Liturgi Katolik yang Agung, Teratur, dan Sama di Seantero Dunia
Liturgi Katolik: agung, teratur, sama di seantero dunia representasi pujian dan kemuliaan surgawi. Ist. |
Oleh Sr. Tanti Yosepha
Minggu pagi di sebuah paroki sederhana di pinggiran
Pontianak. Denting lonceng gereja memecah udara lembap. Umat berbondong datang,
sebagian dengan baju batik, sebagian lain dengan pakaian sederhana. Anak-anak
menggenggam buku nyanyian, orang tua menundukkan kepala, menyalakan lilin kecil
di depan altar.
Jauh di belahan bumi lain, di Basilika Santo Petrus, Roma,
suara lonceng raksasa juga menggema. Umat dari berbagai bangsa memenuhi kursi
kayu panjang. Bahasa yang terdengar beragam: Italia, Inggris, Latin, Tagalog,
Swahili. Namun ketika liturgi dimulai, ada irama yang sama. Bacaan Injil hari
itu, misalnya dari Injil Markus, diperdengarkan di Roma, juga di Pontianak,
juga di Nairobi, juga di Buenos Aires.
Keseragaman liturgi Katolik bukan kebetulan. Ia lahir dari tata yang
teratur, dijaga oleh Gereja Katolik selama berabad-abad. Liturgi, bagi umat
Katolik, bukan sekadar ritual. Ia adalah denyut jantung Gereja. Teratur, sama,
dan serentak di seluruh dunia. Dari kota metropolitan hingga desa kecil di
pedalaman. Dari altar megah hingga meja kayu sederhana di kapel hutan.
Liturgi menyatukan. Membawa umat dari latar berbeda ke dalam
satu tubuh. Satu doa, satu pengakuan iman, satu perayaan Ekaristi. Satu kesatuan yang tidak mudah dicapai, namun terus dijaga dengan tekun oleh Gereja.
Kalender yang Menyatukan
Ada sebuah kalender yang tak tercetak di dinding rumah,
tetapi hidup di hati umat. Kalender liturgi. Bagi orang Katolik, tahun tidak
hanya bergerak dari Januari ke Desember. Ia mengalir mengikuti irama iman:
Adven, Natal, Masa Biasa, Prapaskah, Paskah, Pentakosta.
Setiap warna liturgi menyampaikan pesan. Ungu hadir saat
Adven dan Prapaskah, melambangkan penantian serta tobat. Putih berkilau pada
Natal dan Paskah, tanda sukacita dan kemuliaan. Merah berkobar pada hari raya
para martir dan Pentakosta, simbol Roh Kudus dan pengorbanan. Hijau menemani
masa biasa, pertanda harapan yang tumbuh perlahan.
Kalender ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan perekat
iman. Bayangkan: seorang anak di Meksiko yang mendengarkan bacaan Injil tentang
Yesus menyembuhkan orang buta pada Minggu tertentu, mendengar teks yang sama
dengan seorang ibu di Kupang. Pada hari yang sama, seorang suster di Kenya dan
seorang mahasiswa di Filipina merenungkan sabda yang identik.
Keseragaman ini menjaga rasa kebersamaan. Dunia boleh
terpecah oleh bahasa, politik, bahkan konflik, tetapi liturgi menyuguhkan
pengalaman serempak. Doa yang sama mengalun di ribuan tempat, dalam ribuan
lidah, tetapi menuju satu Tuhan.
Di sebuah rumah panjang Dayak di Taman Kelempiau, Sekadau, misalnya, umat
duduk di tikar pandan. Lilin kecil menyala di meja kayu yang menjadi altar
sederhana. Imam mengangkat hosti yang sama seperti di katedral Paris. Bacaan
hari itu pun sama, meski dibacakan dalam bahasa Iban. Kalender liturgi membuat
jarak ribuan kilometer seakan lenyap.
Ritme yang Tidak Pernah Berubah
Masuk ke dalam misa, selalu ada alur yang bisa dikenali.
Dari awal hingga akhir, umat tahu kapan harus berdiri, duduk, berlutut.
Urutannya teratur. Ritus pembuka dengan tanda salib, doa tobat, lalu liturgi
sabda: bacaan, mazmur tanggapan, Injil, homili, syahadat, doa umat.
Kemudian liturgi Ekaristi, inti perayaan. Roti dan anggur
dipersembahkan, doa syukur agung dikumandangkan, kata-kata konsekrasi diucapkan
dengan khidmat. “Inilah tubuh-Ku... inilah darah-Ku...” Kalimat yang sama,
dengan intonasi mungkin berbeda, tetapi maknanya tidak pernah berubah.
Struktur ini membuat misa di sebuah kapel kecil di Flores
tetap sejiwa dengan misa agung yang dipimpin Paus di Roma. Imam boleh berbeda,
bahasa boleh berganti, musik bisa gamelan atau organ pipa, tetapi kerangka
liturginya satu.
Keseragaman ini bukan tanpa alasan. Ia menjaga agar misteri
iman tidak terdistorsi. Bila imam atau jemaat bebas mengubah urutan, makna
sakramen bisa kabur. Gereja belajar dari sejarah: tanpa keteraturan, liturgi
bisa pecah menjadi ritual-ritual yang tercerai-berai. Maka Gereja menulis,
menyusun, mengesahkan: buku misa, buku bacaan, buku doa. Semuanya menjadi
pedoman universal.
Namun keseragaman tidak berarti kaku. Ada ruang untuk
budaya. Di Flores, misalnya, misa pesta panen bisa dimulai dengan prosesi adat.
Umat membawa hasil bumi: padi, jagung, kelapa, diletakkan di depan altar. Di
Papua, suara tifa menggema mengiringi nyanyian Kyrie. Di Nias, tabuhan gendang
menemani prosesi persembahan. Inkulturasi memberi warna, tetapi inti liturgi
tetap dijaga.
Menjaga Keseragaman, Merawat Keindahan
Di balik keteraturan liturgi, ada tantangan. Dunia terus
berubah. Bahasa berkembang, musik berganti, gaya hidup umat makin beragam.
Bagaimana menjaga liturgi tetap sama tanpa kehilangan daya hidup?
Gereja menempuh jalan dialog. Setelah Konsili Vatikan II,
bahasa lokal diperbolehkan menggantikan Latin dalam liturgi. Alasan sederhana:
agar umat mengerti dan ikut aktif. Namun, perubahan itu harus melalui
persetujuan Roma. Tidak bisa sembarang terjemahan. Kata-kata doa syukur agung,
misalnya, mesti ditimbang agar teologinya tetap murni.
Ada pula perdebatan. Seperti di India, Gereja Syro-Malabar
berusaha menyatukan variasi liturgi menjadi bentuk yang lebih seragam. Sebagian
umat mendukung, sebagian lain menolak, merasa tradisi lokal mereka
terpinggirkan. Keseragaman memang indah, tetapi tak selalu mudah.
Tantangan lain datang dari umat sendiri. Ada paroki yang
tergoda “berkreasi” terlalu jauh. Lagu misa diganti lagu populer. Doa-doa
diubah sesuai selera. Saat itu terjadi, liturgi bisa kehilangan wajah
universalnya. Gereja mengingatkan: kreatif boleh, tetapi jangan sampai inti
hilang.
Meski begitu, keseragaman liturgi terus memberi buah. Ia
membentuk identitas global. Umat Katolik yang bepergian ke luar negeri bisa
masuk ke gereja mana pun, lalu merasa seperti pulang. Struktur misa yang sama
membuat mereka tak asing.
Liturgi yang teratur juga membangun rasa “satu tubuh”. Apa
pun bahasa dan budayanya, umat tahu bahwa di altar itu, roti dan anggur yang
sederhana diubah menjadi tubuh serta darah Kristus. Misteri yang sama, di
mana-mana, sepanjang waktu.
Liturgi yang agung dan teratur
Di sebuah desa kecil di Kalimantan Barat, seorang anak baru
dibaptis. Lilin kecil menyala, air dituangkan di dahinya, imam mengucapkan
kata-kata yang sama dengan yang diucapkan di basilika di Roma: “Aku membaptis
engkau dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.”
Liturgi Katolik, dengan keteraturannya, dengan kesamaannya,
adalah jembatan. Ia melintasi jarak, bahasa, dan budaya. Ia menautkan orang
yang tidak saling mengenal dalam doa yang sama. Ia menjadikan Gereja sungguh
katolik: universal.
Dan setiap kali lonceng misa berdentang, di manapun itu, kita tahu: doa sedang naik ke langit, bersama doa ribuan umat lain di belahan dunia yang berbeda. Dalam irama yang sama. Dalam liturgi yang sama.