Mawar Berganti Flamboyan | Cerpen Masri Sareb Putra
Ilustrasi Cinta Abadi by AI. |
Kini berganti sudah semuanya
Mawar berganti flamboyan
Melati kini penggantinya
Tapi kau tak ku lupakan...........
Lagu itu diputar di kafe kecil dekat stasiun. Tak keras, tapi cukup jelas untuk membuat jantungku berdenyut lebih cepat. “Kini berganti sudah semuanya... Mawar berganti flamboyan…” Kalimat yang tak asing. Suara penyanyinya membawa kembali kenangan yang selama ini aku coba kubur dalam-dalam.
Namaku Rian. Orang-orang mengenalku sebagai guru SMA biasa di Jakarta Timur. Tapi tak ada yang tahu, setiap kali lagu “Cinta Abadi” terdengar, aku seperti ditarik kembali ke masa lalu. Masa saat segalanya terasa utuh, sebelum perlahan satu per satu mulai hilang.
Dulu kami bertiga: aku, Lia, dan Marthen. Kami dekat sejak kuliah. Lia bukan hanya perempuan yang membuatku jatuh cinta, tapi juga tempat pulang yang nyaman. Marthen sahabatku sejak SMA, tipe teman yang bisa diandalkan dan tahu kapan harus diam.
Waktu itu Lia bilang, “Aku akan ke luar kota beberapa bulan, untuk pengobatan.”
Aku terdiam. Tak tahu harus jawab apa. Dia memelukku sebelum aku sempat menanyakan lebih banyak.
“Aku pergi untuk kembali, Rian,” katanya pelan. “Tolong jaga diri, ya.”
Aku mengangguk. Tapi dalam hati, aku tidak sepenuhnya yakin. Lia sudah beberapa bulan mengeluhkan tubuhnya mudah lelah. Aku pernah melihatnya pucat dan kehilangan berat badan, tapi ia selalu bilang hanya kelelahan biasa.
Sejak hari itu, ia benar-benar pergi. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Marthen sesekali menghubungi keluarganya, tapi mereka juga tidak memberi informasi jelas. Hari-hari pun berjalan seperti biasa. Tapi sebenarnya tidak ada yang biasa.
“Lo masih mikirin dia, ya?” tanya Marthen suatu sore di warung kopi.
Aku hanya angkat bahu.
“Dua tahun, Rian. Udah dua tahun. Gue juga bingung, tapi kita enggak bisa terus begini,” katanya.
Aku tahu Marthen bukan bermaksud menyuruhku melupakan Lia. Ia hanya khawatir aku tenggelam terlalu dalam. Tapi kenyataannya, aku memang sudah tenggelam. Tiap sudut kota ini seperti punya wajah Lia. Bangku taman, halte bus, lorong kampus, semuanya menyimpan jejak.
Lalu suatu malam, ponselku berbunyi.
Pesan masuk.
Dari Lia.
“Aku kembali.”
Dadaku sesak. Tangan bergetar. Aku baca pesan itu berkali-kali, memastikan itu bukan mimpi. Lia benar-benar kembali?
Esoknya, kami bertemu. Di taman yang dulu sering kami kunjungi. Taman kecil, tidak terlalu istimewa. Tapi hari itu terasa asing. Seperti tempat yang menunggu sesuatu terjadi.
Lia datang dengan langkah pelan. Ia memakai kerudung tipis dan pakaian longgar. Wajahnya tirus, lebih pucat, tapi masih Lia.
“Maaf kalau aku kagetin,” katanya, tersenyum tipis.
Aku tidak bisa langsung menjawab. Suara tertahan di tenggorokan. Kami duduk di bangku panjang, seperti dulu. Hening agak lama.
“Aku enggak mau kalian tahu kondisiku dulu,” ucapnya pelan. “Waktu itu aku divonis kanker. Awalnya aku menyangkal. Tapi lama-lama tubuhku enggak bisa dibohongi.”
Marthen yang duduk di sebelahku hanya mengangguk. Wajahnya serius. “Kenapa lo enggak bilang?”
“Aku takut kalian ikut susah. Aku enggak tahu apakah aku kuat... aku enggak pengin kalian ngeliat aku lemah.”
Aku meremas jemariku sendiri. “Lia, kita sahabat, kita lebih dari itu. Harusnya lo bilang... kami bisa ada di situ buat lo.”
Dia mengangguk, tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sempat berpikir mungkin lebih baik hilang diam-diam. Tapi malam-malamku penuh bayangan kalian.”
Hari-hari berikutnya kami mulai sering bertemu lagi. Lia masih menjalani terapi. Kadang dia muntah di tengah makan siang, atau tiba-tiba merasa lelah hanya karena berjalan sebentar. Tapi ia tetap tersenyum. Tetap mencoba menjalani hari dengan biasa.
Suatu malam saat kami bertiga makan malam di warung tenda, Lia tampak lemas.
“Gue ngerasa enggak enak badan,” katanya.
Aku berdiri panik. “Kita ke rumah sakit sekarang.”
Di perjalanan, Lia pingsan di dalam mobil. Marthen menyetir dengan kecepatan gila. Aku duduk di belakang memangku kepala Lia sambil terus memanggil namanya.
Di rumah sakit, dokter segera membawa Lia ke ruang gawat darurat. Kami duduk di ruang tunggu, seperti orang yang kehilangan arah.
“Dia bakal baik-baik aja, kan?” tanya Marthen.
Aku tidak menjawab. Yang keluar hanya nafas pendek dan doa dalam hati.
Dokter keluar setelah satu jam.
“Kondisinya kritis. Kami akan lakukan tindakan darurat. Mohon doanya.”
Kami menunggu lagi. Jam demi jam. Malam makin larut. Aku tak bisa tidur. Mataku tak lepas dari pintu ruang operasi.
Pagi menjelang, dokter keluar.
“Dia stabil sekarang. Tapi kita belum tahu apakah dia bisa bertahan lama. Tubuhnya lemah, tapi semangatnya besar.”
Aku langsung masuk. Lia terbaring dengan selang di hidung. Tapi ia membuka matanya.
“Aku enggak kuat, Rian,” bisiknya. “Cinta ini terlalu berat buatku.”
Aku menahan tangis.
“Kita belum selesai. Kita masih bisa berjuang. Gue di sini.”
Ternyata setelah itu ada kabar baik. Dokter menawarkan terapi baru. Masih dalam tahap uji coba, tapi punya peluang.
“Aku akan coba,” kata Lia.
Sejak itu kami menjaganya setiap hari. Lia perlahan pulih. Ia mulai tertawa lagi. Kadang kami jalan ke taman. Kadang hanya duduk di rumah sambil nonton film.
“Lo tahu enggak,” katanya suatu hari, “gue baru ngerasa hidup setelah melewati semua ini. Gue dulu takut mati, sekarang malah takut enggak sempat bilang makasih ke kalian.”
Di hari kelulusan, aku beri dia surat kecil.
“Ini untuk lo. Sebagai tanda kalau kita udah berjuang bareng.”
Lia membacanya dan senyum.
“Kita akan bikin kenangan baru yang lebih indah, ya.”
Dan saat itu, saat kami berdiri bertiga di tengah keramaian, lagu “Cinta Abadi” kembali terdengar dari pengeras suara. Tapi kali ini bukan luka yang terasa. Hanya hangat yang pelan-pelan memenuhi dada.
Lia sembuh. Aku dan Marthen masih bersahabat. Hidup tidak sempurna, tapi cukup.
Dan aku percaya sekarang, cinta yang abadi bukan tentang tidak pernah pergi. Tapi tentang selalu memilih untuk kembali.
Dengan harapan dan cinta, kami melangkah ke depan, menciptakan kisah baru penuh kebahagiaan. *)