Katolik dan Negara Juara Dunia Sepakbola
Apa kaitan antara Katolik dan negara juara sepabkola dunia? Keuanya mengandalkan: Kesatuan, persatuan, kerja sama Tim, belarasa, dan menuju tujuan bersama: goal! |
Oleh Sr. Tanti Yosepha
Apa kaitan antara Katolik dan negara juara sepabkola dunia?
Langsung tak ada kaitannya. Namun, kebersamaan, belarasa, kerja sama, saling dukung dalam tim adalah kesamaan keduanya.
Faktanya, juara-juara dunia sepakbola negara dengan pemain dan penduduk mayoritas Katolik.
Katolik dan sepakbola: Tim yang utuh dan solid
Sepakbola dan Katolik punya persamaan yang halus. Keduanya
tentang komunitas, kebersamaan, dan ritus. Kemenangan lahir dari tim, bukan
dari satu orang. Begitu pula dalam iman, keselamatan lahir dari tubuh Gereja,
bukan individu semata.
Di lapangan, orang belajar tentang pengorbanan, kerja sama,
dan harapan. Nilai-nilai itu sejajar dengan apa yang diajarkan di gereja.
Katolik mengajarkan solidaritas. Sepakbola mengajarkan hal yang sama.
Maka tidak aneh jika banyak negara Katolik juga berjaya
dalam sepakbola. Brasil dengan lima gelar. Italia empat. Argentina tiga.
Prancis dua. Spanyol satu. Sisanya tetap berjuang. Semuanya menunjukkan satu
hal: iman dan permainan bisa berjalan seiring. Kadang di stadion, kadang di
basilika. Kadang lewat gol, kadang lewat doa. Tapi pada intinya, keduanya
bicara tentang harapan yang tak pernah padam.
Brasil: Lima Bintang, Lima Doa
Brasil dikenal sebagai negeri bola. Lima kali juara dunia
adalah bukti bahwa mereka hidup dengan sepakbola, bernapas dengan bola, dan
bermimpi lewat lapangan hijau. Dari Pelé hingga Neymar, dari stadion Maracanã
hingga jalanan kumuh di Rio, sepakbola ada di mana-mana. Namun di balik itu,
ada sesuatu yang lebih sunyi. Brasil adalah negara Katolik terbesar di dunia.
Setiap Minggu pagi, umat berbondong ke gereja. Sore harinya, stadion penuh
sesak.
Di sana, doa dan bola bertemu. Pemain Brasil sering
berlutut, membuat tanda salib sebelum kickoff, atau menengadah setelah gol.
Bagi mereka, kemenangan bukan semata soal teknik, tapi juga berkat. Katolik
hadir sebagai irama batin yang memberi makna pada permainan. Lima bintang di
jersey timnas terasa seperti lima doa yang terangkat ke langit.
Italia, Antara Stadion dan Basilika
Italia punya empat gelar Piala Dunia. Italia juara 1934,
1938, 1982, dan 2006. Setiap momen itu tercatat dalam ingatan bangsa. Namun, Italia bukan hanya tanah sepakbola. Di sinilah Vatikan berdiri, pusat Gereja
Katolik. Roma adalah jantung spiritual umat Katolik sejagat.
Menonton sepakbola di Italia ibarat menghadiri misa. Ada
liturgi, ada ritus, ada iman kolektif. Klub-klub seperti Juventus, AC Milan,
Inter, AS Roma, atau Napoli adalah “gereja kecil” bagi para tifosi. Mereka
punya dogma, doa, dan santo-santonya sendiri: Paolo Rossi, Roberto Baggio,
Gianluigi Buffon.
Orang Italia menyukai detail. Mereka jatuh cinta pada
taktik, sama seperti mereka setia pada liturgi. Pertahanan ketat ala catenaccio
menjadi ciri khas. Empat bintang di dada adalah hasil kerja keras, strategi,
dan keyakinan. Stadion bisa penuh sorak-sorai, basilika penuh doa. Dua ruang
itu seakan berdialog.
Argentina, Prancis, Spanyol: Mukjizat dan Identitas
Argentina, tiga kali juara dunia, adalah tanah di mana
sepakbola dan iman menyatu dalam cara yang kadang liar. Diego Maradona
dielu-elukan hingga seperti santo. Lionel Messi, lebih kalem, menjadi lambang
kesetiaan dan rendah hati. Kemenangan di Qatar 2022 melahirkan euforia yang
terasa seperti mukjizat. Orang merayakan di jalan-jalan, orang berdoa di
gereja. Di negeri Katolik ini, sepakbola adalah liturgi lain, sama sahnya
dengan misa hari Minggu.
Prancis berbeda. Dua kali juara dunia. Negeri ini dikenal
dengan sekularisme dan revolusinya. Namun, akar Katolik tetap dalam. Timnasnya
adalah cermin keragaman: Zidane dari keluarga Aljazair, Mbappé keturunan
Kamerun, Pogba dari imigran Afrika Barat. Prancis menemukan cara baru merayakan
Katolik: tidak lagi eksklusif, tapi universal. Kemenangan 1998 dan 2018 adalah
pesta bangsa, sekaligus saksi bahwa solidaritas bisa lahir di lapangan.
Spanyol punya cerita tentang kesabaran. Negeri Katolik yang
taat, penuh sejarah misionaris, namun lama tak kunjung juara. Baru pada 2010 di
Johannesburg, gol Andrés Iniesta menghapus kutukan itu. Gelar pertama terasa
seperti buah doa yang panjang. Di Spanyol, Katolik dan sepakbola sama-sama
bicara tentang kesetiaan. Dan akhirnya, kesetiaan itu berbuah kemenangan.
Yang Belum Juara Tetap Memberi Warna
Tidak semua negara Katolik pernah mengangkat trofi. Meksiko,
Kolombia, Amerika Serikat, Filipina, dan Republik Demokratik Kongo masuk daftar
ini. Tapi mereka bukan figuran.
Meksiko sudah dua kali menjadi tuan rumah. Stadion Azteca
mencatat sejarah: gol “Tangan Tuhan” Maradona, pesta Brasil tahun 1970.
Kolombia punya pemain flamboyan—Valderrama dengan rambutnya yang ikonik,
Higuita dengan gaya penjaga gawang yang eksentrik, James Rodríguez yang jadi
bintang di 2014.
Amerika Serikat mungkin lebih terkenal dengan basket atau
football versi mereka. Tapi Katolik di sana besar, dan sepakbola terus tumbuh.
Mereka akan jadi tuan rumah bersama di 2026. Filipina, satu-satunya negara
mayoritas Katolik di Asia, punya kecintaan yang terhimpit basket, tapi geliat
bola tetap ada. Kongo, meski bergulat dengan banyak masalah, tetap melahirkan
talenta yang merantau ke liga-liga Eropa.
Negara yang mayoritas penganut Katolik itu memang belum juara dunia sepakbola. Tapi mereka menambahkan lapisan penting pada cerita besar sepakbola dan Katolik. Tidak selalu harus angkat trofi untuk berarti. Kadang, kehadiran saja sudah jadi kontribusi.
Penulis pernah tinggal dan studi di Italia dan bertugas di Filipina, penyuka dan pengamat sepabkola dunia.
Pontianak, 25 September 2025