Romo Mangunwijaya: Pujangga Adalah Guru Moral
1987, momen berharga saya sebagai koresponden Majalah Hidup di Jawa Timur wawancara dan diskusi intens bersama Romo Mangun di Jalan Tidar 113, Surabaya. Dokpri. |
Oleh Masri Sareb Putra
Ada awal. Ada akhir. Ada alfa. Ada omega. Ini tidak biasa.
Bukan dari alif. Tapi saya membahas Romo Mangun dan karyanya mulai dari yang
akhirat. Baru mundur. Hingga saatnya, ke: alif.
Saya membahas karya Romo dari novel terakhirnya. Novel perdana, sekadar untuk diketahui. Romo menggunakan nama samaran: Wastu Wijaya. Judul novelnya: Romo Rahadi.
Nah, novel terakhir Romo Mangun yang hendak saya bahas. Cukup ber“bau” Katolik karya itu. Bagi yang merasa ada “halangan” psikologis, lebih baik berhenti. Jangan diteruskan membaca narasi ini.
Tidak bisa lain bahasan. Sebab memang beliau pastor Katolik.
Imam projo. Pastor diosesan Keuskupan Agung Semarang (KAS), persisnya. Sang
arsitek. Lulusan Jerman. Kawan rapat Mendikbud Ing. Wardiman Djojonegoro. Dari
sang Mendikbud, saya mafhum, di Jerman orang-orang memanggilnya: Mas Romo.
Termasuk Wardiman.
"Mas Romo" kita ini sekembali dari studi arsitektur, bukan
filsafat-teologi, di Jerman, dikaryakan, atau memilih berkarya “pastoral
kategorial.” Memilih berbela rasa. Lalu tinggal, hidup bersama wong cilik di
Kali Code. Itu bukan berpura-pura. Nyata. Romo mengalami. Tinggal bersama.
Makan minum yang sama dengan wong cilik itu.
Romo sadar. Untuk menyapa wong cilik, perlu mengalami wong cilik juga. Ia mengikuti jejak sang logos yang turun ke dunia, menjadi dan berbelarasa dengan manusia, kecuali dalam hal: dosa! Jika menjadi bentuk lain, manusia akan takut. Misalnya, Yahwe menampakkan diri kepada Musa dalam nyala api. Nah, Romo menjadi wong cilik dengan menjadi wong cilik juga. Tak berpura-pura. Tapi nyata! Agar wong cilik tidak takut, tak merasa ada jarak. Supaya wong cilik mafhum, Romo sama seperti mereka (kecuali dalam hal": dosa).
Katanya kepada saya di Surabaya tahun 1987.
Bahasa “altar” harus diterjemahkan dengan bahasa “pasar.”
Kalimat yang meluncur dari mulutnya ini sungguh dahsyat! Nyaris setingkat syahadat. Bernas! Frasa yang hanya bisa datang dari kotak pandora para pujangga Gereja. Maklum, beliau itu seorang arsitek. Sekaligus sastrawan yang mahir memilih diksi.
Ada novel terakhirnya?
Apa novel perdana? Banyak orang mengira, Burung-Burung
Manyar!
Itu keliru!
Saya telah membaca dan memamah-biak karya beliau sejak mulai
kuliah, 1984. Romo menulis novel perdana. Mungkin juga pengalamannya. Tentang
seorang Romo yang bertugas di Papua. Nah, konfliknya, bertemu dengan seorang
dokter muda, wanita. Di sana novel mengawali konfliknya.
Tapi bukan itu yang hendak saya kisahkan. Novel perdana itu
berjudul Romo Rahadi. Ia gunakan nama samaran: Wastu Wijaya.
Lebih dari tiga kali saya baca.
Kali ini, saya hendak bahas novel terakhirnya.
Karya Sastra terakhir Romo Mangun
Tugas sastrawan tidak hanya menghibur, tetapi juga
mendidik. Seperti dikatakan Vossius, “Poetae sunt morum doctores.” Pujangga
adalah juga guru moral.
Berbeda dengan karya-karya lain, memang sulit memahami novel
terakhir Romo Mangun lepas dari konteksnya. Pembaca awam langsung dibuat
bingung begitu membaca judul Pohon-pohon Sesawi.
Sawi berpohon? Tidak mungkin! Bukankah sayuran itu hanyalah
tetumbuhan kecil yang biasa ditanam petani di petak-petak kebun?
Namun, jika kemudian kita membaca sampai pada halaman
terakhir, konteksnya menjadi jelas. Romo Mangun menggunakan metafora dan
memetiknya secara tepat dari khazanah Alkitab. Tidak bisa lain kecuali
menyimpulkan bahwa judul novel ini lahir dari inspirasi usai membaca kutipan
Injil (Matius 13:31–35) bertajuk Perumpamaan tentang Biji Sesawi.
Ketika menjelaskan tentang Kerajaan Allah, Yesus antara lain
mengatakan:
“Hal Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi, yang diambil
dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari
segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar
daripada sayuran lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara
datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Jelaslah! Pohon sesawi hanyalah metafora. Di balik itu
terkandung wasiat, bernada harapan. Romo Mangun menginginkan agar setiap orang
Kristen hidup meniru sawi. Benihnya kecil, tetapi jika sudah tumbuh, menjadi
besar di antara sesama sayuran. Bagai sawi, orang Kristen diharapkan low
profile. Tapi serentak dengan itu, menghasilkan buah kebaikan untuk sesama.
Romo mencontohkannya lewat hidup. Terlebih melalui tindakan
nyata.
Katolik itu berarti universal
Menurut Romo, dengan meneruskan metafora sesawi tadi, dakwah
(pewartaan) orang Kristen yang sejati bukanlah evangelisasi atau usaha
penyebaran Injil. Tapi dakwah yang utama adalah kesaksian hidup. Dinyatakan
dalam tindak-tanduk sehari-hari. Dalam ucapan. Dalam perbuatan. Dalam pikiran.
Semuanya baik. Seiring seirama.
Sebab, kata Romo berkali-kali:
“Katolik itu berarti universal, umum. Jadi, kita ini manusia
untuk sesama. Nilai yang kita yakini universal, berlaku di mana saja: cinta
kasih. Itu hukum pertama, dan utama.”
Romo kerap menyatakan hal itu. Di Kali Code. Dan di fora
seminar. Termasuk yang kerap saya ikuti.
Novel perdana itu berjudul Romo Rahadi. Ia gunakan nama
samaran: Wastu Wijaya. Lebih dari tiga kali saya baca.
Setiap orang Kristen menjadi saksi kehadiran Kristus di
tengah-tengah dunia melalui tindak-tanduk dan perbuatan mereka. Kesaksian hidup
sering ditekankan oleh Romo dalam berbagai tulisannya mengenai “Gereja
Diaspora.” Yaitu bahwa pada hakikatnya setiap orang Kristen hidup dalam alam
pengembaraan di dunia fana ini adalah martir.
Subjudul buku ini jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah
novel terakhir Romo Mangun. Karena ditulis pada masa-masa terakhir sebelum
kembali ke rumah Bapa, timbul persoalan, atau setidaknya pertanyaan: sebagai
sebuah karya sastra, sudah utuhkah karya ini?
Pertanyaan itu coba dijawab dalam pengantar yang ditulis
Joko Pinurbo dan Th. Kushardini—keduanya orang dekat Romo Mangun.
“Karya yang kini hadir di hadapan pembaca semula adalah
naskah yang tercerai-berai. Kami mendapatkannya di antara sekian banyak berkas
tulisan yang ditinggalkan oleh almarhum Romo Mangun. Memang, sebelum meninggal,
Romo Mangun pernah bercerita bahwa ia sedang mengerjakan suatu novel. Kami
tidak tahu apakah novel ini yang dia maksud.”
Menjadi gamblang bahwa proses penerbitan novel ini diawali
dengan interpretasi.
Pertama, benarkah naskah ini yang dimaksudkan Romo Mangun
sebagai novel yang dikerjakannya sebelum meninggal?
Kedua, karena tanpa finishing touch dari pengarang
langsung, sulit dipastikan keutuhan karya ini.
Ketiga, apakah sembilan bab novel, ataukah lepas-lepas dan
berdiri sendiri seperti cerpen?
Bukan tugas penerbit dan penyunting buku ini menjawab
pertanyaan-pertanyaan pelik seperti itu. Para kritikus sastralah yang mesti
menjawabnya. Bahkan pembaca yang kritis pun dapat menarik kesimpulan sendiri.
Sebab dilihat dari tema sentralnya, memang ada benang merah
yang menghubungkan bab demi bab. Lagi pula, tokoh protagonis sama: Yunus, alias
Rahadi. Nah, Rahadi ini mengingatkan saya pada novel perdana Wastu Wijaya. Yang
tiada bukan, nama pena Romo Mangun.
Rahadi adalah tokoh yang mengingatkan kita pada salah satu
novel terbaik Romo Mangun, Romo Rahadi, yang mengambil setting awal di
Magelang (lha, Romo Mangun itu wong Magelang kok!). Kemudian Irian Jaya. Ketika
melempar novel ini di tahun 1982, Romo Mangun menggunakan nama samaran.
Nah. Dilihat dari kacamata kritik sastra, Romo Rahadi
dan Pohon-pohon Sesawi ada kesamaan dan kemiripan. Keduanya mengambil
setting backdrop. Selain tema yang kurang lebih sama, lanjaran yang
menghubungkan bab demi bab juga tak jauh beda.
Mungkin berlebihan mengatakan kedua novel tadi adalah biografi atau kisah hidup sang penulis sendiri. Namun, mengingat begitu banyak nama tempat, tokoh, serta dunia nyata seorang biarawan yang diangkat, mau tidak mau orang akan menghubungkan novel ini dengan dunia nyata pengarang.
Dilihat dari kacamata kritik sastra, Romo Rahadi dan
Pohon-pohon Sesawi ada kesamaan dan kemiripan. Keduanya mengambil setting
backdrop. Selain tema yang kurang lebih sama, lanjaran yang menghubungkan bab
demi bab juga tak jauh beda.
Dunia nyata Romo Mangun: Poetae sunt morum doctores
Dalam novel ini (juga novel Romo Rahadi), misalnya, tegas disebut tempat-tempat seperti Magelang, Mertayudan, seminari, paroki, pastor, serta setback masa kolonial. Semuanya ini mengingatkan kita pada lingkaran kehidupan, sekaligus dunia nyata Romo Mangun sendiri.
Kemiripan lain novel ini dengan kehidupan pengarang dapat
dilihat pada bab Gejala Pergolakan Suci. Antara lain mencatat bahwa
selama 39 tahun sebagai pastor tentulah sudah 39 kali dia mempersembahkan
korban Misa Natal. Ketika muda mengharukan dan meneguhkan. Kemudian menjadi
pekerjaan rutin. Walaupun sudilah jangan disebut mekanis (halaman 95).
Itu sekadar menunjukkan contoh. Gaya “akuan.” Teknik
bercerita orang pertama. Dikenal sebagai first person omniscient. Yang
dalam sastra memang sah-sah saja. Sekaligus, mengamini apa yang dikatakan
penyunting. Bahwa Romo Mangun lewat karya ini merefleksikan perjalanan hidupnya
sebagai seorang imam, lengkap dengan berbagai romantikanya, termasuk
konflik-konflik batinnya.
Selanjutnya, para kritikus sastra dalam membahas dan
mengapresiasi karya ini dapat mendekati dari sisi psikologi sastra, sosiologi
sastra, atau cukup hanya melalui kritik teks saja tanpa menghubungkannya dengan
pengarang.
Akhirnya, patut diajukan pertanyaan berikut. Apa istimewanya
novel ini?
Terus terang, ditilik dari ilmu sastra, novel ini kalah jauh
dibanding Burung-Burung Manyar, Romo Rahadi, dan Burung-Burung
Rantau. Kita nyaris tidak menemukan suspense, kekhasan Romo Mangun
menulis novel dalam Pohon-pohon Sawi.
Pohon-pohon Sawi, karya Romo Mangun terakhir. Pujangga adalah guru moral. Ist. |
Tapi satu kelebihan yang tidak ditemukan dalam novel lain bahwa Pohon-pohon Sawi adalah novel terakhir. Terakhir berarti: puncak. Puncak adalah tajuk. Ia mahkota. Nilai novel ini bukan terletak pertama-tama pada pesannya. Agaknya Romo Mangun sadar bahwa pujangga adalah guru moral yang membawa pesan itu sendiri.
Romo mafhum. Tugas sastrawan tidak hanya menghibur, tetapi
juga mendidik. Dikatakan Vossius, “Poetae sunt morum doctores.” Pujangga
adalah juga guru moral.
Ajaran sang mahaguru moral jelas: yakni agar kita menjadi
biji sesawi. Menghasilkan buah yang baik.
Jakarta, 26 September 2025