Bapa Gereja dan Pujangga Gereja dalam Tradisi Katolik
Bapa Gereja dan Pujangga Gereja dalam Tradisi Katolik: Tanpa jasa mereka, Kristen kehilangan treologi fundamental, seperti Trinitas. |
Oleh Teguh Imanqu
Dalam tradisi Gereja Katolik, Bapa Gereja (Church Fathers)
dan Pujangga Gereja (Doctors of the Church) merupakan pilar utama yang
membentuk fondasi doktrinal, spiritual, dan intelektual Kekristenan.
Bapa Gereja merujuk pada para teolog, uskup, dan penulis Kristen awal yang hidup antara abad pertama hingga kedelapan, yang mewariskan ajaran apostolik melalui tulisan-tulisan mereka.
Para Bapa Gereja dijadikan "bapa rohani" yang membimbing umat Kristen. Sebagaimana Paulus menggambarkan dirinya dalam 1 Korintus 4:15-16, di mana ia menyebut dirinya sebagai bapa dalam Kristus.
Bapa dan pujangga Gereja, Penjaga kemurnian
Definisi resmi dari Bapa Gereja mencakup kriteria seperti
ortodoksi doktrin, kekudusan hidup, kuno (antiquity), dan pengakuan Gereja
melalui konsili atau dekret paus.
Sumber resmi seperti Ensiklopedia Katolik menekankan bahwa
mereka adalah saksi Tradisi Apostolik yang melengkapi Kitab Suci, dengan
tulisan mereka sering dikutip di Konsili Nicea (325 M) dan konsili-konsili lain
untuk membela iman terhadap bidah seperti Arianisme atau Gnostisisme.
Sementara Pujangga Gereja adalah gelar kehormatan yang
diberikan kepada santo-santa terpilih dari kalangan Bapa Gereja atau tokoh
selanjutnya, atas kontribusi luar biasa mereka dalam menjelaskan misteri iman.
Istilah "Pujangga" berasal dari Latin
"doctor" yang berarti pengajar, dan mereka diakui karena eminensi
doktrinal, kekudusan, serta pengaruh abadi. Saat ini, ada 37 Pujangga Gereja,
termasuk empat asli Latin: Santo Ambrosius, Agustinus, Hieronymus, dan
Gregorius Agung.
Pentingnya Bapa Gereja serta Pujangga Gereja ini terletak
pada peran mereka sebagai penafsir Alkitab yang otentik, sebagaimana ditegaskan
Konsili Trente (1545-1563) dan Vatikan II (1962-1965), yang menyatakan bahwa
interpretasi Kitab Suci harus selaras dengan konsensus Bapa Gereja untuk
menghindari penyimpangan. Bapa Apostolik seperti Klemens Roma dan Ignatius
Antiokhia langsung terhubung dengan para Rasul, memberikan keaslian historis.
Scott Hahn, seorang teolog Katolik kontemporer dan mantan
pendeta Protestan, sering menyoroti bagaimana Bapa Gereja membaca Alkitab
secara liturgis dan tipologis, bukan hanya historis-kritis. Dalam karya-karyanya,
Hahn menggambarkan mereka sebagai guru pertama yang membentuk pemahaman tentang
Ekaristi dan Trinitas.
Sejarah Bapa Gereja, Dari Masa Apostolik hingga Akhir
Periode Patristik
Sejarah Bapa Gereja dimulai pada masa Apostolik (abad
pertama), dengan tokoh seperti Santo Klemens Roma (w. 99 M), penulis Surat
kepada Jemaat Korintus yang menekankan kesatuan Gereja, dan Santo Ignatius
Antiokhia (w. 107 M), yang membahas Ekaristi sebagai "daging Kristus"
dalam surat-suratnya. Mereka melawan bidah awal seperti Doketisme dan
memperkuat hierarki uskup sebagai penerus Rasul. Santo Polikarpus Smirna (w.
155 M), murid Yohanes, diabadikan dalam martiriumnya oleh Irenaeus, menunjukkan
kontinuitas apostolik.
Pada abad kedua, era Apologet muncul dengan Santo Yustinus
Martir (w. 165 M), yang menggunakan filsafat Yunani untuk membela Kristen dalam
Apologi*-nya, dan Santo Irenaeus Lyon (w. 202 M), yang menetapkan kanon Alkitab
awal dalam Melawan Bidah.
Tertullianus Kartago dan "Trinitas"
Tertullianus Kartago (w. 220 M) memperkenalkan istilah "Trinitas" meskipun kemudian menyimpang ke Montanisme. Abad ketiga dan keempat menjadi puncak Patristik, dengan Konsili Nicea melibatkan Santo Atanasius Aleksandria (w. 373 M), pembela Tritunggal melawan Arianisme.
Di
Timur, "Tiga Hierark" seperti Santo Basilius Agung (w. 379 M),
Gregorius Naziancus (w. 390 M), dan Yohanes Krisostomus (w. 407 M)
mengembangkan monastisisme dan homiletika. Di Barat, Santo Ambrosius Milan (w.
397 M) memengaruhi Agustinus, sementara Santo Hieronymus (w. 420 M)
menerjemahkan Vulgata.
Periode Patristik berakhir sekitar abad kedelapan di Timur
dengan Santo Yohanes Damaskenus (w. 749 M), penyusun ringkasan teologi
Bizantin, dan abad kedua belas di Barat dengan Santo Bernardus Clairvaux (w.
1153 M). Sumber seperti Catholic Encyclopedia mengakui mereka melalui kutipan
di konsili seperti Efesus (431 M) dan Khalcedon (451 M). Sejarah ini
mencerminkan perjuangan Gereja melawan bidah, dengan Bapa sebagai penjaga
deposit iman (1 Tim 6:20).
Scott Hahn dalam studinya menekankan exegesis patristik
sebagai kunci, merujuk Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini* (2010)
untuk kembalinya ke Bapa. Eusebius Kaisarea (w. 340 M) mendokumentasikan
sejarah ini dalam Ecclesiastical History.
Kontribusi Scott Hahn dalam Memahami Bapa Gereja
Scott Hahn, yang masuk Katolik pada 1986 setelah menjadi
pendeta Presbiterian, menemukan kebenaran Katolik melalui studi Bapa Gereja.
Dalam Rome Sweet Home: Our Journey to Catholicism (1993) ia menceritakan
bagaimana Santo Agustinus dan Ambrosius meyakinkannya tentang Presensi Nyata
dalam Ekaristi, seperti yang digambarkan Ignatius. Ini menunjukkan peran Bapa
sebagai jembatan Alkitab dan Tradisi.
Tertullianus Kartago (w. 220 M) memperkenalkan istilah "Trinitas" meskipun kemudian menyimpang ke Montanisme. Abad ketiga dan keempat menjadi puncak Patristik, dengan Konsili Nicea melibatkan Santo Atanasius Aleksandria (w. 373 M), pembela Tritunggal melawan Arianisme.
Karya utama Hahn, Angels and Saints: A Biblical Guide to
Friendship with God’s Holy Ones (2014) menggambarkan Bapa sebagai
suara Gereja awal yang membentuk identitas Katolik. Ia menyoroti bagaimana
Tertullianus dan Origen mengintegrasikan filsafat dengan wahyu. Dalam konteks
historis, Hahn membahas apologetika Yustinus di tengah penganiayaan Romawi dan
fokus pasca-Konstantin pada dogma.
Melalui St. Paul Center, Hahn mengajarkan bahwa Bapa membaca
Perjanjian Lama sebagai prifigura Kristus, kontras dengan Sola Scriptura yang
ia kritik sebagai ahistoris. Hahn menghubungkan Bapa dengan Pujangga Gereja,
mencatat empat Latin sebagai dasar Katekismus. Kolaborasi dengan pakar seperti
Matthew Levering dalam jurnal mengeksplorasi exegesis patristik sebagai
representasi Kristus.
Hahn membuat Bapa accessible melalui podcast dan buku
seperti *How They Read the Bible* (2012), menjelaskan alegori sebagai cara
rohani. Kontribusinya memperkuat Vatikan II bahwa Tradisi dan Kitab Suci saling
melengkapi melalui Bapa.
Sejarah Penetapan Pujangga Gereja
Penetapan Pujangga Gereja dimulai akhir abad ke-13, dengan
Paus Bonifasius VIII mengakui empat Latin pada 1295-1298: Santo Ambrosius,
Agustinus, Hieronymus, dan Gregorius Agung, atas pengaruh mereka pada liturgi
dan teologi. Kriteria awal meliputi ortodoksi, kekudusan, dan eminensi
pengajaran.
Pada abad ke-16, Paus Pius V menambahkan Santo Thomas
Aquinas (1567) sebagai "Doctor Communis" untuk Summa Theologica-nya,
dan Santo Bonaventura (1588). Ekspansi berlanjut hingga Paus Klemens XI
menambahkan Santo Anselmus (1720) dan Isidorus Sevilla (1722); Benediktus XIII
menambahkan Petrus Khrysologus (1729). Pujangga Timur seperti Atanasius,
Basilius, Yohanes Krisostomus, dan Gregorius Naziancus ditetapkan pada 1568.
Abad ke-19 menambahkan Petrus Damian (1828) dan Bernardus
Clairvaux (1830). Abad ke-20: Pius XI menambahkan Yohanes dari Salib (1926) dan
Albertus Magnus (1931); Paulus VI menambahkan Teresa Avila (1970); Yohanes
Paulus II menambahkan Teresa Lisieux (1997). Paus Fransiskus menambahkan
Gregorius Narek (2015), Yohanes Avila (2012), dan Hildegard Bingen (2012).
Kriteria modern adalah bahwa yang disebut “pujangga gereja”
adalah orang yang berkontribusi teologi, relevansi abadi, pengakuan luas, dan
kekudusan. Gelaran ini bukan kanonisasi ulang, tapi pengakuan doktrinal,
seperti ditegaskan United States Conference of Catholic Bishops (USCCB).
Sejarah ini menunjukkan evolusi Gereja dalam mengidentifikasi suara abadi.
Pakar Katolik Kontemporer dan kemunculan Scott Hahn
Pakar kontemporer melanjutkan warisan Bapa dan Pujangga
Gereja melalui lensa Hahn. Fr. Ian Ker. Banyak yang membandingkannya dengan Agustinus dalam perkembangan doktrin. Newman
menggunakan patristik untuk menjelaskan iman yang berkembang tanpa berubah.
Fr. Robert Barron memproduksi seri
tentang Pujangga seperti Agustinus dan Teresa Avila, menerapkan mereka pada
sekularisme. David Meconi, SJ, menyoroti Ignatius dan Klemens untuk otoritas
pausil awal, relevan ekumenisme.
Hahn mengintegrasikan ini dalam sumber teologi, merekomendasikan Confessions Agustinus sebagai pengantar patristik. Ia menyoroti Pujangga wanita seperti Teresa Avila dan Lisieux sebagai "Pujangga Cinta Ilahi".
Warisan terlihat di Katekismus (1992) yang
mengutip Bapa ratusan kali, dan Veritatis Gaudium (2018) yang mendorong
studi patristik.
Di tengah relativisme, Bapa dan Pujangga Gereja menawarkan kestabilan. Hahn menyimpulkan studi mereka bukan nostalgia, tapi kembalinya ke akar, seperti Paus Leo XIII dalam Aeterni Patris (1879).
Sejarah dan penetapanBapa dan Pujangga Gereja memastikan kesetiaan apostolik Gereja.