Katolik, Gereja yang Satu dan Sama Sepanjang Masa dan di Seluruh Dunia
Nilasari Agustina menemukan fakta: Katolik di mana-mana satu dan sama. Ist. |
Oleh Dr. Laurentius Prasetyo
Nilasari Agustina, seorang ibu dari Yogyakarta, baru pindah
ke Dublin, Irlandia. Ia ikut sang suami yang ditugaskan sebagai diplomat di kota yang mayoritas pemeluk Katolik. Ia sempat search di Google kalau sensus tahun 2022 ditemukan
Dompetnya cuma berisi beberapa euro sepagi itu. Tapi hatinya haus akan Tuhan. Rindu misa Minggu. Kangen pada aroma dupa yang mengingatkannya pada gereja
kecil di Kotabaru.
Gereja yang satu
Minggu pagi, Bu Agus melangkah ke sebuah katedral tua di
sudut kota Dublin. Lonceng berdentang pelan, seperti memanggil pulang. Begitu misa
dimulai, dia tersenyum. Doa pembuka sama. Bacaan Injil tentang anak yang
hilang, sama persis seperti yang didengar temennya di Semarang via streaming.
Bahkan homili pastor, meski beraksen Irlandia kental, terasa akrab. Ini bukan
sulap.
Dalam nurani, ia berkata: “Ini kesatuan Katolik: satu iman,
satu ritus, satu keluarga besar yang dipersatukan oleh Takhta Santo Petrus dan
liturgi universal. Di dunia yang penuh pagar, batas negara, budaya, bahasa,
Gereja Katolik berdiri seperti rumah besar, pintunya terbuka untuk semua, dari
kampung di NTT, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, sampai basilika di Roma.”
Kesatuan ini bukan cuma soal perasaan. Unitas ini punya akar
kuat, tertulis jelas dalam dokumen-dokumen Vatikan seperti Lumen Gentium dan Sacrosanctum
Concilium, juga Kitab Hukum Kanonik.
Yesus berdoa demikian
“Supaya mereka semua menjadi satu, seperti Engkau, Bapa, dalam Aku” (Yoh 17:21).
Gereja mewujudkan doa itu lewat dua pilar: hierarki yang
terpusat pada Paus dan liturgi yang bikin umat merasa “di rumah” di mana pun.
Dari Paus Fransiskus di Vatikan sampai pastor di paroki
kecil di Sumba. Semua terjalin dalam satu jaringan iman. Ini bukan struktur
kaku seperti perusahaan multinasional. Ini hidup, penuh napas, seperti pohon
kelapa yang akarnya dalam tapi daunnya menari ditiup angin.
Hierarki Katolik, Fondasi yang Tak Goyah
Di pusat kesatuan ini ada Paus, penerus Petrus, si penjala ikan (yang kemudian menjadi penjala manusia) yang kadang goyah, tapi dipilih jadi batu karang.
Lumen Gentium bilang, Paus adalah “prinsip dan
fondasi tetap yang kelihatan dari kesatuan baik para uskup maupun umat
beriman.” Bukan cuma simbol. Dia penjaga iman. Kitab Hukum Kanonik (Kanon 331)
bilang jelas: “Uskup Roma adalah kepala kolegial para uskup, Vikar Kristus,
gembala Gereja universal. Kekuasaannya penuh, tertinggi, langsung, dan
universal.” Artinya, dia bisa bikin aturan yang mengikat dari Vatikan sampai
keuskupan terkecil di Papua. Tapi ini bukan soal kekuasaan mentah. Ini
pelayanan. Seperti Yesus yang nyuci kaki murid-murid, Paus jaga supaya Gereja
nggak pecah.
Lihat saja waktu pandemi. Gereja-gereja tutup, umat bingung.
Paus Fransiskus keluarkan Traditionis Custodes (2021), batasi Misa
Tridentin yang bikin gaduh, supaya liturgi tetap satu jalur. Atau dulu, waktu
Konsili Vatikan II (1962–1965), Paus Yohanes XXIII buka pintu, tapi Paus Paulus
VI yang pastikan semua dokumen, termasuk Sacrosanctum Concilium, jadi
pegangan dunia. Tanpa Paus, Gereja bisa kayak kapal tanpa nakhoda,
terombang-ambing. Lumen Gentium pasal 22 bilang: “Kolegium uskup cuma punya
kuasa penuh kalau bareng Paus, nggak pernah tanpa dia.” Bayangkan pohon
beringin: Paus adalah akar, uskup cabang, imam ranting. Semua nyambung,
ngalirin getah yang sama.
Uskup, penerus para Rasul, bikin kesatuan ini nyata di
lapangan. Setiap keuskupan kayak pulau kecil, tapi nggak terpisah dari daratan
utama, Vatikan. Lumen Gentium pasal 23 bilang, uskup-uskup bersatu dengan Paus
seperti Rasul dengan Petrus. Mereka ketemu di Sinode, kayak Sinode Amazonia
2019, bahas isu besar, tapi keputusan akhir tetap di tangan Paus (Kanon
342–344). Ini bikin suara Gereja nggak sumbang. Uskup Jakarta nggak bisa ubah
doktrin aborsi seenaknya, karena dia terikat pada Roma. Imam, sebagai “tangan
kanan” uskup, bawa kesatuan ini ke paroki. Lumen Gentium pasal 28 bilang, imam
bikin Gereja universal kelihatan di level lokal. Pastor di desa Flores yang
baptis bayi atau rayain Ekaristi? Dia wakilin Paus, meski cuma pakai sandal
jepit dan pastoran sederhana.
Liturgi sebagai Napas Satu Tubuh
Kalau hierarki adalah tulang, liturgi adalah napasnya. Sacrosanctum
Concilium bilang: “Liturgi adalah puncak sekaligus sumber kekuatan Gereja.”
Bukan cuma upacara. Liturgi adalah “sakramen kesatuan,” nyanyian iman yang
nyanyi bareng di seluruh dunia.
Bayangkan seorang pelancong dari Jakarta nyasar ke gereja
kecil di Buenos Aires. Bahasa beda, tapi misa sama: Gloria, bacaan Kitab Suci,
Doa Syukur Agung. Ini bukan kebetulan. Sacrosanctum Concilium pasal 22
tegas: “Aturan liturgi cuma di tangan Takhta Apostolik dan uskup.” Makanya,
bacaan Minggu sama, dari Sabun sampai San Francisco. Siklus tiga tahun (A, B,
C) bikin umat di mana pun dengar Injil yang sama. Pasal 24 bilang: “Kitab Suci
adalah jantungan liturgi, dijelasin lewat homili.” Hasilnya? Iman yang nggak
goyah, meski dunia berubah.
Contoh? Seorang teman pernah cerita, dia misa di kapel
pengungsi di Uganda. Bahasa Swahili, tapi bacaan tentang Perjamuan Terakhir
sama kayak di katedral Surabaya. “Saya ngerasa pulang,” katanya, matanya
berkaca-kaca. Bahkan di Indonesia, misa bisa pakai bahasa Jawa atau tarian
Bali, tapi strukturnya tetap Ritus Roma (pasal 38). Vatikan jaga ketat supaya
nggak ada yang nyanyi sumbang. Misal Roma, yang diterbitin 1970, bikin rubrik
seragam. Jadi, seorang mahasiswa di London bisa ikut misa harian tanpa bingung
kapan nyanyi Sanctus. Kesatuan ini kayak benang merah, nyambungin umat
dari pelosok ke pusat.
Umat ikut penuh dan aktif dalam liturgi
Kesatuan nggak cuma soal aturan dari atas. Ia hidup karena
umat. Sacrosanctum Concilium pasal 14 bilang: “Umat harus ikut penuh dan
aktif dalam liturgi.” Ini warisan Vatikan II. Dulu, umat cuma nonton misa,
kayak penonton bioskop.
Sekarang, mereka nyanyi, jawab doa, bahkan baca Kitab Suci.
Di sebuah gereja di Malang, misalnya, umat bawa persembahan sambil nari
poco-poco, tapi tetap dalam ritus yang disetujui Vatikan. Pasal 41 bilang, misa
bareng uskup, imam, dan umat adalah “tanda Gereja yang paling nyata.” Bayangkan
katedral di Makassar, penuh orang Bugis, Tionghoa, Jawa, bersatu di depan
mezbah. Itu bukan cuma misa. Itu pernyataan: kita satu keluarga.
Saat umat terima Ekaristi, mereka jadi satu tubuh Kristus. Sacrosanctum
Concilium pasal 10 bilang: “Liturgi bikin umat satu dalam kekudusan.” Di
Fatima, seorang nenek dari Manado berdoa Rosario bareng ribuan orang dari
Eropa. Bahasa beda, tapi hati nyanyi lagu yang sama. Hierarki kasih struktur:
Paus tunjuk uskup, uskup awasi imam. Liturgi kasih jiwa: bacaan dan ritus yang
sama di mana-mana. Bersama, mereka bikin Gereja nggak cuma bangunan, tapi
komunitas yang hidup, nyanyi bareng meski dunia penuh ribut.
Gereja yang satu, kudus, katolik, apostolik itu hidup
Kesatuan ini nggak selalu mulus. Sekularisme goda umat untuk ninggalin iman. Ada yang kangen misa Latin lama, bikin ketegangan. Tapi hierarki jaga supaya nggak pecah. Mediator Dei (1947) bilang, liturgi adalah hak Takhta Apostolik, bukan selera pribadi.
Paus Fransiskus, lewat Ut
Unum Sint (1995), mengajak untuk dialog dengan gereja lain, tapi tegas: kesatuan
sejati lahir dari Petrus. Di Indonesia, Konferensi Waligereja bikin misa lebih
“lokal”, pakai gamelan atau tarian Dayak, Batak, Toraja, Flores, tapi tetap dalam koridor Vatikan.
Ini kayak menari di atas tali, merangkul budaya tapi nggak kehilangan akar. Itulah inkulturasi menurut Katolik. Hal yang ditegaskan sekaligus dikumandangkan dalam produk Konsili Vatikan II, Ad Gentes dan Lumen Gentium.
“Pujilah Tuhan dengan tari tarian” bisa dikembangkan menjadi refleksi atau inspirasi rohani. Misalnya, dalam tradisi banyak gereja dan komunitas rohani, tarian bukan sekadar gerakan fisik, tetapi juga ungkapan hati yang memuliakan Tuhan. Alkitab pun menyebutkan beberapa contoh pujian melalui tarian:
Mazmur 149:3 – “Biarlah mereka memuji nama-Nya dengan tarian, dan bermain kecapi bagi-Nya.”
Mazmur 150:4 – “Pujilah Dia dengan kecapi dan tarian; pujilah Dia dengan tambur dan seruling.”
Maknanya adalah ketika kita menari dengan hati yang tulus, kita menyampaikan sukacita, syukur, dan pengabdian kepada Tuhan secara nyata. Tarian bisa menjadi doa yang bergerak—tubuh, hati, dan jiwa bersatu memuliakan Sang Pencipta.
Kesatuan Katolik adalah panggilan. Ia ngajak umat jadi satu
tubuh, dari Vatikan sampai kampung. Seperti Petrus yang ngejar ikan di Galilea,
Paus pimpin Gereja ke pantai abadi. Tiap misa, kita bilang: “Satu, kudus,
katolik, apostolik.”
Bukan sebatas berhenti pada kata. Gereja yang atu, kudus, katolik, apostolik”
itu hidup.
Di dunia yang penuh luka dan perpecahan, Gereja menawarkan
harapan: satu Paus, satu liturgi, satu keluarga yang nggak kenal batas.
Pontianak, 23 September 2025