Anak Allah, Huios tou Theou tak Ada Bidan sebab Bukan dalam Relasi Biologis
"Anak Bangsa" dan "Yesus Anak Allah" sama-sama mengandung makna relasi dan identitas yang melampaui biologis. Jadi, memang tak ada bidannya! |
Oleh Teguh Imanqu
"Anak bangsa" istilah yang sering kita gunakan sehari-hari. Siapa bidannya? Tak ada! Sebab bukan dalam relasi biologis.
Demikian Anak Allah dalam dunia Kristen. Tak ada bidannya. Sebab Trinitas satu hakikat. Hal ini sudah dibahas dalam narasi tersendiri.
"Anak Bangsa" dan "Yesus Anak Allah" sama-sama mengandung makna relasi dan identitas yang melampaui biologis.
Huios tou theou
Huios tou theou dalam bahasa Yunani Koine, istilah atau
“Anak Allah” menempati posisi khusus. Bukan sekadar gelar, melainkan pintu
masuk untuk mengenal siapa Yesus Kristus. Injil Markus, yang ditulis sekitar
tahun 65 hingga 70 M, memulai kisahnya dengan kalimat tajam: “Inilah
permulaan Injil Yesus Kristus, Anak Allah” (Mrk 1:1).
Pernyataan ini bersambung dengan Mazmur 2:7: “Anak-Ku
Engkau, Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”
Sejak baris pertama, Markus menegaskan identitas Yesus.
Baptisan di Sungai Yordan bukan hanya pengalaman pribadi rohani. Itu momen
pewahyuan publik. Suara dari surga berkata: “Engkaulah Anak-Ku yang
Kukasihi” (Mrk 1:11). Gema nubuat lama dipenuhi di hadapan banyak orang.
Kata huios (anak) dan theou (Allah)
menunjukkan relasi unik. Tidak biologis. Tidak seperti hubungan ciptaan dengan
pencipta. Relasi ini berbicara tentang kesetaraan esensi. Karena itu, Konsili
Nicea tahun 325 menegaskan rumusan klasik: “Dilahirkan, bukan diciptakan,
sehakikat dengan Bapa.”
Dari “Anak Tunggal” ke Pengakuan Tritunggal
Injil Yohanes memperdalam makna. Yohanes 3:16 menyebut Yesus
sebagai monogenēs huios, Anak Tunggal Allah. Ungkapan ini menegaskan
keunikan yang mutlak. Putra satu-satunya yang diberikan Bapa untuk keselamatan
dunia.
Pada awalnya, tafsiran Katolik melihat gelar ini sebagai
tanda relasi istimewa. Belum sampai pada pengakuan keilahian penuh. Namun
pengalaman kebangkitan mengubah arah. Gelar itu berkembang menjadi pengakuan
Tritunggal. Lihat Matius 28:19: “Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus.”
Di sini status Anak mendapat tempat dalam formula iman yang menyatukan Gereja
sepanjang abad.
Dalam abad pertama, sebutan ini muncul dalam banyak
peristiwa. Markus 3:11 menulis bahwa roh-roh jahat sendiri menyebut-Nya Anak
Allah. Petrus pun, dalam Matius 16:16, menyatakan dengan tegas: “Engkau
adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.” Tetapi pengakuan ini sekaligus
menimbulkan tuduhan penghujatan. Yohanes 5:18 mencatat bahwa orang Yahudi ingin
membunuh Yesus karena Ia menyamakan diri dengan Allah.
Dari Paulus hingga Hans Küng
Rasul Paulus melihat status Anak sebagai puncak pewahyuan.
Dalam Roma 1:4 ia menulis bahwa Yesus “dinyatakan sebagai Anak Allah dalam
kuasa melalui kebangkitan dari antara orang mati.” Bagi Paulus, kebangkitan
adalah momen penegasan mutlak. Saat itulah Yesus tampil dengan otoritas penuh
sebagai Putra.
Hans Küng, dalam On Being a Christian (1974),
menekankan bahwa status Anak adalah puncak wahyu Tuhan. Bahasa Yunani memberi
penekanan. Huios berbeda dari teknon. Huios berarti
warisan dan otoritas penuh. Teknon sekadar menunjuk pada keturunan
biologis. Karena itu Paulus dalam Galatia 4:4–7 menulis bahwa orang beriman
diangkat sebagai anak. Bukan teknon, tetapi huios. Mereka pewaris sejati berkat
Roh Kudus.
Jejak dalam Tradisi Awal
Septuaginta, terjemahan Yunani Perjanjian Lama, memberi
fondasi awal. “Anak Allah” di sana dipakai untuk raja Israel atau umat pilihan.
Tetapi dalam Perjanjian Baru, maknanya meluas. Lebih dalam. Lebih tegas dalam
keilahian.
Ignatius dari Antiokhia, Bapa Gereja awal, sekitar tahun 110
M menulis bahwa Yesus adalah “Anak Allah sejati.” Baginya, ini bukan kiasan.
Melainkan inti iman. Dalam Ekaristi, umat ikut serta dalam status Anak Kristus.
Dalam baptisan, mereka lahir baru sebagai anak-anak Allah. Gelar ini menjadi
pusat iman dan sumber pengharapan.
Dari Athanasius hingga Paus Benediktus
Santo Athanasius menulis dalam De Incarnatione: “Anak
Allah menjadi Anak Manusia supaya manusia bisa menjadi anak Allah.” Ia
menegaskan hal ini dalam perdebatan melawan Arianisme. Jika Kristus hanyalah
ciptaan, maka keselamatan batal. Tetapi karena Ia sungguh Anak Allah,
keselamatan terjamin.
Paus Benediktus XVI, dalam Jesus of Nazareth (2007),
menafsir kembali akar Ibrani dan Yunani. Mazmur 2 dilihatnya sebagai nubuat
yang genap dalam Yesus. Yohanes 10:30 menegaskan kesatuan Bapa dan Anak: “Aku
dan Bapa adalah satu.”
Katekismus Gereja Katolik nomor 1265 menyatakan bahwa
baptisan menjadikan manusia ciptaan baru. Roma 8:15 menambahkan: umat beriman
menerima Roh yang menjadikan mereka bisa berseru, “Abba, ya Bapa.”
Brant Pitre dalam Jesus and the Jewish Roots of the
Eucharist (2011) menekankan dimensi mistik. Melalui Ekaristi, Kristus
menyatukan umat dalam keluarga ilahi. Katekismus nomor 441 menegaskan kembali
bahwa gelar ini berakar di Perjanjian Lama, namun mencapai puncaknya dalam
Tritunggal.
Konsili, Sejarah, dan Kehidupan Sekarang
Konsili Nicea tahun 325 menyatakan: Yesus dilahirkan dari
Bapa sebelum segala abad. Pernyataan ini menegaskan bahwa keputraan Kristus
tidak mengenal awal. Origenes pada abad ke-3 sudah memberi landasan bagi
keyakinan itu.
Apa artinya bagi kita hari ini? Pertama, hidup sebagai
keluarga Allah. Status anak bukan sekadar simbol, melainkan panggilan nyata.
Artinya, umat dipanggil untuk mencerminkan kasih Bapa dalam dunia yang sering
menyingkirkan bahasa iman.
Kedua, pemahaman ini menjadi pintu dialog antaragama. Scott
Hahn menekankan bahwa gelar “Anak Allah” menghubungkan tradisi Yahudi dengan
iman Kristen. Mazmur menjadi akar. Injil menjadi penggenapan. Dialog tetap
terbuka, tetapi keunikan Kristus harus dipertahankan.
Ketiga, gelar ini tidak berhenti pada teori. Ia undangan
hidup. Menjadi anak berarti masuk dalam relasi Bapa dan Anak. Doa harian,
keikutsertaan dalam liturgi, dan kasih nyata pada sesama adalah wujud konkret
panggilan itu.
Ilustrasi Kehidupan Sehari-hari
Seorang ibu muda di sebuah paroki di pinggiran kota
bercerita, setiap kali membaptiskan anaknya, ia selalu meneteskan air mata.
“Saya sadar, anak ini sekarang bukan hanya anak saya. Ia anak Allah,” katanya.
Kesadaran sederhana itu menghidupkan iman.
Di tempat lain, seorang mahasiswa merasakan pengalaman
serupa dalam Ekaristi. Saat imam mengangkat hosti, ia berbisik dalam hati: “Aku
ini anak Allah.” Tidak ada teori rumit. Hanya rasa syukur yang membuncah.
Pengalaman ini nyata. Setiap baptisan, setiap doa, setiap
tindakan kasih kepada sesama adalah cara umat Kristiani menghidupi status
sebagai anak Allah. Gelar yang dulu lahir dalam bahasa Yunani kini menjadi
pengalaman sehari-hari.
Gelar yang Menjadi Pusat Iman
Sejak Injil Markus hingga Konsili Nicea, dari Paulus hingga
Hans Küng, gelar “Anak Allah” menjelma benang merah iman. Ia menghubungkan
nubuat Mazmur, suara di Yordan, pengakuan Petrus, tulisan Bapa Gereja, hingga
refleksi teolog modern.
Bahasa Yunani memberi istilah. Tetapi yang kita temukan jauh
melampaui kata. “Anak Allah” bukan sekadar gelar. Ia penggenapan janji. Ia
wahyu yang hidup. Ia pusat iman.
Bagi umat Katolik, Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Allah. Ia datang ke dunia. Ia wafat. Ia bangkit. Semua itu agar kita boleh hidup sebagai anak-anak Allah, hari ini dan seterusnya.