Pelukan Hangat Bunda Maria
"Bagaimana jika hidup hanya tentang sebuah ujian saja?" ucap lirih seorang gadis kecil yang beberapa kali mangusap air matanya dengan baju seragam abu-abu yang baru saja ia lepas dari genggamannya. Raut wajahnya tampak lesu, tatapannya sayu dan bibirnya terlihat kering dan layu. Isak tangisnya sesekali terdengar, namun ia tampak menahan diri agar tidak diketahui keluarganya.
Ignatia, atau akrab disapa Igna, adalah seorang perempuan yang memiliki jiwa lembut. Ia tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, dikelilingi oleh cinta dari orang tuanya dan kenangan indah bersama neneknya, sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Neneknya bukan hanya sekadar penjaga, melainkan sahabat sejati yang selalu ada dalam setiap langkahnya.
Namun, segalanya berubah saat neneknya berpulang. Kehilangan itu melanda Igna seperti badai yang tak terduga, membuatnya terombang-ambing dalam kesedihan yang dalam. Ia merasa terasing, seakan dunia ini kehilangan warnanya. “Mengapa, Tuhan? Apakah ada kehidupan setelah mati?” tanya Igna dalam hatinya, meragukan keberadaan surga dan neraka.
Hari-hari berlalu, dan meskipun orang tuanya sangat menyayangi Igna, mereka tak bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan neneknya. Setiap malam, Igna terbangun dengan air mata, mengenang pelukan hangat nenek yang selalu menenangkan. “Nek, di mana kau sekarang?” bisiknya pada malam yang sepi, berharap neneknya mendengar.
Suatu malam, semilir angin masuk melalui celah jendela kamarnya. Mata indahnya tampak memandang kearah meja belajarnya. Beberapa kali ia mengedipkan mata, memiliki keinginan untuk meraih buku usang itu namun badannya masih meringkuh pilu memeluk erat foto nenek kesayangannya. Entah niat dari mana yang tiba-tiba datang menjamu hatinya, mendesak badan mungilnya untuh melangkah kearah buku itu. Ia berdiri secara pelan, kakinya menapak perlahan dengan badan tampak tak seimbang. Tangannya mulai meraih buku itu, dan ia duduk perlahan pada kursinya yang tak jauh dari tempat tidurnya. Membuka perlahan buku itu kembali mengingatkan dirinya pada sang nenek. Ia mengingat semua kalimat yang sering dibacakan neneknya, terutama novena tiga Salam Maria. Dengan ragu, ia membuka halaman demi halaman buku tersebut dan mulai membacanya.
“Salam Maria, penuh rahmat...,” katanya pelan, mengulang setiap kata dengan harapan.
Setiap kali ia mengucapkan doa, sebuah kehangatan mulai menyelimuti hatinya. Perasaan damai yang belum pernah ia rasakan menghampirinya. Seolah-olah, Bunda Maria, yang selama ini ia baca namanya, mendekapnya dalam pelukan kasih sayang yang tak terbatas.
Suatu pagi, saat sarapan, Igna berbicara dengan orang tuanya.
“Ibu, Ayah, apakah nenek benar-benar pergi? Apakah dia bisa melihatku dari sana?” tanyanya, suara penuh kerinduan.
Ibu Igna menatapnya lembut. “Sayang, nenek selalu bersamamu, di setiap langkah dan doamu. Cintanya takkan pernah pudar.”
Ayah Igna menambahkan, “Setiap kali kita berdoa, kita menghubungkan hati kita dengan yang kita cintai, bahkan jika mereka sudah pergi.”
Kata-kata itu meresap dalam jiwa Igna. Ia mulai memahami bahwa cinta yang tulus tak akan pernah hilang, dan dengan setiap doa yang ia panjatkan, ia semakin mendekatkan diri pada neneknya.
Malam itu, saat berdoa, Igna merasakan kehadiran neneknya dengan sangat nyata. “Nek, aku merindukanmu. Aku berdoa untukmu,” katanya, menahan air mata.
Dari kejauhan, seolah terdengar suara lembut neneknya, “Anakku, aku selalu bersamamu. Jangan ragu, surga itu nyata, dan aku menunggumu di sana.”
Sejak saat itu, Igna bertekad untuk menjalani hidupnya dengan penuh arti. Ia menyadari bahwa meskipun kehilangan itu menyakitkan, ia memiliki cinta yang tak terhingga dari keluarganya dan pelukan Bunda Maria dalam setiap doanya.
Seiring berjalannya waktu, Igna tumbuh menjadi wanita dewasa yang bijaksana. Dengan penuh semangat, ia mengajarkan orang lain tentang kekuatan doa dan cinta yang abadi.
“Dalam setiap detak jantungku, ada cinta yang takkan pernah padam,” ucap Igna pada sekelompok anak-anak di gereja, ketika ia menceritakan kisah neneknya.
“Doa adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan surga,” lanjutnya, matanya berbinar penuh harapan.
Malam itu, saat menatap bintang-bintang, Igna merasa tenang. “Bunda Maria, terima kasih telah menuntunku,” ucapnya, mengulurkan tangan seolah meraih langit.
Dengan senyum di bibirnya dan damai di hatinya, Igna tahu bahwa meski perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kehilangan, ia telah menemukan kekuatan dalam cinta, dan cinta itu akan selalu hidup dalam setiap doa yang ia panjatkan.
“Cinta tak mengenal batas, dan dengan doa, kita akan selalu bersama,” bisiknya, mengingat sosok nenek yang selalu ada di hatinya, seolah mendengarnya dari jauh.
Dan di bawah cahaya bulan yang lembut, Igna melangkah maju, siap menyambut setiap hari baru dengan keyakinan dan cinta yang tak tergoyahkan.
-Selvitri Asmita Sari ʚଓ-
Bagus sekali ceritanya Bu😇
Terima kasih bu.