Budaya Dayak Jangkang dan Katolik Sebuah Perjumpaan dalam Lensa Thomistik
| Misi Ordo Kapusin di Jangkang tahun 1934 praktik-baik inkulturasi sejati. Dokpri penulisnya. |
Oleh Rangkaya Bada
“Aku datang bukan untuk meniadakan, melainkan untuk menggenapkannya.” : Matius 5:17.
Kalimat ini seperti bisikan lembut yang menyejukkan di tengah riuhnya perubahan. Nats yang mengingatkan kita bahwa iman tidak datang untuk merobek dan mengacak-acak tradisi, tetapi untuk menambahkan makna baru.
Budaya, adat, dan kodrat manusia bukan lawan yang harus dikalahkan. Adat budaya manusia adalah ladang yang siap disuburkan rahmat. Sebagaimana adat budaya masyarakat Jangkang sub-rumpun Bidayuh di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Dalam kehidupan Dayak Jangkang, rumah
panjang yang ramai, gawai yang penuh tawa, dan ritual penyambutan tamu menjadi
kanvas di mana Injil menorehkan warna baru tanpa menghapus sketsa asli.
Mengapa Ordo Kapusin, pada tahun 1934, begitu mudah diterima di tanah Jangkang dari Sanggau? Salah satu alasannya karena masyarakat Dayak Jangkang sudah memiliki semina verbi: hati yang terbuka untuk mendengar dan memahami Firman Tuhan.
Dayak Jangkang bukan hanya bersikap ramah terhadap tamu dan ajaran baru, tetapi juga memiliki budaya yang menghargai nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kasih sayang, yang sejajar dengan pesan Injil. Ini membuat misionaris Kapusin bisa masuk tanpa menimbulkan konflik besar, karena budaya dan iman mereka memiliki titik temu.
Dayak Jangkang sejak lama memang “dipilih Tuhan” untuk menjadi penyembah-Nya. Mereka sudah terbiasa hidup dengan rasa hormat kepada yang Maha Kuasa, meski dalam bentuk tradisi lokal.
Ketika Injil diperkenalkan, mereka mampu menangkap esensi Tuhan yang sama. Mereka tidak kehilangan identitas budaya mereka dalam proses itu. Inilah yang menjadikan perjumpaan antara Kapusin dan Dayak Jangkang bukan sekadar misi dari luar, tetapi sebuah proses alamiah yang membangun iman sekaligus melestarikan tradisi lokal.
Rahmat Menyempurnakan Kodrat, Prinsip Thomistik dalam Konteks Lokal
Santo Thomas Aquinas menekankan prinsip gratia perficit naturam: rahmat ilahi menyempurnakan kodrat, bukan menggantikannya. Kodrat manusia adalah benih, yang sudah mengandung kebaikan dan potensi untuk tumbuh.
Rahmat hadir seperti hujan yang menembus tanah, memberi kehidupan pada akar,
batang, dan daun, hingga buah yang lahir lebih matang dan manis. Dengan prinsip
ini, Injil dan budaya lokal berjalan beriringan, saling menambah makna dan
menyemai harmoni. Tradisi yang tetap hidup menjadi jembatan antara masa lalu
dan iman yang relevan hari ini.
Dalam praktik sehari-hari, prinsip ini terlihat jelas: doa di rumah panjang yang bergaung di dinding bambu, gawai yang menari bersama lagu pujian, ritual potong pantan yang menyambut tamu dengan doa; semua menunjukkan bagaimana rahmat menyempurnakan kodrat.
Budaya tidak lenyap, iman tidak terasa
asing. Keduanya menari bersama dalam ritme kehidupan, menciptakan harmoni yang
hidup dan berkelanjutan. Pesan Injil bukan ancaman, tetapi pelengkap yang
membuat kehidupan manusia lebih kaya, lebih bermakna, dan lebih utuh.
Borneo, pulau yang memeluk hutan hujan tropis, menyimpan
komunitas Dayak yang hidup dalam siklus agraris dan komunalisme. Kodrat mereka,
lahir dari interaksi manusia dengan alam, sudah baik. Ia tidak rusak.
Rahmat Injil hadir untuk membangun, menambahkan makna, menyempurnakan.
Vedastus Ricky menegaskan, ketika misionaris memasuki
wilayah Dayak Jangkang pada abad ke-19, ada risiko destruktif. Namun melalui
prinsip Thomistik, rahmat bersifat konstruktif. Ia menambahkan dimensi
kasih, keadilan, dan kesetiaan kepada Tuhan ke dalam adat yang sudah ada.
Rahmat dan kodrat berjalan beriringan, menciptakan identitas
yang harmonis.
Rumah Panjang sebagai Pusat Komunalitas dan Ruang Iman
Rumah panjang, atau betang, bukan sekadar bangunan.
Puluhan keluarga hidup bersama, berbagi ruang, makanan, pengalaman hidup, dan
tanggung jawab sosial.
Ketika Injil masuk, rumah panjang menjadi ruang iman. Doa
bersama, perayaan panen, dan ibadah komunitas menjadikan betang lebih dari
tempat tinggal. Ia menjadi gereja rumah tangga, tempat kasih dan
kesetiaan kepada Tuhan terpintal dalam kehidupan sehari-hari.
Erika Siluq mencatat, rumah panjang adalah contoh nyata inkulturasi.
Nilai komunal tidak hilang. Ia disempurnakan dengan nilai Kristen. Ritual adat
tetap dijalankan, tetapi dimaknai ulang.
Contoh nyata: perayaan panen di Desa Sungai Ringin. Keluarga
menata hasil bumi, membagi hasil panen, dan mengadakan doa syukur bersama.
Tradisi lama tetap ada, tapi doa kini ditujukan kepada Tuhan, bukan roh alam.
Rumah panjang mengajarkan: iman bisa hidup dalam konteks
lokal, tanpa kehilangan makna.
Gawai dan Potong Pantan, Ritual yang Menyatu dengan Iman
Festival panen, atau gawai, adalah bagian integral
kehidupan Dayak. Sebelum Injil, gawai bersifat animistis, persembahan kepada
roh alam. Kehadiran Injil mengalihkan nilai syukur kepada Tuhan.
Gawai tetap merayakan hasil bumi dan menekankan keadilan
sosial. Ritual lama tidak hilang; ia disempurnakan dan diberi makna transenden.
Potong pantan, ritual penyambutan tamu, melibatkan
pemotongan bambu dan telur sebagai simbol perlindungan dan kesuburan. Doa
penyambutan menekankan keramahan sebagai perintah Yesus, menampilkan
harmoni antara adat dan iman.
Mantili et al. menegaskan, ritual ini adalah contoh hukum
etis alami. Sebelum dikodifikasi, tindakan benar-salah sudah diatur oleh
adat. Rahmat Injil menambahkan dimensi transenden: pelanggaran adat juga
menjadi dosa di hadapan Tuhan.
Contoh lokal: di Desa Tanjung Keranji, seluruh keluarga
betang mengikuti ritual potong pantan. Pemimpin adat membaca doa, tamu disambut
hangat. Anak-anak belajar nilai keramahan dan persaudaraan. Ritual sederhana
ini menampilkan kombinasi harmonis antara adat dan iman.
Antara Tradisi dan Iman
Proses inkulturasi Dayak-Jangkang bukan kebetulan. Sejak
abad ke-19, misi Kristen, pertahanan budaya lokal, dan penyesuaian nilai
Kristen membentuk identitas hibrida.
Sekitar 70–80% Dayak kini memeluk Kristen. Namun elemen
budaya tetap bertahan. Ritual, rumah panjang, dan festival ada, tetapi diberi
makna baru. Injil bukan penghapus; ia pembangun. Rahmat menyempurnakan kodrat,
dan kodrat tetap hidup.
Contoh: perayaan Natal di desa-desa Dayak Jangkang. Dekorasi
Natal dipadukan ornamen tradisional, lagu-lagu pujian Kristen dimainkan dengan
alat musik tradisional. Ritual dan iman tidak saling menghapus, tapi memperkaya
satu sama lain.
Harmonisasi antara kodrat dan rahmat bukan teori; ia nyata
dalam praktik sehari-hari.
Identitas ini relevan untuk pelestarian budaya, pendidikan
generasi muda, dan penguatan iman yang kontekstual. Dayak-Jangkang membuktikan:
integrasi iman dan budaya bisa produktif, harmonis, dan kaya makna.
Inkulturasi sebagai Manifestasi Gratia Perficit Naturam
Jika semua elemen disatukan, inkulturasi Dayak-Jangkang
adalah bukti empiris prinsip Thomistik. Rahmat ilahi menyempurnakan kodrat, dan
kodrat menyediakan fondasi bagi rahmat.
Vedastus Ricky memberikan lensa teologis: rahmat membangun
atas kodrat. Erika Siluq memberi bukti historis-budaya: rumah panjang, gawai,
dan potong pantan menjadi ruang iman. Mantili et al. menambahkan dimensi etis:
adat sebagai hukum tak tertulis disempurnakan oleh Injil.
Harmoni ini bukan teori; praktik nyata. Budaya Dayak tidak
hilang. Iman tidak terasa asing. Keduanya menari bersama dalam ritme kehidupan
sehari-hari.
Di era modern, identitas hibrida menjadi strategi
pelestarian budaya. Generasi muda menghargai adat sambil menumbuhkan iman.
Praktik sehari-hari: dari doa rumah tangga hingga festival panen, menjadi
laboratorium sosial dan spiritual.
Rahmat ilahi tidak merusak kodrat. Sebaliknya, rahmat menyempurnakan.
Budaya bertahan, ritual hidup, iman tumbuh. Perjumpaan ini adalah tarian
harmoni yang menegaskan: budaya dan Injil, ketika disatukan dengan bijak,
menghasilkan identitas yang utuh, kaya, dan abadi.
Referensi Ringkas
- Erika
Siluq: Budaya Rumah Panjang Suku Dayak, 2025
- Mantili
et al.: Kebudayaan Dayak, 2023
- Matius
5:17, Alkitab Terjemahan Indonesia
- Masri
Sareb Putra, Dayak Djangkang, 2010.
- Vedastus
Ricky, Pandangan dan Sikap Hidup Suku Daya, 1980.