Yesus dan Para Penganjur Pemimpin yang Menghamba: Diakui ada empat penggagas servant leadership sepanjang sejarah

Ilustrasi Yesus, pemimpin yang melayani kreasi minta jasa AI.

Jakarta - Edukatolik: Dalam perjalanan panjang sejarah umat manusia, muncul berbagai pemikir yang menggagas dan menganjurkan konsep kepemimpinan yang berfokus pada pelayanan, yang kini dikenal sebagai servant leadership. 

Keempat tokoh ini, dengan pemikiran orisinal dan kebaruan yang signifikan, telah membentuk landasan bagi pemahaman kita tentang kepemimpinan yang menempatkan pengikut sebagai prioritas utama.

600 SM: Lao Tzu 

Lao Tzu, seorang filsuf Tiongkok, mengajarkan bahwa seorang pemimpin seharusnya berjalan di belakang kaum yang dipimpinnya. 

Baca Pendidikan Katolik : Model, Filosofi, dan Tujuannya

Dalam pandangannya, kepemimpinan bukanlah soal memimpin dengan tangan besi, melainkan tentang memberi ruang bagi pengikut untuk berkembang. Ia menekankan pentingnya memperhatikan kebutuhan dan kenyamanan rakyat sebelum memenuhi kebutuhan diri sendiri. 

Dengan filosofi ini, Lao Tzu menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati akan menempatkan kesejahteraan pengikutnya di atas segalanya, memastikan mereka merasa diperhatikan dan dihargai.

375 SM: Arthaśāstra 

Dalam karya klasiknya, Arthaśāstra, Chanakya menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang melayani harus selalu mengutamakan kebaikan bagi rakyatnya. Ia menekankan bahwa kedaulatan sejati ada di tangan rakyat, yang merupakan sumber kekuasaan seorang pemimpin. C

hanakya menggarisbawahi bahwa sumber daya negara seharusnya dinikmati bersama oleh rakyat, bukan hanya oleh para penguasa. 

Dengan perspektif ini, ia mendorong pemimpin untuk mendengarkan suara rakyat dan bertindak demi kepentingan bersama, menjadikan kepemimpinan sebagai bentuk tanggung jawab sosial.

Abad Pertama Masehi: Yesus dari Nazareth

Dalam konteks sosial dan budaya abad pertama, di mana hierarki dan kekuasaan sering kali menjadi tolak ukur status seseorang, ajaran Yesus dari Nazareth menawarkan perspektif yang revolusioner tentang kepemimpinan. Ia mengungkapkan dalam Injil Matius, "barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu" (Mat 23:11).

Baca Lembaga Pendidikan Katolik yang Tetap Bertahan dan Berkembang dalam Kuantitas dan Kualitas

 Ungkapan ini bukan hanya sekadar pernyataan, melainkan sebuah panggilan untuk merevolusi cara pandang kita terhadap kekuasaan dan kepemimpinan.

Yesus menantang norma-norma yang telah terinternalisasi dalam masyarakat, di mana pemimpin sering kali dipandang sebagai penguasa yang harus ditakuti dan dihormati. Sebaliknya, ia mengajak setiap orang untuk melihat nilai sejati dari kepemimpinan sebagai bentuk pelayanan. 

Dalam pemikiran Yesus, seorang pemimpin yang baik bukanlah mereka yang memegang kendali dengan tangan besi, melainkan mereka yang dengan tulus melayani dan mengutamakan kebutuhan orang lain.

Lebih lanjut, dalam Lukas 22:27, Yesus mengajukan pertanyaan retoris yang menggugah: "Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan?" 

Yesus mengajukan pertanyaan yang menyoroti perbedaan antara kekuasaan sosial dan nilai sejati. Meskipun orang yang duduk di meja makan sering dianggap lebih berkuasa, mereka yang melayani sebenarnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa merendahkan diri untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah bentuk kebesaran yang sejati.

Ajaran ini mengajak kita untuk memahami bahwa kekuatan terletak pada kemampuan untuk merendahkan diri dan memberi kepada sesama.

Konsep pelayanan yang diajarkan Yesus juga berkaitan erat dengan kasih dan empati. Ia menekankan pentingnya menjalin hubungan yang mendalam dengan orang lain, memahami kebutuhan mereka, dan berkomitmen untuk membantu mereka tumbuh. 

Dalam banyak perumpamaan yang Ia sampaikan, Yesus menunjukkan bahwa tindakan kasih dan pelayanan adalah inti dari ajaran-Nya. Hal ini bukan hanya menjadi pedoman bagi pengikut-Nya pada masa itu, tetapi juga menjadi prinsip universal yang relevan hingga hari ini.

Dengan mengadopsi sikap rendah hati, Yesus mengajarkan bahwa setiap orang, tidak peduli status atau kedudukan mereka, dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan orang lain.

 Dalam pandangan-Nya, kepemimpinan bukanlah tentang ambisi pribadi atau pencarian kekuasaan, melainkan tentang mengedepankan cinta dan pengabdian kepada sesama. Ini adalah ajaran yang menembus batas waktu dan budaya, mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita dapat menjadi pemimpin yang melayani dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui ajaran Yesus, kita diingatkan bahwa inti dari servant leadership adalah menciptakan dampak positif di komunitas kita. Ia menunjukkan bahwa setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan penuh kasih dapat membawa perubahan yang signifikan. 

Dengan menempatkan pengikut dan komunitas di pusat perhatian, Yesus telah meletakkan dasar bagi pemikiran servant leadership yang akan terus menginspirasi generasi demi generasi.*1970: 

Robert K. Greenleaf

Robert K. Greenleaf, seorang pelopor dalam pemikiran servant leadership modern, menyatakan bahwa seorang pemimpin adalah pelayan terlebih dahulu. Dalam pandangannya, naluri manusiawi untuk dilayani adalah bagian penting dari dinamika sosial. 

Dengan melayani pengikutnya, seorang pemimpin dapat membangun kepercayaan dan rasa saling menghormati, yang pada gilirannya akan membawa pada pencapaian tujuan bersama. Greenleaf menekankan bahwa kepemimpinan yang efektif lahir dari kemampuan untuk mengutamakan kebutuhan orang lain, menciptakan lingkungan yang memberdayakan dan memotivasi.

Baca Magisterium dalam Gereja Katolik

Melalui warisan pemikiran keempat tokoh ini, kita diingatkan bahwa inti dari kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan untuk melayani.

Servant leadership bukan hanya sekadar gaya kepemimpinan, melainkan sebuah panggilan untuk mengutamakan kesejahteraan orang lain, menjalin hubungan yang mendalam, dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.


Penulis: Raymundus Saputra

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org