Mengenal Paus Leo XIV: Dari Chicago ke Takhta Santo Petrus
| Paus Leo XIV penerus takhta St. Petrus ke-267, pemimpin tertinnggi Gereja Katolik sedunia. VaticanNews. |
Orang Katolik perlu mengenal siapa Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, wakil Kristus di dunia. Sejak Santo Petrus, Paus pertama, Gereja telah memiliki 267 penerus.
Kini umat beriman mendoakan nama seorang Paus baru dalam
setiap Misa Kudus, simbol kesatuan seluruh Gereja Katolik. Ia adalah Paus Leo
XIV. Siapakah sosok gembala ini, yang kini duduk di Takhta Santo Petrus dan
memikul beban berat sebagai Bapa Rohani bagi lebih dari satu miliar umat
Katolik di dunia?
Awal Kehidupan di Chicago
Robert Francis Prevost lahir pada 14 September 1955, di
Chicago, Amerika Serikat. Ayahnya, Louis Marius Prevost, memiliki darah
campuran Prancis dan Italia. Ibunya, Mildred Martínez, berasal dari keluarga
keturunan Spanyol. Robert tumbuh bersama dua saudara laki-lakinya, Louis Martín
dan John Joseph.
Masa kecilnya sederhana, penuh warna keluarga Katolik
imigran. Di rumah itu, iman bukan sekadar pelajaran agama, tetapi napas
kehidupan sehari-hari. Sejak kecil ia sudah dekat dengan altar, dengan doa
Rosario, dan dengan kebersamaan komunitas gereja setempat. Benih panggilannya
bertumbuh di sana.
Pendidikan dan Panggilan Religius
Remaja Robert masuk seminari kecil para Agustinian. Di
sanalah ia makin merasakan ketertarikan untuk menyerahkan hidup sepenuhnya
kepada Tuhan. Setelah lulus sekolah menengah, ia melanjutkan studi ke
Universitas Villanova di Pennsylvania. Tahun 1977, ia berhasil meraih gelar
sarjana matematika dan filsafat.
Pada 1 September tahun itu, ia masuk novisiat Ordo Santo
Agustinus di St. Louis. Setahun kemudian, 2 September 1978, ia mengikrarkan
kaul pertamanya. Tiga tahun berselang, 29 Agustus 1981, ia mengucapkan kaul
kekal. Hidupnya kini sepenuhnya milik Allah dan Gereja.
Menjadi Imam
Robert melanjutkan studi teologi di Catholic Theological
Union, Chicago. Usianya baru 27 tahun ketika para pimpinannya mengirim dia ke
Roma untuk memperdalam hukum kanonik di Universitas Kepausan Santo Thomas
Aquinas, Angelicum.
Tanggal 19 Juni 1982, di Kolese Agustinian Santa Monika,
Roma, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Jean Jadot. Hari itu
mengikat dirinya dalam ikatan suci imamat, tanda bahwa jalan hidupnya tidak
lagi untuk dirinya sendiri, tetapi bagi Tuhan dan umat-Nya.
Dua tahun kemudian ia menyelesaikan lisensiat hukum kanonik.
Ia mulai menulis disertasi doktoral, namun pada 1985 para atasannya mengutusnya
ke Peru. Ia melayani di Chulucanas, Piura, di sebuah misi Agustinian. Setahun
di sana cukup membuka matanya: Gereja bukan hanya soal dokumen dan buku, tetapi
tentang wajah-wajah orang miskin yang mengandalkan iman mereka untuk bertahan
hidup.
Pada 1987, ia mempertahankan disertasinya berjudul “Peran
Pemimpin Lokal dalam Ordo Agustinus”. Setelah itu, ia kembali ke Amerika
Serikat sebagai direktur panggilan dan misi di provinsi Agustinian Chicago.
Namun hati Robert sudah terpaut pada Amerika Latin.
Dua Belas Tahun di Peru
Tahun 1988, ia kembali ke Peru. Kali ini ia ditempatkan di
Trujillo. Tugasnya: membimbing calon imam Agustinian dari berbagai daerah misi.
Ia menjabat prior komunitas, direktur formasi, dosen hukum kanonik, patristik,
dan teologi moral di Seminari Agung San Carlos y San Marcelo.
Hidupnya penuh kesibukan, tetapi juga penuh sukacita. Ia
melayani di daerah miskin pinggiran kota. Ia memimpin komunitas yang kemudian
berkembang menjadi Paroki Santa Rita. Ia juga menjadi administrator Paroki
Nuestra Señora de Monserrat.
Di tengah kerasnya hidup umat kecil, ia belajar banyak
tentang iman yang sederhana dan murni. Mereka miskin secara materi, namun kaya
akan pengharapan. Selama hampir 12 tahun, wajah-wajah umat di Trujillo
membentuk hati pastoralnya.
Kembali ke Amerika, Memimpin Ordo
Tahun 1999, Robert kembali ke Chicago. Ia terpilih sebagai
Prior Provinsi Agustinian setempat. Dua tahun kemudian, pada Kapitel Umum Ordo
Agustinus, ia dipilih sebagai Prior Jenderal, pemimpin tertinggi ordo. Ia
memimpin ordo ini selama dua periode, dari 2001 hingga 2013.
Sebagai pemimpin global, ia berkunjung ke berbagai negara,
memperkuat komunitas Agustinian, mendengarkan kegelisahan mereka, dan membangun
arah misi ordo di dunia modern. Ia dikenal tegas, tetapi hangat. Pandangannya
luas karena pengalaman pastoralnya di lapangan.
Uskup Chiclayo
Pada 3 November 2014, Paus Fransiskus menunjuk Robert
sebagai Administrator Apostolik Chiclayo, Peru. Tak lama kemudian ia
ditahbiskan menjadi Uskup Tituler Sufar, pada 12 Desember, bertepatan dengan
pesta Bunda Maria Guadalupe.
Mottto episkopal yang dipilihnya adalah “In Illo uno
unum” — artinya “Dalam Dia yang satu, kita menjadi satu.” Kalimat dari
Santo Agustinus itu menjadi kompas hidupnya.
Setahun kemudian, pada 26 September 2015, ia resmi dilantik
sebagai Uskup Chiclayo. Selama delapan tahun, ia menggembalakan keuskupan ini.
Ia juga menjadi wakil presiden kedua Konferensi Waligereja Peru dan memimpin
Komisi Pendidikan dan Kebudayaan.
Dipanggil ke Roma
Tahun 2019, namanya mulai sering disebut di Roma. Paus
Fransiskus menunjuknya menjadi anggota Kongregasi untuk Klerus. Tahun
berikutnya ia masuk Kongregasi untuk Para Uskup. Pada saat yang sama ia juga
ditugaskan sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Callao.
Puncaknya terjadi pada 30 Januari 2023. Paus Fransiskus
memanggilnya ke Roma. Ia diangkat menjadi Prefek Dikasteri untuk Para Uskup dan
Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin. Dalam rangkaian itu, ia juga
dipromosikan menjadi Uskup Agung.
Lalu, pada 30 September 2023, Paus Fransiskus mengangkatnya
sebagai Kardinal. Ia menerima gelar diakonia Santa Monica, yang resmi ia ambil
alih pada 28 Januari 2024.
Pelayanan di Kuria Roma
Sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup, Kardinal Prevost
memainkan peran penting dalam penunjukan para uskup di seluruh dunia. Ia juga
terlibat dalam Sinode Para Uskup tentang Sinodalitas, baik pada 2023 maupun
2024.
Ia menjadi anggota berbagai dikasteri lain: untuk
Evangelisasi, Ajaran Iman, Gereja Timur, Hidup Bakti, Pendidikan, dan Komisi
Pontifikal Negara Kota Vatikan.
Pada 6 Februari 2025, ia dipromosikan ke dalam Ordo Para
Uskup dengan gelar Gereja Suburbikaria Albano. Tiga hari kemudian, ia ikut
memimpin Misa Yubileum Angkatan Bersenjata di Basilika Santo Petrus.
Menjadi Paus
Kesehatan Paus Fransiskus yang semakin menurun membuat nama
Kardinal Prevost masuk dalam daftar calon kuat pengganti. Ia dikenal luas,
berpengalaman lintas benua, dan mampu menjembatani perbedaan.
Akhirnya, para Kardinal memilihnya sebagai penerus. Ia
mengambil nama Leo XIV, melanjutkan jejak Santo Leo Agung dan para pendahulunya
yang membawa nama itu.
Kini, umat Katolik di seluruh dunia menyebut namanya setiap
kali Misa Kudus dirayakan. Paus Leo XIV adalah tanda kesatuan Gereja, pengganti
Petrus, sekaligus saksi bahwa panggilan bisa membawa seseorang dari jalan-jalan
Chicago, ke desa-desa miskin Peru, hingga ke jantung Gereja Katolik di Roma.
Harapan di Bawah Gembala Baru
Tugas Paus tidak ringan. Ia harus menuntun Gereja menghadapi
tantangan modernitas, sekularisasi, konflik dunia, serta perubahan budaya.
Namun pengalaman panjang Leo XIV dari ilmuwan matematika, imam misionaris,
pemimpin ordo, uskup di Peru, hingga pejabat tinggi Kuria membuatnya matang.
Ia tahu kerasnya hidup umat kecil. Ia tahu rumitnya
administrasi Gereja global. Ia tahu indahnya iman yang sederhana. Semua itu
menjadi bekal untuk menggembalakan Gereja Katolik di abad ke-21.
Sosok Paus Leo XIV adalah kisah lintas benua, tataran dunia. Ia memimpin 1,5 miliar Katolik sejagad-raya. Ia datang dari
keluarga sederhana di Chicago, dari misi di Peru, dari kepemimpinan ordo yang
mendunia, hingga kursi Paus di Roma. Ia adalah saksi bahwa iman dan panggilan
dapat menembus batas bangsa, bahasa, dan budaya.
Dalam dirinya, umat Katolik menemukan teladan kerendahan hati, ketekunan, dan kesetiaan. Seperti mottonya: “Dalam Dia yang satu, kita menjadi satu.”
Kini seluruh Gereja bersatu di bawah gembala baru, Paus Leo
XIV.
Penulis: Masri Sareb Putra
sumber: https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2025-05/biography-of-robert-francis-prevost-pope-leo-xiv.html