“Kafir” Kata tak Laku dan tak Berlaku dalam Katolik Sejak Konsili Vatikan II

“Kafir” kata yang tak laku dalam Gereja Katolik Sejak Konsili Vatikan II
“Kafir” kata yang tak laku dan tak berlaku dalam Gereja Katolik Sejak Konsili Vatikan II. Ist.

 Oleh Br. Cosmas Damianus Baptista

Dalam sejarah Gereja Katolik, istilah infidel atau orang tidak beriman pernah begitu lekat dalam tradisi teologis.

Ensiklopedia Katolik 1910 menyebut “infidels are those who have not been baptized,” yakni semua orang yang belum mengenal Yesus Kristus. 

Dalam Katekismus Baltimore (1885), “infidel” didefinisikan sebagai mereka yang tidak termasuk dalam bilangan orang beriman, khususnya yang belum dibaptis. Bahkan ateis pun kerap dimasukkan ke dalam kategori ini.

Dari “Infidel” ke Kasih Universal

Namun seiring perjalanan sejarah, khususnya setelah Konsili Vatikan II (1962–1965), istilah keras semacam itu nyaris tidak lagi dipakai. Gereja Katolik tidak lagi menekankan sebutan “kafir” bagi mereka yang berbeda iman, melainkan menyoroti martabat manusia, pencarian kebenaran, serta kemungkinan rahmat Allah bekerja di luar batas-batas formal Gereja.

Konsili membuka horizon baru. Gereja tidak menutup mata atas kenyataan pluralitas agama dan pandangan hidup, tetapi justru melihat bahwa semua manusia dipanggil menuju keselamatan. Inilah yang menggeser istilah “infidel” menjadi pandangan yang lebih inklusif, penuh kasih, dan menekankan dialog.

Bonae Voluntatis, Kasih Karunia bagi Semua Orang

Ketika malaikat memuliakan Allah pada malam kelahiran Yesus (Luk 2:14), terdengar seruan: 

“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”

Dalam bahasa Latin dikenal istilah bonae voluntatis: damai bagi orang yang berkehendak baik. Yang dalam ayat terjemahan Alkitab itu disebut "manusia yang berkenan kepada-Nya (Tuhan).

Pernyataan itu memberi fondasi bagi gagasan tentang Katolik anonim: bahwa ada manusia-manusia yang, meski tidak mengenal Yesus secara eksplisit, tetap hidup menurut suara hati nurani, mengejar kebaikan, dan dengan demikian berkenan kepada Allah.

Karl Rahner, teolog besar abad ke-20, menegaskan bahwa mereka bisa disebut “Katolik anonim” yakni orang yang tanpa sadar berada dalam rahmat Kristus. Gereja tidak menutup pintu surga hanya bagi yang dibaptis, tetapi membuka peluang bagi siapa pun yang mengikuti nurani dan berbuat kasih.

Dengan dasar inilah Gereja Katolik berhenti memakai label “kafir” sebagai cap final. Sebaliknya, Gereja lebih menekankan kasih karunia yang universal, seperti dinyatakan dalam Lumen Gentium 16: 

“Mereka yang, tanpa kesalahan sendiri, tidak mengenal Injil Kristus atau Gereja-Nya, tetapi mencari Allah dengan hati tulus, dapat mencapai keselamatan abadi.”

Salib Kristus menjadi simbol yang kaya makna. Sisi vertikalnya mengarah ke Allah, menandakan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Sisi horizontalnya merentang ke sesama, melambangkan panggilan untuk mengasihi.

Yesus wafat di kayu salib demi seluruh umat manusia. Surat kepada orang Ibrani menegaskan: 

“Yesus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (bdk. 2Kor 5:15). 

Dalam Yesus, penebusan tidak terbatas pada orang beriman saja, melainkan merangkul seluruh umat manusia.

Roma 5:8 menambahkan: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Ayat ini menegaskan: penebusan Kristus tidak bergantung pada kesempurnaan iman manusia, tetapi pada belas kasih Allah sendiri.

Maka siapa pun, entah Kristen entah bukan, adalah sesama yang harus dikasihi. Salib menjadi saksi bahwa belas kasih Allah jauh melampaui batas-batas agama dan etnis.

Nostra Aetate, Dialog dengan Agama-agama

Konsili Vatikan II melahirkan dokumen penting, Nostra Aetate (1965), tentang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen. Dokumen ini menegaskan bahwa Gereja menghormati segala yang benar dan kudus dalam agama-agama lain.

“Gereja Katolik tidak menolak sesuatu pun yang benar dan kudus dalam agama-agama ini. Ia menghormati cara hidup, aturan, dan ajaran mereka, yang sering kali mencerminkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate 2).

Kalimat ini revolusioner. Gereja tidak lagi menempatkan agama lain sebagai “lawan,” melainkan sebagai mitra dialog demi kebaikan bersama. Dengan demikian, istilah “kafir” yang bernuansa diskriminatif digantikan oleh sikap penghormatan.

Khusus tentang umat Muslim, Konsili menyatakan: “Gereja juga menghormati umat (lain), yang menyembah Allah yang esa, yang hidup dan kekal, yang penuh belas kasih dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi.” (Nostra Aetate 3).

Dengan perspektif ini, perjumpaan antaragama tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan kesempatan untuk saling memahami.

Unitatis Redintegratio, Persatuan dalam Keragaman

Dokumen lain dari Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio (1964), berbicara tentang ekumenisme—upaya membangun kembali kesatuan umat Kristen. Meski fokus utamanya adalah hubungan antar-denominasi Kristen, semangat dasarnya adalah sama: menolak perpecahan, mengedepankan persaudaraan.

“Roh Kudus tidak enggan memakai mereka sebagai sarana keselamatan, yang daya dan manfaatnya berasal dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang dipercayakan kepada Gereja Katolik.” (Unitatis Redintegratio 3).

Artinya, rahmat Allah bekerja juga di luar batas-batas Gereja Katolik yang kelihatan. Semangat inklusif ini makin menegaskan bahwa Gereja tidak lagi menempatkan orang lain sebagai “kafir,” melainkan sebagai saudara yang dipanggil menuju kesatuan dalam Kristus.

Kasih yang Melampaui Batas Iman

Pada akhirnya, seluruh ajaran Katolik berporos pada hukum utama kasih: “Kasihilah Tuhan Allahmu... dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37–39). Inilah ringkasan seluruh hukum dan para nabi.

Yesus sendiri menegaskan dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25–37), bahwa sesama tidak dibatasi oleh identitas agama. Orang Samaria, yang dianggap “outsider,” justru menjadi teladan kasih sejati.

Konsili Vatikan II menggemakan semangat ini: bahwa manusia mana pun, dari tradisi apa pun, adalah saudara. Tidak ada lagi tempat untuk menyebut “kafir” dengan nada merendahkan. Yang ada hanyalah sesama, ciptaan Allah yang layak dihormati. 

Katolik jalan ke kebenaran yang lempang

Gereja Katolik sejak awal percaya bahwa Yesus Kristus adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh 14:6). Artinya, keselamatan dan kepenuhan hidup rohani hanya dapat ditemukan dalam diri Kristus, Sang Putra Allah yang menjelma. 

Gereja Katolik melihat dirinya sebagai sakramen keselamatan, yakni tanda dan sarana yang Allah pakai untuk menuntun umat manusia kepada kebenaran sejati. Jalan yang ditawarkan bukanlah jalan berliku penuh kebingungan, melainkan jalan lurus yang ditopang oleh iman, harapan, dan kasih, yang membawa manusia dari kegelapan dosa menuju terang keselamatan.

Jalan Katolik disebut lurus bukan karena mudah, melainkan karena jelas dan terarah. Ia berakar pada Kitab Suci, diperkuat oleh Tradisi, dan dijaga oleh Magisterium Gereja yang setia mengajarkan iman turun-temurun.

Melalui sakramen-sakramen, umat Katolik dipelihara dan diarahkan agar tetap setia dalam perjalanan iman. Jalan lurus ini tidak menyesatkan, sebab selalu mengarahkan manusia kepada Allah yang benar, sambil menuntun umat agar hidup kudus, mencintai sesama, serta mengusahakan keadilan dan damai di dunia.

Namun, Gereja juga mengakui bahwa jalan lurus Kristus harus dijalani dengan kerendahan hati. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa mereka yang tanpa kesalahan tidak mengenal Injil, tetapi mencari kebenaran dengan tulus, pun dapat disentuh rahmat Allah.

Dengan demikian, Katolik tetap memegang keyakinan bahwa Kristus adalah jalan keselamatan yang penuh, tetapi juga terbuka pada rahmat Allah yang bekerja di luar batas-batas Gereja. Inilah yang membuat Katolik bukan hanya jalan benar dan lurus, tetapi juga jalan kasih yang merangkul semua umat manusia.

Katolik juga yakin, Gereja yang berkesinambungan dan didirikan Yesus di atas Petrus ini adalah jalan yang dilalui menuju surga. Keberlangsungan Gereja sepanjang dua milenium menjadi tanda bahwa Roh Kudus bekerja menjaga kebenaran yang diwariskan para rasul.

Petrus sebagai batu karang adalah dasar dari sebuah bangunan rohani yang tak tergoyahkan, tempat umat berpegang di tengah zaman yang berubah-ubah. Karena itu, jalan iman Katolik tidak hanya sebuah keyakinan pribadi, tetapi juga sebuah persekutuan yang ditopang oleh janji Kristus sendiri.

Yesus yang turun ke dunia, mati disalib, wafat, bangkit, dan naik ke surga adalah garansi utama dari kebenaran jalan ini. Ia sendiri yang menebus dosa umat manusia dan membuka gerbang surga yang sebelumnya tertutup.

Dalam karya keselamatan itu, umat Katolik menemukan kepastian dan harapan abadi. Dengan demikian, jalan Katolik adalah jalan yang tidak hanya benar dan lurus, tetapi juga terjamin oleh janji Sang Juruselamat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org