Tritunggal Mahakudus


Trinitas: kamu percaya maka kamu mengerti.
Scutum fidei, perisai iman Tritunggal Mahakudus ala Barat. Trinitas dapat dibaratkan air: cair, beku, uap bentuknya tapi hakikatnya sama, yakni H₂O. Trinitas: kamu percaya maka kamu mengerti. Ist.

Pengantar Redaksi

Mengapa kita membuka rubrik Apologetika?

Jawabannya sederhana: karena iman kita sering ditanya, dipertanyakan, bahkan kadang disalahpahami. Banyak umat Katolik merasa bingung, “Apa yang harus saya jawab kalau ditanya soal iman saya?” Di sinilah apologetika menjadi sahabat.

Rubrik ini tidak dimaksudkan untuk memberikan kuliah teologi yang rumit, melainkan bekal praktis bagi umat. Bahasa yang kita gunakan akan sederhana, disertai contoh sehari-hari, sehingga siapa pun bisa berkata, “Ah, ternyata saya juga bisa menjelaskan iman saya!”

Apologetika bukan tentang berdebat, melainkan tentang bersaksi dengan kasih. Kita belajar memberi jawaban dengan lemah lembut dan hormat (1 Ptr 3:15), sedemikian rupa sehingga iman kita semakin kokoh dan orang lain bisa melihat terang Kristus melalui hidup kita.

Mari kita sama-sama menjadikan rubrik ini sebagai ruang belajar yang menyenangkan. Semoga lewat Apologetika, setiap umat Katolik semakin berani bersaksi, percaya diri menjawab pertanyaan, dan makin jatuh cinta kepada iman yang kita hidupi.

selamat membaca dan mengikuti!


Topik tentang Tritunggal Mahakudus sering muncul dalam percakapan lintas iman. Tak jarang orang luar Kristen menganggap umat Katolik (dan Kristen) itu percaya pada tiga Allah, atau malah percaya Allah “beranak dan diperanakkan”. Prasangka ini sebenarnya lahir dari salah paham.

Kata Trinitas sendiri berasal dari bahasa Latin trinus (tiga) dan unus (satu). Jadi, pokok iman ini bukan bicara tentang “tiga Allah”, melainkan Allah yang satu, yang hadir dalam tiga pribadi. Tiga pribadi ini bukan entitas terpisah, melainkan sehakikat, sehakekat, atau dalam istilah teologi: ko-substansial.

Trinitas dalam Credo Katolik

Dalam Kredo Gereja Katolik, iman itu dirumuskan sederhana: Allah Bapa, Pencipta langit dan bumi; Yesus Kristus, Putra tunggal-Nya; dan Roh Kudus. Formulasi ini ditegaskan dalam Konsili Nicea tahun 325, yang sebenarnya bukan menciptakan konsep baru, melainkan meneguhkan ajaran yang sudah diwartakan sejak Perjanjian Baru.

Yesus sendiri berkata: “Siapa melihat Aku, melihat Bapa” (Yoh 14:9) dan menjanjikan Roh Penghibur yang akan diutus-Nya (Yoh 16:7).

Untuk mempermudah, ada ilustrasi klasik yang dikenal sebagai Scutum Fidei atau “Perisai Iman”. Bayangkan seorang bernama T. Ia adalah pendiri perusahaan, ia juga direktur, sekaligus motivator di tempat itu. T tetap satu orang, tetapi perannya tiga. Pendiri bukan direktur, direktur bukan motivator, motivator bukan pendiri, tapi semuanya tetap T. Begitu kira-kira gambaran sederhana tentang Trinitas.

Karena itulah, doa Gereja selalu bersifat “Triniter”: dimulai dan diakhiri dengan “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” 

Sakramen baptis pun diteguhkan dengan rumus yang sama. Namun, pada akhirnya, Trinitas bukanlah soal logika semata. Misteri Allah jauh lebih luas dari daya pikir manusia yang terbatas. 

Anselmus dari Canterbury merumuskannya indah: Credo ut intelligam.  “Aku beriman, maka aku mengerti. Dalam ProslogionAnselmus  menegaskan bahwa iman adalah pintu masuk pertama menuju pemahaman. Gagasan ini sesungguhnya telah lebih dahulu diungkapkan oleh Santo Agustinus dalam kalimatnya yang terkenal: Credo ut intelligam, non intelligo ut credam”, artinya: aku percaya supaya bisa mengerti, bukan mengerti dulu baru percaya. Ungkapan tersebut menekankan bahwa kepercayaan selalu mendahului pengertian, bukan sebaliknya.

Konsili Nicea, Saat Gereja Menyatu

Tahun 325 Masehi, di kota Nicea (sekarang İznik, Turki), para pemimpin Gereja berkumpul dalam sebuah peristiwa bersejarah: Konsili Nicea. Saat itu, Kekaisaran Romawi baru saja berubah wajah. Kaisar Konstantinus Agung yang sebelumnya hidup dalam tradisi pagan, berbalik mendukung Kekristenan. Ia ingin menyatukan umat yang sedang berkembang pesat, tetapi diwarnai perdebatan sengit tentang siapa Yesus sebenarnya.

Perdebatan itu muncul terutama dari ajaran seorang imam bernama Arius di Aleksandria, Mesir. Arius berpendapat bahwa Yesus hanyalah ciptaan Allah, bukan Allah sendiri. Bagi dia, Putra tidak setara dengan Bapa. Pandangan ini mendapat banyak pengikut, tetapi juga banyak penentang. Jika dibiarkan, perpecahan besar bisa mengguncang Gereja muda.

Maka di bawah naungan Kaisar Konstantinus, Konsili Nicea digelar. Ratusan uskup hadir dari berbagai penjuru. Di sana, lewat diskusi panjang, akhirnya ditegaskan bahwa Yesus Kristus benar-benar “sehakikat” dengan Bapa; bukan makhluk ciptaan, melainkan Allah sejati. Dari sinilah lahir rumusan iman yang kita kenal sebagai Syahadat Nicea, yang sampai sekarang masih didoakan dalam setiap Misa.

Konsili Nicea tidak “menciptakan” Trinitas, tetapi merumuskan ulang dengan tegas iman yang sudah hidup dalam Gereja sejak zaman para rasul. Ia meneguhkan apa yang sudah diajarkan Yesus: bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah satu dalam kasih dan kemuliaan.

Scutum Fidei

Gambar yang disebut Perisai Iman atau Shield of the Trinity ini adalah cara klasik Gereja untuk menjelaskan misteri Tritunggal Mahakudus. Dalam gambar tersebut ditegaskan bahwa Allah itu hanya satu. Namun, Allah yang satu ini hadir dalam tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Masing-masing pribadi adalah sungguh-sungguh Allah, tetapi masing-masing pribadi bukan yang lain. Artinya, Bapa bukan Putra, Putra bukan Roh Kudus, dan Roh Kudus bukan Bapa.

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa kita percaya kepada satu Allah dalam tiga pribadi. Ketiganya tidak terpisah, tetapi juga tidak bisa dicampuradukkan. Itulah sebabnya Gereja menyebut Tritunggal sebagai misteri iman: Allah yang esa, tetapi dalam keesaan-Nya hadir tiga pribadi yang hidup dalam kasih sempurna.

Melalui gambar ini, umat beriman lebih mudah memahami bahwa kita tidak menyembah tiga Allah, melainkan satu Allah yang sama, yang kita kenal dalam tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Gambar ini menjadi penolong sederhana untuk menjelaskan iman yang sangat dalam, sekaligus menegaskan bahwa inti iman Kristen adalah kasih Allah yang sempurna dalam kesatuan dan kebersamaan Tritunggal.

Metafora Trinitas itu dapat mengambil contoh Air. Air bisa hadir dalam tiga bentuk: cair, es, dan uap.

Bentuknya berbeda, tetapi tetap satu zat dan hakikat: H₂O.

Demikian pula Allah: hadir dalam tiga pribadi, tetapi tetap satu hakikat.

Jika Anda belum paham juga? Tak mengapa. Kata-kata Agustinus ini akan membuat siapa saja mengerti.  Santo Agustinus dalam kalimatnya yang terkenal menyatakan, Credo ut intelligam, non intelligo ut credam”.

Artinya: aku percaya supaya bisa mengerti, bukan mengerti dulu baru percaya. Ungkapan tersebut menekankan bahwa kepercayaan selalu mendahului pengertian, bukan sebaliknya.

Prnulis Sr. Felicia Tesalonika

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org