Katolik, Gereja yang Satu dan Sama Sepanjang Masa dan di Seluruh Dunia

Nilasari Agustina, seorang ibu dari Yogyakarta, baru pindah ke Dublin, Irlandia.
Nilasari Agustina menemukan fakta: Katolik di mana-mana satu dan sama. Ist.

Oleh Dr. Laurentius Prasetyo

Nilasari Agustina, seorang ibu dari Yogyakarta, baru pindah ke Dublin, Irlandia. Ia ikut sang suami yang ditugaskan sebagai diplomat di kota yang mayoritas pemeluk Katolik. Ia sempat search di Google kalau sensus tahun 2022 ditemukan 53% penduduk kota Dublin menyebut diri Katolik.

Dompetnya cuma berisi beberapa euro sepagi itu. Tapi hatinya haus akan Tuhan. Rindu misa Minggu. Kangen pada aroma dupa yang mengingatkannya pada gereja kecil di Kotabaru.

Gereja yang satu

Minggu pagi, Bu Agus melangkah ke sebuah katedral tua di sudut kota Dublin. Lonceng berdentang pelan, seperti memanggil pulang. Begitu misa dimulai, dia tersenyum. Doa pembuka sama. Bacaan Injil tentang anak yang hilang, sama persis seperti yang didengar temennya di Semarang via streaming. Bahkan homili pastor, meski beraksen Irlandia kental, terasa akrab. Ini bukan sulap.

Dalam nurani, ia berkata: “Ini kesatuan Katolik: satu iman, satu ritus, satu keluarga besar yang dipersatukan oleh Takhta Santo Petrus dan liturgi universal. Di dunia yang penuh pagar, batas negara, budaya, bahasa, Gereja Katolik berdiri seperti rumah besar, pintunya terbuka untuk semua, dari kampung di NTT, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, sampai basilika di Roma.”

Kesatuan ini bukan cuma soal perasaan. Unitas ini punya akar kuat, tertulis jelas dalam dokumen-dokumen Vatikan seperti Lumen Gentium dan Sacrosanctum Concilium, juga Kitab Hukum Kanonik.

Yesus berdoa demikian

“Supaya mereka semua menjadi satu, seperti Engkau, Bapa, dalam Aku” (Yoh 17:21).

Gereja mewujudkan doa itu lewat dua pilar: hierarki yang terpusat pada Paus dan liturgi yang bikin umat merasa “di rumah” di mana pun.

Dari Paus Fransiskus di Vatikan sampai pastor di paroki kecil di Sumba. Semua terjalin dalam satu jaringan iman. Ini bukan struktur kaku seperti perusahaan multinasional. Ini hidup, penuh napas, seperti pohon kelapa yang akarnya dalam tapi daunnya menari ditiup angin.

Hierarki Katolik, Fondasi yang Tak Goyah

Di pusat kesatuan ini ada Paus, penerus Petrus, si penjala ikan (yang kemudian menjadi penjala manusia) yang kadang goyah, tapi dipilih jadi batu karang.

Lumen Gentium bilang, Paus adalah “prinsip dan fondasi tetap yang kelihatan dari kesatuan baik para uskup maupun umat beriman.” Bukan cuma simbol. Dia penjaga iman. Kitab Hukum Kanonik (Kanon 331) bilang jelas: “Uskup Roma adalah kepala kolegial para uskup, Vikar Kristus, gembala Gereja universal. Kekuasaannya penuh, tertinggi, langsung, dan universal.” Artinya, dia bisa bikin aturan yang mengikat dari Vatikan sampai keuskupan terkecil di Papua. Tapi ini bukan soal kekuasaan mentah. Ini pelayanan. Seperti Yesus yang nyuci kaki murid-murid, Paus jaga supaya Gereja nggak pecah.

Lihat saja waktu pandemi. Gereja-gereja tutup, umat bingung. Paus Fransiskus keluarkan Traditionis Custodes (2021), batasi Misa Tridentin yang bikin gaduh, supaya liturgi tetap satu jalur. Atau dulu, waktu Konsili Vatikan II (1962–1965), Paus Yohanes XXIII buka pintu, tapi Paus Paulus VI yang pastikan semua dokumen, termasuk Sacrosanctum Concilium, jadi pegangan dunia. Tanpa Paus, Gereja bisa kayak kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing. Lumen Gentium pasal 22 bilang: “Kolegium uskup cuma punya kuasa penuh kalau bareng Paus, nggak pernah tanpa dia.” Bayangkan pohon beringin: Paus adalah akar, uskup cabang, imam ranting. Semua nyambung, ngalirin getah yang sama.

Uskup, penerus para Rasul, bikin kesatuan ini nyata di lapangan. Setiap keuskupan kayak pulau kecil, tapi nggak terpisah dari daratan utama, Vatikan. Lumen Gentium pasal 23 bilang, uskup-uskup bersatu dengan Paus seperti Rasul dengan Petrus. Mereka ketemu di Sinode, kayak Sinode Amazonia 2019, bahas isu besar, tapi keputusan akhir tetap di tangan Paus (Kanon 342–344). Ini bikin suara Gereja nggak sumbang. Uskup Jakarta nggak bisa ubah doktrin aborsi seenaknya, karena dia terikat pada Roma. Imam, sebagai “tangan kanan” uskup, bawa kesatuan ini ke paroki. Lumen Gentium pasal 28 bilang, imam bikin Gereja universal kelihatan di level lokal. Pastor di desa Flores yang baptis bayi atau rayain Ekaristi? Dia wakilin Paus, meski cuma pakai sandal jepit dan pastoran sederhana.

Liturgi sebagai Napas Satu Tubuh

Kalau hierarki adalah tulang, liturgi adalah napasnya. Sacrosanctum Concilium bilang: “Liturgi adalah puncak sekaligus sumber kekuatan Gereja.” Bukan cuma upacara. Liturgi adalah “sakramen kesatuan,” nyanyian iman yang nyanyi bareng di seluruh dunia.

Bayangkan seorang pelancong dari Jakarta nyasar ke gereja kecil di Buenos Aires. Bahasa beda, tapi misa sama: Gloria, bacaan Kitab Suci, Doa Syukur Agung. Ini bukan kebetulan. Sacrosanctum Concilium pasal 22 tegas: “Aturan liturgi cuma di tangan Takhta Apostolik dan uskup.” Makanya, bacaan Minggu sama, dari Sabun sampai San Francisco. Siklus tiga tahun (A, B, C) bikin umat di mana pun dengar Injil yang sama. Pasal 24 bilang: “Kitab Suci adalah jantungan liturgi, dijelasin lewat homili.” Hasilnya? Iman yang nggak goyah, meski dunia berubah.

Contoh? Seorang teman pernah cerita, dia misa di kapel pengungsi di Uganda. Bahasa Swahili, tapi bacaan tentang Perjamuan Terakhir sama kayak di katedral Surabaya. “Saya ngerasa pulang,” katanya, matanya berkaca-kaca. Bahkan di Indonesia, misa bisa pakai bahasa Jawa atau tarian Bali, tapi strukturnya tetap Ritus Roma (pasal 38). Vatikan jaga ketat supaya nggak ada yang nyanyi sumbang. Misal Roma, yang diterbitin 1970, bikin rubrik seragam. Jadi, seorang mahasiswa di London bisa ikut misa harian tanpa bingung kapan nyanyi Sanctus. Kesatuan ini kayak benang merah, nyambungin umat dari pelosok ke pusat.

Umat ikut penuh dan aktif dalam liturgi

Kesatuan nggak cuma soal aturan dari atas. Ia hidup karena umat. Sacrosanctum Concilium pasal 14 bilang: “Umat harus ikut penuh dan aktif dalam liturgi.” Ini warisan Vatikan II. Dulu, umat cuma nonton misa, kayak penonton bioskop.

Sekarang, mereka nyanyi, jawab doa, bahkan baca Kitab Suci. Di sebuah gereja di Malang, misalnya, umat bawa persembahan sambil nari poco-poco, tapi tetap dalam ritus yang disetujui Vatikan. Pasal 41 bilang, misa bareng uskup, imam, dan umat adalah “tanda Gereja yang paling nyata.” Bayangkan katedral di Makassar, penuh orang Bugis, Tionghoa, Jawa, bersatu di depan mezbah. Itu bukan cuma misa. Itu pernyataan: kita satu keluarga.

Saat umat terima Ekaristi, mereka jadi satu tubuh Kristus. Sacrosanctum Concilium pasal 10 bilang: “Liturgi bikin umat satu dalam kekudusan.” Di Fatima, seorang nenek dari Manado berdoa Rosario bareng ribuan orang dari Eropa. Bahasa beda, tapi hati nyanyi lagu yang sama. Hierarki kasih struktur: Paus tunjuk uskup, uskup awasi imam. Liturgi kasih jiwa: bacaan dan ritus yang sama di mana-mana. Bersama, mereka bikin Gereja nggak cuma bangunan, tapi komunitas yang hidup, nyanyi bareng meski dunia penuh ribut.

Gereja yang satu, kudus, katolik, apostolik itu hidup

Kesatuan ini nggak selalu mulus. Sekularisme goda umat untuk ninggalin iman. Ada yang kangen misa Latin lama, bikin ketegangan. Tapi hierarki jaga supaya nggak pecah. Mediator Dei (1947) bilang, liturgi adalah hak Takhta Apostolik, bukan selera pribadi. 

Paus Fransiskus, lewat Ut Unum Sint (1995), mengajak untuk dialog dengan gereja lain, tapi tegas: kesatuan sejati lahir dari Petrus. Di Indonesia, Konferensi Waligereja bikin misa lebih “lokal”, pakai gamelan atau tarian  Dayak, Batak, Toraja, Flores, tapi tetap dalam koridor Vatikan. Ini kayak menari di atas tali, merangkul budaya tapi nggak kehilangan akar. Itulah inkulturasi menurut Katolik. Hal yang ditegaskan sekaligus dikumandangkan dalam produk Konsili Vatikan II, Ad Gentes dan Lumen Gentium.

“Pujilah Tuhan dengan tari tarian” bisa dikembangkan menjadi refleksi atau inspirasi rohani. Misalnya, dalam tradisi banyak gereja dan komunitas rohani, tarian bukan sekadar gerakan fisik, tetapi juga ungkapan hati yang memuliakan Tuhan. Alkitab pun menyebutkan beberapa contoh pujian melalui tarian:

Mazmur 149:3“Biarlah mereka memuji nama-Nya dengan tarian, dan bermain kecapi bagi-Nya.”

Mazmur 150:4“Pujilah Dia dengan kecapi dan tarian; pujilah Dia dengan tambur dan seruling.”

Maknanya adalah ketika kita menari dengan hati yang tulus, kita menyampaikan sukacita, syukur, dan pengabdian kepada Tuhan secara nyata. Tarian bisa menjadi doa yang bergerak—tubuh, hati, dan jiwa bersatu memuliakan Sang Pencipta.

Kesatuan Katolik adalah panggilan. Ia ngajak umat jadi satu tubuh, dari Vatikan sampai kampung. Seperti Petrus yang ngejar ikan di Galilea, Paus pimpin Gereja ke pantai abadi. Tiap misa, kita bilang: “Satu, kudus, katolik, apostolik.”

Bukan sebatas berhenti pada kata. Gereja yang atu, kudus, katolik, apostolik” itu hidup.

Di dunia yang penuh luka dan perpecahan, Gereja menawarkan harapan: satu Paus, satu liturgi, satu keluarga yang nggak kenal batas.

Pontianak, 23 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org