Khotbah Imam Katolik Terstandarisasikan dan Hanya Bahas Topik yang Ditentukan
| Khotbah imam Katolik terukur, disiplin, hanya membahas bacaan Kitab Suci dalam konteks iman Katolik saja. Ist. |
Oleh Rev. Mikael Dou Lodo, S.T.L.
Dalam Gereja Katolik, Misa tidak pernah berhenti hanya
sebagai ritual indah atau sekadar kebiasaan moral. Katolik menghadirkan sebuah perayaan
liturgi yang tertata, sistematis, sekaligus sarat makna. Di dalam Misa kudus tertata rapi secara teologis Liturgi Sabda, yakni saat di mana Kitab Suci dibacakan secara berurutan.
Misa pada hari Minggu, atau Hari Raya Gereja, dimulai dengan Bacaan Pertama dari Perjanjian Lama atau para
nabi, disambung Mazmur tanggapan, kemudian Bacaan Kedua dari surat-surat
Perjanjian Baru, dan akhirnya Injil.
Homili hadir tepat setelah Injil. Khotbah imam Katolik bukan sisipan yang bisa
ditukar dengan drama, testimoni pribadi, atau ceramah motivasi. Gereja
menegaskan: homili adalah bagian yang tak boleh diabaikan, khususnya pada Misa
Minggu dan Hari Raya ketika umat berkumpul.
Landasan dan Asal Usul
Kedisiplinan bahwa homili harus berakar pada bacaan liturgi
tidak lahir dari kebiasaan semata. Ia tertanam dalam dokumen resmi Gereja.
Kitab Hukum Kanonik Kanon 767 §1 menekankan bahwa homili merupakan bentuk
pewartaan Sabda Allah yang paling unggul, dan sumbernya wajib dari teks Kitab
Suci sepanjang tahun liturgi.
Sacrosanctum Concilium, dokumen Konsili Vatikan II,
menambahkan: homili harus menguraikan misteri iman dan norma hidup Kristiani
berdasarkan Kitab Suci yang dibacakan. Pedoman Umum Missale Romanum memberi
arah agar ide pokok bacaan dijadikan pegangan. Sedangkan Redemptionis
Sacramentum menegaskan, homili tak boleh diganti dengan pertunjukan lain.
Semua ini memperlihatkan satu hal: Gereja tidak hanya
menghendaki adanya homili, tetapi menempatkannya dalam kerangka jelas. Kerangka
bacaan liturgi, kalender gerejawi, dan narasi besar keselamatan yang dibawa
Kristus.
Disiplin yang Dijaga
Mengapa disiplin ini begitu kuat? Ada beberapa alasan.
Pertama, kesatuan liturgi. Misa adalah satu tarikan napas
dari awal hingga akhir. Bila homili melompat ke isu-isu lain, keterkaitan
antara bacaan, doa, dan Ekaristi bisa terputus.
Kedua, pendalaman iman yang sistematis. Kalender liturgi
yang bergulir dari Adven, Natal, Prapaskah, hingga Minggu Biasa membuat iman
umat bertumbuh bertahap. Homili yang taat pada bacaan menolong umat agar tidak
melewatkan perjalanan rohani ini.
Ketiga, menghindari subjektivitas. Bila homili tidak
berpijak pada bacaan, ia bisa menjadi ruang opini imam semata. Gereja ingin
umat diarahkan pada Sabda Allah, bukan pada agenda sesaat.
Keempat, menjaga fokus umat. Jemaat datang ke Misa untuk
mendengar Sabda, bukan sekadar pendapat. Homili yang menyatu dengan bacaan
membuat umat sungguh dapat mencerna: bacaan didengar, lalu diolah melalui
penjelasan imam.
Dan kelima, memperkuat kesatuan universal. Karena bacaan
liturgi sama di seluruh dunia, umat di mana pun dapat mengalami pesan Injil
yang serupa pada hari yang sama. Homili yang berpegang pada bacaan menjaga agar
kesatuan ini tidak pecah.
Membumikan Sabda
Disiplin bukan berarti kaku. Homili justru dituntut
membumikan bacaan, agar Sabda yang didengar tidak mengawang, melainkan
mengakar.
Seorang imam bisa menyinggung pergumulan umat: dari
kesulitan ekonomi, tekanan sosial, hingga kerinduan akan damai. Ia bisa
menghadirkan kisah-kisah kecil dari kehidupan sehari-hari: sebuah keluarga yang
bertahan dalam kesederhanaan, seorang pelajar yang berjuang jujur di tengah
godaan mencontek, atau seorang petani yang berdoa sebelum turun ke ladang.
Homili yang baik juga mengajak umat merenung secara pribadi.
Misalnya: apa artinya Injil hari ini bagi seorang ibu yang merawat anak, atau
bagi seorang pekerja yang tengah menghadapi tekanan? Lalu, homili tak berhenti
di refleksi. Ia harus memberi panggilan konkret: untuk bertobat, mengampuni,
melayani, atau menegakkan keadilan.
Semua ini hanya mungkin bila imam menyiapkan homili dengan
doa dan studi Kitab Suci. Tanpa itu, homili mudah tergelincir menjadi sekadar
pidato moral.
Tantangan yang Dihadapi
Akan tetapi, praktik di lapangan tidak selalu ideal. Tidak semua
imam punya waktu atau sumber daya cukup untuk persiapan mendalam. Akibatnya,
homili kadang terdengar generik, mengulang tema lama, tanpa sentuhan konteks
bacaan hari itu.
Harapan umat juga beragam. Ada yang ingin homili menyentuh
emosi, ada yang berharap imam bicara soal isu sosial. Keseimbangan antara
kesetiaan pada bacaan dan relevansi dengan hidup umat tidak selalu mudah
dijaga.
Budaya lokal pun memainkan peran. Di daerah tertentu, isu
kemiskinan, lingkungan, atau konflik sosial begitu nyata. Umat berharap homili
menyinggung persoalan ini berbasiskan ayat-ayat Alkitab yang relevan, misalnya mengenai Kisah Penciptaan. Tantangannya adalah bagaimana tetap setia pada bacaan
liturgi sambil menanggapi situasi nyata.
Belum lagi soal bahasa. Terjemahan Kitab Suci yang dipakai
di liturgi bisa berbeda dari Alkitab populer yang dibaca umat di rumah. Imam
perlu menjembatani, agar umat tidak kebingungan.
Fokus yang Meneguhkan
Pada akhirnya, tradisi Katolik yang menegaskan homili harus
berakar pada bacaan liturgi hari itu adalah pilihan yang penuh makna. Khotbah imam Katolik menjaga agar Sabda Allah tidak sekadar lewat di telinga, melainkan benar-benar
dipahami. Ia menolong agar Misa tetap utuh, iman umat bertumbuh bertahap, dan
Gereja universal berjalan serentak.
Namun disiplin ini bukanlah pagar yang mematikan
kreativitas. Justru di dalam batasan inilah homili menemukan kekuatannya: setia
pada teks, relevan pada konteks, dan menggerakkan umat pada tindakan nyata.
Harapannya adalah bahwa setiap kali bacaan liturgi dibacakan dan homili
disampaikan, umat sungguh mengalami Sabda yang hidup. Sabda Allah bukan hanya didengar. Lebih dari itu,
Ayat Alkitab juga dibawa pulang, dihayati, dan diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Buah Khotbah Imam Katolik
Khotbah dalam Misa Katolik bukanlah sekadar jeda di antara bacaan Kitab Suci. Homili imam Katolik hadir sebagai jembatan: dari sabda yang didengar, umat diarahkan menuju doa yang lebih dalam, lebih personal, namun sekaligus universal. Imam, lewat suaranya, menghadirkan kehangatan pengajaran. Umat mendengarkan, merenungkan, lalu perlahan-lahan batin dipersiapkan.
Ketika homili selesai, perayaan Ekaristi berlanjut. Umat memasuki bagian paling sakral dari Misa, di mana roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Pada titik ini, buah khotbah sungguh terasa; hati telah diantar menuju penyatuan dengan korban Kristus, pengorbanan-Nya yang penuh cinta, tanpa batas, untuk manusia.
Buah khotbah tidak berhenti di altar. Ia ikut terbawa pulang. Saat Misa usai, umat berdiam sejenak. Ada rasa ringan, ada kedamaian yang berbeda. Bukan sekadar lega karena kewajiban mingguan telah ditunaikan, melainkan damai yang berasal dari sumber sejati.
Dalam bahasa gereja, ini disebut semina verbi, benih-benih Sabda. Sabda yang tadi dikhotbahkan, kini berakar di hati. Ia hidup, tumbuh, dan menjadi nyata dalam keseharian. Tidak dalam bentuk spektakuler, melainkan sederhana: kerelaan memaafkan, keberanian berbagi, kesediaan untuk setia.
Buah khotbah imam Katolik, pada akhirnya, bukan hanya kata-kata indah. Ia adalah jalan: jalan yang mengantar umat dari sabda menuju sakramen, dari doa menuju damai, dari altar menuju hidup sehari-hari.
Pontianak, 13 September 2025