Paulus dan Panggilan Menjadi Manusia Baru
| Manusia baru menurut Rasul Paulus, dibahas buku ini. Ist. |
Judul buku ini sederhana, tetapi sarat makna: Manusia Baru: Kontekstualisasinya bagi Masa Kini Menurut Pengajaran Rasul Paulus. Dari halaman pertama, pembaca segera diajak masuk ke sebuah percakapan lintas abad.
Paulus menulis suratnya kepada jemaat di Kolose hampir dua ribu tahun lalu. Namun gema pesan itu masih terasa segar, tajam, dan penuh relevansi bagi orang Kristen masa kini.
Setiap orang percaya, menurut Paulus, dipanggil untuk mengalami pembaruan total sebagai manusia baru di dalam Kristus. Panggilan ini tidak berhenti pada perubahan moral atau sekadar perbaikan etika, melainkan transformasi hakiki yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk pikiran, hati, dan tindakan.
Paulus menegaskan dalam Kolose 3:1–17, “Matikanlah dalam dirimu apa
saja yang duniawi.” Kalimat itu bukan kutipan hampa, melainkan undangan konkret
bagi orang percaya untuk meninggalkan manusia lama, lalu mengenakan manusia
baru yang ditandai oleh kasih, kerendahan hati, kelemahlembutan, pengampunan,
serta ucapan syukur kepada Tuhan.
Buku yang ditulis Budi, staf pengajar STT Kadesi Yogyakarta ini menempatkan pesan Paulus bukan sebagai wacana
abstrak, tetapi sebagai panggilan nyata. Bagaimana mengenakan manusia baru
ketika dunia digital menyuguhkan begitu banyak godaan? Bagaimana menghidupi
iman di tengah zaman yang serba cepat, instan, dan sering membuat orang
kehilangan kedalaman rohaninya? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi jantung buku
ini.
Dari Kolose ke Kalimantan
Hal yang menarik adalah bahwa penulis tidak hanya membicarakan Paulus dalam
ruang akademis, melainkan membumikan pesan itu ke dalam kehidupan jemaat masa
kini, khususnya di Kalimantan Barat. Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia
(GPdI) di Kabupaten Landak dipilih sebagai subjek penelitian.
Melalui wawancara, pengamatan, dan dialog, ditemukan bahwa
pergumulan jemaat di pedalaman Kalimantan tidak jauh berbeda dengan jemaat di
kota besar. Media sosial, internet, dan tren gaya hidup modern kerap menjadi
batu sandungan. Ada yang sudah diajar tentang manusia baru, tetapi masih
bergumul dengan kebiasaan lama. Ada pula yang memahami hidup baru sebagai hidup
bersama Kristus, namun tetap jarang hadir dalam ibadah.
Di titik ini, pesan Paulus menemukan kontekstualisasinya.
Jika jemaat Kolose dulu menghadapi filsafat sinkretis dan adat istiadat yang
bertabrakan dengan Injil, jemaat masa kini berhadapan dengan banjir informasi
digital dan godaan konsumerisme. Keduanya sama-sama tantangan iman. Karena itu,
penulis mengajak pembaca untuk membaca ulang ajaran Paulus, bukan sekadar
sebagai sejarah gereja, tetapi sebagai pedoman yang hidup bagi orang percaya
masa kini.
Buku ini juga semacam mengoreksi kesalahpahaman yang
masih sering muncul di kalangan umat. Pertanyaan Nikodemus kepada Yesus dalam
Yohanes 3:4–7 tentang kelahiran kembali menjadi cermin kebingungan itu. Paulus
menegaskan bahwa kelahiran baru bukanlah pengalaman lahiriah semata, melainkan
transformasi batiniah yang melibatkan perjumpaan dengan Kristus dan hidup di
dalam-Nya.
Suara Jemaat, Cermin Kehidupan
Salah satu kekuatan buku ini terletak pada keberanian
memberi ruang bagi suara-suara jemaat. Bukan hanya kutipan teolog besar seperti
Watchman Nee atau Kathryn Kuhlman, tetapi juga kesaksian sederhana dari mereka
yang bergumul di lapangan. Seorang pendeta mengakui bahwa masih ada umat yang
sulit meninggalkan kebiasaan lama. Seorang jemaat berkata bahwa ia masih
berjuang melepaskan diri dari dosa. Seorang lainnya jujur mengaku lebih sering
sibuk dengan urusan sehari-hari daripada hadir di ibadah.
Suara-suara itu membuat pesan Paulus terasa dekat. Manusia
baru bukan lagi doktrin abstrak yang sulit dijangkau, melainkan realitas hidup
yang dialami setiap orang percaya dengan jatuh bangun, keberhasilan, dan
kegagalan. Di situlah relevansi buku ini: menjadi manusia baru adalah sebuah
perjalanan panjang, bukan pengalaman sekali jadi.
Penulis mengingatkan, Paulus pun dahulu seorang penganiaya jemaat sebelum berjumpa dengan Kristus. Transformasi total itulah yang menjadikan ia berani menulis, “Hidup adalah Kristus, mati adalah keuntungan.”
Maka pesan Paulus tidak hanya berupa ajaran, melainkan kesaksian hidup yang
nyata. Dalam terang itu, setiap orang percaya dipanggil untuk terus
diperbaharui, meninggalkan manusia lama, dan mengenakan manusia baru.
Relevansi untuk Zaman yang Gelisah
Buku ini menempatkan Paulus di persimpangan zaman:
dari Kolose ke Kalimantan, dari abad pertama ke abad ke-21. Pesannya jelas:
manusia baru bukan status otomatis, melainkan proses yang harus terus dijalani.
Dunia modern dengan segala kemudahannya justru bisa menjadi
jebakan. Orang lebih takut kehilangan gawai daripada kehilangan hubungan
pribadi dengan Tuhan. Orang lebih cepat mengikuti tren dunia daripada membangun
pola hidup surgawi. Karena itu, buku ini hadir sebagai pengingat: Paulus
mengajak jemaat Kolose untuk mencari perkara yang di atas, bukan yang di bumi.
Pesan itu kini berbunyi sama kerasnya bagi orang Kristen masa kini.
Pustaka terbitan Lembaga Liiterasi Dayak (LLD) yang diluncurkan
pada akhir Agustus 2025 ini bukan hanya hasil penelitian akademis, melainkan juga
refleksi iman yang menyeberangi zaman. Sebuah pustaka yang menyodorkan cermin bagi pembaca:
sudahkah kita mengenakan manusia baru? Sudahkah hidup kita ditandai dengan
kasih, kerendahan hati, pengampunan, dan ucapan syukur sebagaimana diuraikan
Paulus?
Dengan gaya pastoral sekaligus reflektif, penulis
menghadirkan panduan yang kaya bagi hamba Tuhan, pelayan gereja, mahasiswa
teologi, dan seluruh umat percaya. Lebih dari sekadar bahan bacaan, buku ini
adalah undangan untuk sungguh-sungguh mengalami transformasi sejati dalam
Kristus.
Membaca buku ini, kita seperti kembali mendengar suara
Paulus yang bergema lintas abad: “Kenakanlah manusia baru, yang
terus-menerus diperbaharui.”
Peresensi: Br. Cosmas Damianus