Roma Locuta, Causa Finita Est
Roma berkata, selesai perkara, menggambarkan ketaatan dan otoritas Paus, uskup Roma sebagai pemutus segala perkara Gereja Katolik dalam hal iman dan moral. Ist. |
Oleh Masri Sareb Putra
Ada sebuah ungkapan kuno dalam tradisi Katolik yang tetap hidup hingga kini: Roma locuta, causa finita est. Jika diterjemahkan bebas, artinya: “Roma sudah berkata, selesai perkara.”
Frasa itu lahir dari keyakinan mendasar bahwa Gereja Katolik memiliki pusat otoritas yang jelas, yakni Paus sebagai Uskup Roma. Paus bukan sekadar simbol pemersatu, melainkan pemegang kunci yang menjaga kemurnian ajaran dan arah moral umat.
Paus juga uskup Roma
Hukum Kanonik Gereja Katolik (Codex Iuris Canonici, 1983) mencatat hal yang demikian ini mengapa "Roma" menjadi simbol takhta dan otoritas Gereja Katolik.
Kanon 331:Uskup Gereja Roma, di dalamnya berlangsung tugas yang diberikan Tuhan sendiri secara istimewa kepada Petrus, yang pertama dari para Rasul, dan yang harus diteruskan kepada para penggantinya, adalah kepala kolegium para Uskup, wakil Kristus dan gembala seluruh Gereja di dunia; oleh karena itu, berdasarkan jabatannya sendiri, ia mempunyai kuasa penuh, tertinggi, langsung, dan universal dalam Gereja, yang selalu dapat dijalankannya dengan bebas.
Kanon 332 §1: Paus memperoleh kekuasaan tertinggi, penuh, dan universal dalam Gereja dengan penerimaan jabatan sebagai Uskup Roma...
Seseorang baru sungguh-sungguh menjadi Paus ketika ia menerima jabatan Uskup Roma.
Katekismus Gereja Katolik (KGK 882) juga menegaskan: Paus, Uskup Roma, dan penerus Santo Petrus, adalah sumber dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para Uskup dan seluruh jemaat beriman.
Roma dengan demikian simbol kuasa-Gereja. Di tengah silang pendapat, beda tafsir, bahkan perdebatan panjang di antara para teolog, kehadiran suara Roma menjadi penutup sekaligus penuntun.
Mengapa demikian? Hal itu karena dalam tradisi Katolik, otoritas bukan semata-mata soal kekuasaan, melainkan juga tentang pelayanan iman.
Paus dalam Gereja Katolik adalah penerus Rasul Petrus yang disebut Yesus sendiri sebagai “batu karang” tempat Gereja dibangun. Maka, ketika Roma bersuara, bukan hanya suara seorang tokoh yang terdengar, melainkan gema sejarah panjang yang berakar dari zaman para rasul.
Sejarah mencatat banyak contoh. Pada abad-abad awal, ketika perdebatan sengit tentang siapa Kristus manusia sepenuhnya, Allah sepenuhnya, atau keduanya muncul di berbagai konsili, suara Roma sering menjadi penentu.
Demikian pula dalam isu-isu moral yang lebih kontemporer: dari ajaran tentang martabat hidup manusia, keluarga, sampai relasi antaragama, suara Paus memberi arah yang tegas, meski kadang kontroversial di mata sebagian orang.
Ungkapan “Roma berkata, selesai perkara” bukan berarti menutup pintu diskusi. Justru sebaliknya, diskusi dalam Gereja Katolik berkembang luas, kaya argumen, penuh nuansa. Namun pada akhirnya, ketika jalan harus dipilih dan kepastian dibutuhkan, umat Katolik menemukan sandaran pada kepemimpinan Roma.
Di dunia yang kian terpecah, ketika opini berkelebatan cepat di media sosial dan batas antara fakta serta tafsir makin kabur, kehadiran otoritas moral yang tegas menjadi kebutuhan. Roma, dengan segala keterbatasan manusiawi para pausnya, tetap menghadirkan kepastian itu.
Maka ungkapan kuno itu seakan relevan lagi hari ini. Roma locuta, causa finita est. Roma sudah berkata. Dan bagi umat Katolik, perkara pun selesai; bukan untuk membungkam, melainkan untuk meneguhkan iman dalam kebersamaan.
Dari Afrika ke Roma
Kita kembali ke awal abad kelima.
Afrika Utara kala itu bukan sekadar pinggiran. Ia adalah tanah subur bagi
pemikiran Kristen. Dari situlah lahir Agustinus dari Hippo, seorang uskup
sekaligus filsuf yang kata-katanya hingga kini masih menggema.
Pada masa itu, muncul ajaran yang disebut Pelagianisme. Sang
penggagas, Pelagius, menekankan kebebasan kehendak manusia. Ia percaya manusia
mampu memilih kebaikan tanpa rahmat ilahi yang khusus. Bagi sebagian orang, ini
memberi harapan tentang martabat manusia. Bagi Agustinus, itu justru bahaya
besar. Tanpa rahmat, manusia tidak bisa selamat.
Konsili-konsili lokal di Karthago dan Milevi mengecam
Pelagianisme. Keputusan mereka tegas: ajaran ini sesat. Tetapi suara konsili
lokal belum cukup. Mereka mengirim keputusan itu ke Roma, meminta peneguhan
dari Tahta Apostolik.
Tahun 417, Paus Inosensius I menyetujui putusan konsili
Afrika. Ia menolak Pelagianisme. Dari sinilah muncul kalimat Agustinus dalam
salah satu khotbahnya:
“Dua konsili telah dikirim ke Roma. Dari sana sudah datang
balasan. Perkara selesai.”
Kalimat itu, causa finita est, menjadi dasar pepatah
yang kelak populer: Roma locuta, causa finita. Roma sudah bicara, maka
perdebatan pun usai.
Ironisnya, Agustinus sendiri tidak menulis kata-kata persis
itu. Frasa yang kita kenal adalah ringkasan dari semangat ucapannya. Tetapi
dunia sering kali lebih ingat pepatah daripada teks asli.
Sejak itulah, frase itu bergaung, dipakai dalam perdebatan
teologis, dan perlahan berubah menjadi mantra tentang supremasi Roma.
Dari Pepatah Menjadi Prinsip
Waktu berjalan. Gereja berkembang. Kontroversi demi
kontroversi muncul. Dari Trinitas hingga Kristologi, dari bidat Nestorius
hingga pertikaian tentang ikon.
Setiap kali ada perdebatan besar, suara Roma ditunggu.
Apakah Paus akan mengutuk?
Apakah Roma akan menyetujui?
Apakah sebuah ajaran akan dibiarkan berkembang?
Dalam atmosfer itu, Roma locuta, causa finita semakin
kuat gaungnya. Ia menjadi lebih dari sekadar kata-kata Agustinus. Ia berubah
menjadi prinsip tak tertulis: otoritas final ada di Roma.
Seiring waktu, terutama di Abad Pertengahan, keyakinan itu
diperkuat. Paus dianggap sebagai penerus Petrus, batu karang tempat Gereja
berdiri. Maka apa pun yang keluar dari mulut Roma punya bobot mutlak.
Puncaknya, pada abad ke-19, Konsili Vatikan I (1870)
merumuskan dogma infalibilitas paus. Dalam perkara iman dan moral, bila Paus
berbicara ex cathedra, ia dijaga dari kesalahan. Dogma ini seakan
mengafirmasi pepatah kuno itu. Roma bicara. Selesai.
Tetapi, sejarah tidak pernah sesederhana garis lurus. Di
balik keagungan kalimat itu, ada juga kontroversi. Ada yang merasa Roma kadang
terlalu cepat menutup diskusi. Ada pula yang bertanya: bukankah Roh Kudus juga
bekerja dalam umat, bukan hanya dalam kursi Paus?
Meski demikian, pepatah itu tetap hidup. Dari abad ke abad,
ia dikutip, diperdebatkan, dan dijadikan landasan argumen. Baik untuk membela
otoritas, maupun untuk mengkritiknya.
Roma di era milenia
Zaman berubah. Gereja juga berubah. Dunia yang dulu
sederhana, kini menghadapi kerumitan baru: sains, demokrasi, pluralitas budaya,
hak asasi manusia.
Dalam konteks inilah pepatah kuno itu kembali dipertanyakan.
Apakah benar jika Roma bicara, perkara selesai? Ataukah itu hanya berlaku di
masa lalu, ketika komunikasi lambat dan Roma menjadi satu-satunya pusat
rujukan?
Di abad ke-21, suara Roma memang tetap didengar. Tetapi
dunia umat Katolik kini juga terbiasa berdialog, bertanya, bahkan berbeda
pendapat. Lihatlah kontroversi mutakhir: berkat untuk pasangan sesama jenis,
peran perempuan dalam Gereja, isu-isu moral yang pelik. Roma bicara, tetapi
diskusi di akar rumput tidak serta-merta berhenti.
Bahkan Herman Van Rompuy, politikus Eropa, pernah berkata:
“Zaman Roma locuta, causa finita sudah lama lewat.” Ucapannya provokatif,
tetapi menunjukkan satu hal: otoritas kini tidak lagi dipahami semata sebagai
perintah, melainkan sebagai ajakan untuk berdialog.
Namun, bukan berarti pepatah itu mati. Ia tetap menjadi
pengingat bahwa ada titik akhir. Bahwa di tengah perdebatan panjang, ada suara
yang harus dihormati sebagai penentu. Meski kini, suara itu lebih sering
dipahami sebagai panggilan kesatuan, bukan sekadar palu hakim.
Mungkin, di sinilah keindahan kalimat Latin itu. Ia hidup
dalam sejarah, tetapi juga diuji oleh zaman. Ia lahir dari perdebatan keras di
Afrika Utara, tumbuh menjadi prinsip universal Gereja, lalu kini berhadapan
dengan dunia yang serba terbuka.
Roma bicara. Beres perkara!