Anak Allah yang hidup." (Matius 16:15–16; Markus 8:29; Lukas 9:20).
Saat itulah Yesus merespons dengan kalimat yang menjadi
pondasi kepausan: "Maka Akulah yang memberitahukan kepadamu: Engkau adalah
Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam
maut tidak akan menguasainya. Aku akan memberikan kepadamu kunci Kerajaan
Sorga; apa yang engkau ikat di dunia ini terikatlah di sorga, dan apa yang
engkau lepaskan di dunia ini terlepaslah di sorga." Matius 16:18-19.
Kalimat pendek itu, penuh bobot. Ia bukan sekadar pujian. Ia adalah penunjukan.
Dasar kepausan, bagi Gereja Katolik, berakar pada ayat-ayat
itu. Petrus, dari bahasa Yunani Petros, berarti batu diberi peran unik:
batu karang Gereja, pemegang kunci kerajaan sorgawi. Bukan kebetulan Yesus
memilih kata "batu karang" (petra dalam Yunani asli), yang
menggemakan nama Petrus sendiri. Ini adalah permainan kata yang disengaja,
sebuah metafor yang mengikat kepemimpinan Petrus dengan kestabilan ilahi. Ayat
lain memperkuatnya.
Di Lukas 22:31-32, Yesus berdoa khusus untuk Petrus: "Simon, Simon, sesungguhnya Iblis telah menuntut kamu untuk menggoncang kamu seperti gandum. Tetapi Aku telah berdoa untukmu, supaya janganlah imanmu merosot." Di sini, Petrus ditugaskan memperkuat saudara-saudaranya, sebuah mandat kepemimpinan universal.
Dalam Yohanes 21:15-17, setelah kebangkitan,
Yesus bertanya tiga kali: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi
Aku?" Setiap kali, Petrus menjawab ya, dan Yesus menyuruh:
"Gembalakanlah dombaku." Tiga kali pengulangan itu, seperti penebusan
tiga kali pengingkaran Petrus. Ini adalah serah terima kepausan pertama, penuh
kelembutan dan kedalaman.
Dari situ, suksesi dimulai. Santo Petrus, Paus pertama,
memimpin dari sekitar tahun 32 hingga 67 Masehi. Ia tiba di Roma, ibu kota
kekaisaran, dan mati sebagai martir di bawah Nero disalib terbalik di Bukit
Vatikan, menolak mati seperti Tuhannya. Penggantinya, Santo Linus (67-76),
disebut dalam surat Rasul Paulus kepada Timotius. Kemudian St. Anakletus
(76-88), St. Klemens I (88-97) yang menulis surat ke Korintus, menegaskan
otoritas Roma atas gereja lain. Daftar ini, menurut katalog resmi Gereja,
berlanjut: St. Evaristus (97-105), St. Aleksander I (105-115), St. Sixtus I
(115-125). Masa awal ini singkat, penuh bayang-bayang penganiayaan. Paus-paus
ini bukan raja-raja megah. Mereka adalah uskup Roma, pemimpin komunitas kecil
yang bertahan di gua-gua bawah tanah, katakombe, di mana darah martir menjadi
tinta pertama sejarah kepausan.
Lima puluh tahun pertama, Gereja tumbuh pelan. Hanya 22 Paus
sebelum Konsili Nicea tahun 325, ketika Kekristenan dilegalkan oleh Kaisar
Konstantin. St. Sylvester I (314-335) hadir di konsili itu, menyaksikan
bagaimana iman yang dulu dikejar singa kini menjadi tulang punggung kekaisaran.
Tapi dasar tetap Alkitabiah: Petrus sebagai batu, dan para penerusnya sebagai
penjaga kunci. Kritikus Protestan sering menantang, mengatakan "batu
karang" adalah pengakuan iman Petrus, bukan orangnya. Tapi konteks Yahudi
saat itu di mana "batu karang" mengingatkan pada Daud atau Abraham menunjukkan
Yesus membangun dinasti kepemimpinan, bukan sekadar doktrin abstrak.
Singkatnya, kepausan lahir dari kata-kata Yesus, di tepi danau Galilea, dan
menyebar ke seluruh dunia melalui darah para martir.
Kepausan bukan ciptaan manusia. Ia adalah warisan ilahi,
yang dimulai dengan satu pertanyaan sederhana dari Yesus. Dari sana, rantai
panjang dimulai—266 nama, masing-masing membawa beban yang sama.
Kepausan di Abad Pertengahan
Roma jatuh tahun 476, ketika Odoacer menggulingkan Romulus
Augustulus. Tapi Roma rohani bangkit. Paus-paus abad pertengahan, dari St.
Gelasius I (492-496) hingga Paus Gregorius VII (1073-1085), menavigasi lautan
politik yang bergelombang. Gelasius, misalnya, menulis surat terkenal kepada
Kaisar Anastasius: "Dua pedang ada, pedang rohani dan duniawi." Ia
memisahkan kekuasaan gereja dari negara, sebuah prinsip yang akan bergema
hingga hari ini. Masa ini penuh konflik. Paus-paus menghadapi raja-raja Barbar,
invasi Longobard, dan bahkan skisma internal.
Lihat St. Gregorius Agung (590-604). Ia bukan hanya Paus; ia
adalah diplomat, musisi, dan reformer. Saat wabah menyerang Roma, Gregorius
memimpin prosesi doa, membawa patung Bunda Maria ke jalanan. Legenda mengisahkan
bahwa malaikat menyarungkan pedangnya di Castel Sant'Angelo sebagai tanda akhir
wabah. Gregorius menulis Dialogues, kisah suci yang diceritakan di
sekitar api unggun desa-desa Eropa. Penerusnya adalah Sabinianus (604-606),
kurang beruntung, tapi rantai tetap. Kemudian datang Paus Bonifasius VIII
(1294-1303) yang mengeluarkan bulla Unam Sanctam: "Perlu bagi
keselamatan setiap manusia tunduk kepada Paus Roma." Kalimat tegas itu
memicu bentrokan dengan Raja Filip IV Prancis yang akhirnya memindahkan
kepausan ke Avignon era "Paus Avignon" yang memalukan sekaligus
memilukan, 1309-1377, ketika tujuh Paus berkuasa dari Prancis, bukan Roma.
Daftar Paus masa ini panjang, penuh intrik. St. Leo Agung
(440-461) menghadang Attila si Hun di Mincio, menyelamatkan Roma dengan
kata-kata dan mahkota iman. Paus Vigilius (537-555) bergulat dengan Kaisar
Yustinianus soal herezi Monofisit. Lalu ada Paus Stefanus II (752-757), yang
memohon bantuan Pepin si Pendek, raja Franka—awal aliansi Gereja dan Eropa
feodal. Hingga Paus Urban II (1088-1099), yang di Clermont menyerukan Perang
Salib Pertama: "Deus vult!" Tuhan menghendaki! Ribuan kesatria berbaris,
tapi bayangannya gelap: darah di Yerusalem, bukan salib.
Abad pertengahan menyaksikan kepausan naik-turun. Saat
puncak, Paus Innocentius III (1198-1216) menguasai raja-raja seperti vassal. Ia
menabalkan dan menjatuhkan, seperti dalam kasus Raja Yohanes Inggris. Tapi
penurunan datang cepat. Skisma Barat (1378-1417) melahirkan dua, bahkan tiga
Paus bersamaan; satu di Roma, satu di Avignon. Konsili Konstantinopel
menyatukannya, memilih Martin V (1417-1431). Daftar lengkap? Dari abad ke-5
hingga ke-15, ada sekitar 100 Paus, termasuk yang kontroversial seperti
Benediktus IX (1032-1048), yang menjual jabatannya tiga kali yakni skandal yang
membuat Dante menangis di Inferno.
Dasar Alkitab tetap jadi jangkar. Matius 16 bukan lagi
cerita pantai; ia jadi perisai melawan kaisar dan raja. Paus-paus ini, meski
jatuh ke dosa manusiawi, mempertahankan suksesi apostolik yakni tangan yang
dituang minyak suci, dari Petrus ke mereka. Singkat. Panjang lebarnya sejarah
ini mengajarkan: kekuasaan rohani tak tergoyahkan badai politik. Tapi ia juga
rentan, seperti Castel Sant'Angelo yang berganti fungsi dari benteng menjadi
penjara.
Reformasi dan Kebangkitan: Dari Leo X hingga Leo XIII
Malam Reformasi datang seperti badai di Wittenberg. Martin
Luther memaku 95 Tesis tahun 1517, menantang indulgensi yang dijual Paus Leo X
(1513-1521) untuk membiayai Basilika Santo Petrus. Leo, putra keluarga Medici
yang mewah, melihat Luther sebagai biarawan nakal. "Biarkan saja,"
katanya. Tapi api menyebar. Paus berikutnya, Adrian VI (1522-1523), berusaha
reformasi, tapi terlambat. Clemens VII (1523-1534) menyaksikan penjarahan Roma
oleh pasukan Kaisar Charles V—malapetaka yang membuat Paus bersembunyi di
Castel Sant'Angelo lagi.
Daftar Paus pasca-Reformasi mencerminkan pergulatan. Paulus
III (1534-1549) membentuk Inkuisisi Romawi dan Konsili Trente (1545-1563), yang
mereformasi Gereja: seminari baru, misa Tridentin, penolakan Protestanisme.
Pius V (1566-1572) mengeluarkan Index Librorum Prohibitorum yakni daftar
buku terlarang dan memimpin kemenangan Lepanto melawan Ottoman. Gregorius XIII
(1572-1585) mereformasi kalender Yulian jadi Gregorian—masih kita pakai hari
ini. Sixtus V (1585-1590) membangun akueduk baru, tapi juga memenggal bandit di
Campo de' Fiori.
Masa Pencerahan membawa tantangan baru. Paus Pius VI
(1775-1799) ditawan Napoleon, mati di penjara Prancis. Pius VII (1800-1823)
menabalkan Napoleon di Notre Dame, tapi kemudian dikucilkan. Leo XII
(1823-1829) melawan liberalisme, menutup universitas. Gregorius XVI (1831-1846)
menghadapi revolusi 1848. Pius IX (1846-1878), Paus terpanjang (31 tahun),
mengeluarkan *Syllabus Errorum* menentang modernitas, dan Doktrin Imaculada
Konsepsi. Tapi ia kehilangan Negeri Gereja ke Garibaldi.
Kemudian datang Paus Leo XIII (1878-1903) yang disebut dalam
pertanyaan sebagai "Leo XIV", mungkin kesalahan kecil, tapi
warisannya abadi. Vincenzo Pecci, intelektual halus, memimpin Gereja ke abad
industri. Ensiklik Rerum Novarum (1891) jadi Magna Carta sosial Katolik:
hak buruh, kritik kapitalisme liar. "Kerja bukan komoditas,"
tulisnya. Leo membuka Vatikan ke sains, mendorong studi Alkitab. Ia mengirim
utusan ke Amerika, di mana imigran Katolik membangun katedral di tengah
prasangka. Penerusnya, Pius X (1903-1914), melawan modernisme dengan Pascendi
Dominici Gregis, tapi juga menyederhanakan misa untuk anak-anak. Benediktus
XV (1914-1922) gagal hentikan Perang Dunia I, tapi selamatkan jutaan pengungsi.
Daftar ini, dari Leo X hingga Leo XIII, sekitar 20 Paus,
menunjukkan transformasi. Dari pertahanan terhadap Protestan, ke dialog dengan
dunia. Dasar Matius 16 tetap: Paus sebagai penjaga iman, meski dunia berubah.
Luther menantang otoritas, tapi suksesi Petrus bertahan, seperti akar pohon
zaitun di Getsemani, yang tak goyah meski angin kencang.
Kepausan Modern, Fransiskus dan Leo XIV
Perang Dunia II menghantam seperti palu. Paus Pius XII
(1939-1958) dikritik diam soal Holocaust, tapi diam-diam selamatkan ratusan
ribu Yahudi lewat jaringan Vatikan. Ia bentuk Komisi untuk Palestina. Yohanes
XXIII (1958-1963), "Paus baik hati", panggil Konsili Vatikan II yakni
revolusi yang membuka Gereja ke dunia: misa dalam bahasa vernakular, dialog
ekumenis. Paulus VI (1963-1978) melanjutkan konsili, tapi tolak kontrasepsi
dalam Humanae Vitae (1968), memicu kontroversi. Yohanes Paulus I (1978)
mati setelah 33 hari seorang Paus termuda masa kepausannya. Yohanes Paulus II
(1978-2005), Karol Wojtyla dari Polandia, menjadi Paus perjalanan pertama: 104
negara, menolak komunisme di Eropa Timur. Ia maafkan dosa Gereja, mengunjungi
sinagoga.
Benediktus XVI (2005-2013), Joseph Ratzinger, intelektual
Jerman, mengkadapi tuduhan skandal. Ia mundur, hal pertama dalam 600 tahun untuk
"kepausan yang lebih segar". Lalu Fransiskus (2013-sekarang), Jorge
Bergoglio dari Argentina, yang memilih nama Fransiskus Assisi. Ia cuci kaki
tahanan, reformasi keuangan Vatikan, ensiklik Laudato Si' soal
lingkungan. Di 2025, Fransiskus hadapi isu migrasi, perubahan iklim, dan
polarisasi.
Umat Katolik berbilang jumlah 1,406 miliar jiwa, naik 1,15%
dari 2022. Sebagian besar di Amerika
Latin (48%), Afrika tumbuh pesat (Afrika Selatan punya 200 juta). Asia,
termasuk Indonesia dengan 8 juta, jadi harapan baru.
Bilangan Katolik sedunia ini bukan angka mati. Ia hidup:
misa di favela Rio, doa di katedral Cologne, dialog di Beijing. Kini di era Paus Leo XIV yang saintifik, namun santun; Gereja Katolik dari simbolnya tetap menjaga dan memelihara tradisi dengan fokus pada kualitas pembinaan iman umat.
Daftar lengkap 266 Paus, dari Petrus hingga Fransiskus,
tersedia di arsip Vatikan (akan ditulis pada narasi yang lain). Dasar Alkitabnya apa? Matius 16, Lukas 22,
Yohanes 21 yakni kata-kata Yesus yang abadi.
Kepausan, seperti Tiber, mengalir panjang. Ia jatuh,
bangkit, tapi tetap. Di akhir, bukan tentang kekuasaan. Tapi tentang gembala
yang memanggil domba-dombanya pulang. Singkat. Panjangnya kisah ini mengajak
kita bertanya, “Di batu karang mana kita berdiri hari ini?”