Sesilia, Musik yang Mengalun dari Sunyi Roma
Santa Sesilia: pelindung koor dan penyanyi. Sumber: New Picture Book of Saints, halaman 105.
Oleh Br. Cosmas Damianus Baptista
Roma, awal abad Masehi. Jalan-jalan batu yang berliku masih
dipenuhi suara para senator, pedagang, dan prajurit yang kembali dari
perbatasan. Kekaisaran tengah berdiri di puncak kejayaan. Namun di balik
kemegahan forum dan kuil-kuil, ada bisikan kecil yang terus tumbuh: bisikan
iman baru, iman kepada Kristus yang disalibkan.
Di antara mereka yang mendengar bisikan itu, ada seorang
perempuan muda bernama Sesilia. Ia lahir dari keluarga bangsawan.
Keturunannya terhormat, rumahnya megah, dan masa depannya seakan sudah
digariskan. Namun dalam dirinya, Sesilia menyimpan api yang berbeda: api cinta
kepada Tuhan yang ia kenal lewat Injil. Ia memilih jalan yang tidak sejalan
dengan arus keluarganya, jalan yang penuh risiko pada masa itu.
Sejak usia belia, ia mengucapkan kaul keperawanan,
menyerahkan dirinya hanya untuk Kristus. Bagi dunia Romawi, itu keputusan aneh.
Perempuan bangsawan seharusnya menikah, memperluas pengaruh keluarga, dan
menjaga kehormatan garis keturunan. Namun Sesilia justru memilih diam-diam
menolak jalan itu.
Perkawinan yang tak Selesai
Tradisi keluarga tak bisa dibendung. Orangtuanya menjodohkan
dia dengan seorang bangsawan muda bernama Valerian. Pernikahan diatur
megah, dengan musik dan jamuan. Namun di tengah pesta itu, Sesilia mendengar
musik lain, lebih dalam dari sekadar harpa atau seruling. Itu adalah musik doa.
Dalam hati, ia mengulang janji sucinya: “Hatiku dan
tubuhku hendaklah tetap murni. Aku sudah memiliki mempelai yang tak dikenal
dunia, seorang malaikat Tuhan.”
Valerian tentu tak mengerti. Bagaimana mungkin seorang
pengantin baru berbicara tentang suami rohani yang tak kasatmata? Namun cinta
yang murni seringkali lebih kuat daripada penjelasan rasional. Perlahan, lewat
kesetiaan Sesilia, Valerian pun tersentuh. Ia akhirnya menerima baptisan, dan
tidak lama kemudian, kakaknya, Tiburtius, ikut pula.
Dari Rumah Bangsawan ke Jalan Kematian
Iman yang mereka peluk tidak berhenti sebagai ide. Bersama
Sesilia, mereka mulai merawat orang miskin, menguburkan jenazah orang Kristen
yang dieksekusi, dan memberi pertolongan kepada mereka yang dikejar penguasa.
Namun Roma kala itu masih keras kepada pengikut Kristus.
Prefek kota, Almachius, menuntut mereka menyembah dewa-dewa. Valerian dan
Tiburtius menolak. Hukuman mati dijatuhkan, dan mereka dieksekusi. Sesilia
kehilangan suami dan iparnya, tetapi semangatnya tidak padam. Ia tahu waktunya
sendiri akan tiba.
Pemandian Uap yang tak Mampu Membunuh
Ketika giliran Sesilia tiba, Almachius memilih hukuman yang
aneh: ia dimasukkan ke dalam sebuah pemandian uap panas, sejenis kamar mandi
umum yang dijadikan alat penyiksaan. Uap panas dibiarkan memenuhi ruangan.
Sesilia diharapkan mati perlahan karena kehabisan napas.
Namun, kisah yang diwariskan menyebutkan bahwa ia tetap
bertahan hidup. Tiga kali lebih lama dari yang diperkirakan. Tubuhnya lemah,
tetapi tidak menyerah. Para algojo kebingungan. Maka, perintah baru keluar:
penggal kepalanya.
Seorang prajurit mengayunkan pedang. Satu kali, dua kali,
tiga kali. Anehnya, kepala Sesilia tidak terlepas. Tubuhnya penuh luka, darah
mengalir, namun ia masih bernapas. Tiga hari lamanya ia terbaring, di antara
hidup dan mati. Dalam rentang itu, ia masih sempat membagikan hartanya kepada
Gereja, kepada kaum miskin, dan menerima komuni terakhir dari Uskup Urban. Baru
setelah itu ia berpulang.
Katakombe dan Tubuh yang tak Membusuk
Jenazah Sesilia dimakamkan di katakombe, kuburan bawah tanah
yang menjadi tempat peristirahatan banyak martir Kristen. Waktu bergulir
berabad-abad. Pada tahun 817, makamnya ditemukan kembali. Tubuhnya dipindahkan
ke Gereja Santa Cecilia di Trastevere, Roma.
Ketika makamnya dibuka kembali pada 1599, sebuah pemandangan
mengejutkan dicatat: jasadnya masih utuh. Seorang pematung Italia, Stefano
Maderno, diminta membuat patung marmer sesuai posisi tubuhnya yang ditemukan.
Patung itu hingga kini masih bisa dilihat di gereja Trastevere, menggambarkan
seorang perempuan yang terbaring miring, wajahnya tenang, tangan kirinya
menyembunyikan tiga jari (simbol Tritunggal), tangan kanannya satu jari (simbol
keesaan Allah).
Musik yang nadanya abadi
Mengapa Sesilia dihormati sebagai pelindung musisi? Legenda
menyebutkan, pada hari pernikahannya, ketika musik pesta bergema, ia justru
“bernyanyi dalam hatinya kepada Tuhan.” Sejak itu, gambaran Sesilia selalu
terkait dengan musik.
Dalam seni Eropa abad pertengahan hingga renaisans, ia kerap
digambarkan dengan organ, harpa, atau alat musik lainnya. Para komponis menulis
karya-karya untuk mengenang dirinya. Henry Purcell, komposer Inggris, menulis
ode “Hail! Bright Cecilia” pada abad ke-17. George Frideric Handel juga menulis
“Ode for St. Cecilia’s Day.” Musik menjadi jembatan antara iman dan seni, dan
Sesilia menjadi ikon yang mengikat keduanya.
Bernyanyi dalam Luka
Kisah Sesilia, bila dibaca dengan kacamata modern, mungkin
terasa berlapis antara fakta sejarah dan legenda hagiografi. Para sejarawan
mencatat tidak semua detail bisa diverifikasi. Namun, dalam tradisi iman, kisah
ini lebih dari sekadar catatan kronologis. Ia adalah simbol tentang bagaimana
manusia bisa menemukan musik bahkan dalam penderitaan.
Bayangkan seorang perempuan muda, tubuhnya penuh luka, hidup
dalam sisa tiga hari terakhir. Apa yang dilakukan? Ia bukan hanya merintih,
melainkan masih memberi, masih melayani, masih berdoa. Di situlah letak musik
sejati: bukan nada yang dimainkan dengan alat, melainkan harmoni batin yang
teguh meski dilanda derita.
Sesilia mengajarkan bahwa kesetiaan tidak selalu ditandai
dengan kemenangan. Kadang kesetiaan justru diuji ketika semua jalan buntu,
ketika tidak ada harapan duniawi yang tersisa. Namun di sana, dalam sepi dan
sakit, seseorang tetap bisa bernyanyi kepada Tuhan.
Dari Roma ke Dunia
Hari peringatannya jatuh pada 22 November. Kini, setiap
tahun, gereja-gereja di berbagai belahan dunia mengenangnya. Para musisi,
paduan suara, dan komponis merayakannya dengan konser, misa, atau karya seni.
Gereja Santa Cecilia di Trastevere menjadi salah satu tempat
ziarah paling ramai di Roma. Di sana, orang-orang datang bukan hanya untuk
berdoa, tetapi juga untuk merasakan keheningan yang dipenuhi nada, seolah
dinding-dinding kuno masih menyimpan gema suara hati seorang martir muda.
Pesan Abadi
Dalam dunia yang hiruk pikuk, di mana suara musik seringkali
hanya menjadi latar pesta atau hiburan, kisah Sesilia mengingatkan bahwa musik
sejati adalah doa. Ia lahir dari hati yang tulus, dari keberanian untuk tetap
setia pada kebenaran meski dibayar dengan nyawa.
Sesilia, seorang bangsawan muda Roma, tidak menulis teori
musik, tidak menciptakan instrumen baru, tidak mendirikan sekolah seni. Namun, ia meninggalkan sesuatu yang jauh lebih besar: inspirasi bahwa manusia bisa
menjadikan hidupnya sendiri sebuah lagu.
Dan lagu itu, hingga kini, masih terdengar.
Daftar Pustaka
- Lawrence
G. Lovasik, SVD. New Picture Book of Saints, halaman 105.
- Britannica.
(2023). Saint Cecilia. Diakses dari https://www.britannica.com/biography/Saint-Cecilia
- OCA.
(2024). Virgin-Martyr Cecilia and the Holy Martyrs Valerian, Tiburtius
and Maximus. Diakses dari https://www.oca.org/saints/lives/2024/11/22/103365-virgin-martyr-cecilia-and-the-holy-martyrs-valerian-tiburtius-an
- Wikipedia.
(2024). Saint Cecilia. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Saint_Cecilia
- Saint
Cecilia’s Parish. (2023). The Story of St. Cecilia. Diakses dari https://saintcecilias.org/the-story-of-st-cecilia
- Chaucer,
Harvard University. (2023). The Life of Saint Cecilia. Diakses dari
https://chaucer.fas.harvard.edu/pages/life-saint-cecilia
- Faith ND. (2023). St. Cecilia. University of Notre Dame. Diakses dari https://faith.nd.edu/saint/st-cecilia