Cinta Abadi - Sebuah Cerpen oleh Ayla Rohani
Ilustrasi Cinta Abadi by AI. |
Kini berganti sudah semuanya
Mawar berganti flamboyan
Melati kini penggantinya
Tapi kau tak ku lupakan...........
JAKARTA - EDUKATOLIK: Nada lagu itu mengalun lembut. Membangkitkan kenangan yang terpendam.
Rian - demikian orang biasa memanggil namaku. Aku terjebak dalam kenangan yang tak pernah pudar.
Lagu "Cinta Abadi" selalu mengalun di benakku, seakan menghidupkan kembali saat-saat indah bersama Lia dan Marthen. Setiap nada menggugah rasa rindu yang mendalam, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti.
Lia adalah cahaya dalam hidupku. Senyumnya mampu mencairkan segala kesedihan. “Aku pergi untuk kembali,” katanya dengan tatapan penuh harapan, seolah meyakinkanku bahwa cinta kami takkan pernah pudar.
Namun, saat dia pergi untuk merawat diri, dunia kami terasa hampa. Setiap sudut kota ini dipenuhi kenangan, dan setiap langkahku terasa berat.
“Rian, kamu baik-baik saja?” tanya Marthen, sahabatku yang selalu peduli. Wajahnya tampak khawatir, seolah merasakan duka yang menggerogoti hatiku.
“Aku hanya merindukannya,” jawabku pelan, suara teredam oleh kesedihan. Rasa sakit ini terus menggerogoti, tak kunjung sirna. Setiap hari, aku berusaha bangkit, tetapi bayangan Lia selalu menghantui.
Dua tahun berlalu tanpa kabar. Kesedihan itu mengakar dalam. Hari-hariku dilalui dalam kesunyian yang mencekam. Saat mendengar lagu itu, waktu seakan berhenti. Kenangan indah berputar kembali, mengiris hatiku yang sudah penuh luka.
“Bagaimana bisa kita melupakan semua ini?” tanyaku kepada Marthen. Dia hanya menggeleng, wajahnya penuh ketidakberdayaan.
Suatu malam, pesan tak terduga muncul. “Aku kembali,” tulis Lia. Hatiku bergetar. Harapan dan rasa takut bercampur aduk. Apakah cinta abadi itu nyata?
Pertemuan ini seolah takdir. Tapi aku merasakan ketegangan yang menyelimuti hati. “Aku harus menyiapkan segalanya,” bisikku pada diri sendiri.
Hari yang dinanti tiba. Di taman tempat kami biasa bercanda, aku menunggu dengan berdebar. Saat sosoknya muncul, jantungku bergetar, menanti sebuah keajaiban.
“Maafkan aku,” ujarnya, suaranya lembut namun penuh kesedihan. “Aku tidak ingin kalian melihatku seperti ini.”
Marthen berdiri di sampingku, tampak bingung. “Kami mengkhawatirkanmu,” katanya. “Kenapa kamu tidak memberi tahu kami?”
“Aku merasa sendirian,” jawab Lia, menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. “Kondisiku semakin buruk. Aku tidak ingin kalian merasa terbebani.”
Hatiku bergetar, dikhianati oleh emosi. Lia menceritakan perjuangannya melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. “Aku berusaha untuk kuat, tetapi ini sangat sulit,” tambahnya, suaranya bergetar.
“Lia, seharusnya kamu memberi tahu kami,” ujarku, menahan air mata. “Kami selalu ada untukmu.”
Dia hanya mengangguk, tetapi tatapannya menunjukkan beban yang semakin berat. Waktu berlalu. Meski Lia berusaha pulih, penyakitnya terus menggerogoti.
Malam itu, suasana terasa canggung. Di tengah tawa, Lia tiba-tiba terlihat lemah.
“Aku merasa tidak enak,” katanya tiba-tiba. “Mungkin aku butuh istirahat.” Kekhawatiran menghantui kami. Marthen mencoba menghiburnya, tetapi aku merasakan sesuatu yang lebih dalam.
Ketika Lia terjatuh, rasa takut itu menjadi kenyataan. “Lia!” teriakku panik. Marthen dan aku segera membawanya ke rumah sakit. Jantungku berdebar, ketakutan menyelimuti setiap pikiran. Sesampainya di sana, dokter segera menangani Lia. Waktu seakan berhenti, menunggu kepastian yang sangat diinginkan.
Di ruang tunggu, Marthen gelisah. “Dia akan baik-baik saja, kan?” tanyanya, suaranya bergetar. “Kita sudah berjuang bersamanya.”
“Aku tidak tahu,” jawabku, berusaha menenangkan diri sendiri. “Dia terlalu kuat untuk menyerah.” Namun, hatiku berteriak sebaliknya, merasa bahwa kami sedang menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar.
Akhirnya, dokter keluar dengan ekspresi serius. “Kami sudah berusaha, tetapi kondisinya sangat kritis.” Setiap kata dokter itu seperti pisau yang mengiris hatiku. “Kami perlu melakukan prosedur darurat sekarang juga.”
Marthen dan aku saling menatap, mata kami penuh kecemasan. “Apa yang bisa kami lakukan?” tanyaku, suara bergetar. “Doakan dia,” kata dokter sebelum masuk kembali ke ruang operasi.
Di luar, bintang-bintang bersinar cerah. Tetapi malam itu terasa hampa. Kami berdoa dengan harapan, berharap keajaiban terjadi. Waktu berlalu dengan lambat, hingga akhirnya dokter kembali. “Dia stabil, tetapi…” kata dokter, dan semua harapan seakan runtuh. “Kami tidak bisa menjamin berapa lama dia bisa bertahan.”
Dengan berat hati, aku memasuki ruang rawat. Lia terbaring, wajahnya pucat. “Kau akan baik-baik saja, kan?” tanyaku, berusaha menahan tangis. Dia membuka matanya, menatapku dengan penuh rasa sayang. “Maafkan aku,” bisiknya. “Cinta abadi ini terlalu berat untukku.”
“Aku tidak ingin kehilanganmu,” ujarku putus asa. “Jangan pergi!” Dia tersenyum lemah, tetapi senyumnya semakin pudar. “Waktuku semakin sedikit,” katanya pelan.
Kesedihan mengalir dalam diriku. “Kita masih bisa berjuang,” aku bersikeras. “Kita bisa melakukannya!” Namun, seiring berjalannya waktu, ada kabar baik yang tak terduga. Dokter menemukan perawatan baru yang bisa membantu Lia. “Kami akan melakukan yang terbaik,” kata dokter dengan optimis. “Tapi kita perlu dukungan dari kalian.”
Kami berdua, Marthen dan aku, saling memandang dengan harapan baru. “Kami akan ada di sini untukmu, Lia,” kataku dengan tegas. “Kami tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian.”
Sejak saat itu, Lia menjalani perawatan dengan semangat baru. Setiap kali kami mengunjunginya, dia terlihat lebih cerah. “Aku merasa lebih baik hari ini,” ujarnya, tersenyum lebar. “Kalian memberiku kekuatan.”
Hari-hari berlalu, dan seiring dengan perawatan yang berhasil, kondisi Lia semakin membaik. “Aku tidak bisa percaya ini semua,” katanya suatu sore, saat kami berjalan di taman. “Aku merasa seperti aku kembali hidup.”
Di hari yang cerah, saat kami duduk di bawah pohon flamboyan, Lia berbisik, “Aku tidak akan melupakan apa yang kalian lakukan untukku. Cinta abadi ini jauh lebih kuat dari yang aku bayangkan.”
Ketika dia memegang tanganku dan Marthen di sisi lain, aku merasakan kebahagiaan yang mendalam. “Kita akan selalu bersama,” ujarku, menatap keduanya. “Tidak peduli apa yang terjadi.”
Akhirnya, setelah melewati semua cobaan, Lia resmi dinyatakan sembuh. Di hari kelulusan kami, aku memberikan sebuah surat kecil yang kutulis untuknya. “Ini untukmu, sebagai pengingat bahwa kita selalu bersama.”
Lia membacanya dan tersenyum. “Aku berjanji, kita akan menciptakan kenangan baru yang lebih indah.”
Saat kami berdiri di antara teman-teman, mendengarkan lagu "Cinta Abadi" lagi, rasanya seperti merayakan kehidupan baru. Lia, Marthen, dan aku, bertiga bersama, siap menghadapi masa depan. Mawar mungkin berganti flamboyan, tetapi cinta abadi ini akan selalu ada dalam hati kami, mengikat kami dengan cara yang tak terpisahkan.
Dengan harapan dan cinta, kami melangkah ke depan, menciptakan kisah baru penuh kebahagiaan. *)