Ketika Agama Asli Dayak menjadi Katolik dan Kaharingan
Agama Asli Suku Dayak dalam catatan dua penulis Dayak. Ist. |
Judul: Agama Asli Suku Dayak
Penulis: Tiwi Etika & Masri Sareb Putra
ISBN: 978-602-6381-58-3
Tebal: 220 halaman
Ukuran: 14 x 21 cm
Format: Soft Cover
Penerbit: Lembaga Literasi Dayak
Terbit: Januari 2025
Harga: Rp120.000,-
Membuka Terra Incognita Identitas Dayak
Sejarah dan budaya Dayak sering kali hanya dipandang dari
permukaan: dari sisi folklor, ritual eksotis, atau simbol-simbol lahiriah yang
tampak di luar. Namun, buku ini mengajak pembaca masuk lebih dalam, menuju
wilayah yang jarang terjamah: identitas asli Dayak yang sesungguhnya.
Penulis menyoroti perdebatan seputar makna “asli” dan
“asal”, yang ternyata bukan sekadar masalah istilah, tetapi menyentuh jantung
keberadaan orang Dayak sendiri.
Tiwi Etika dan Masri Sareb Putra menghadirkan pendekatan
teoritis tentang identitas etnik dan agama untuk menjelaskan bahwa keaslian
suatu kelompok budaya tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai dan kosmologi
yang diwariskan lintas generasi. Dalam hal ini, Dayak memiliki Agama Asli Suku
Dayak: agama asli yang lahir dari bumi sendiri, yang sejak lama menjiwai
seluruh aspek kehidupan mereka.
Agama Asli Suku Dayak bukan sekadar kepercayaan spiritual. Ia hadir dalam tatanan sosial, hukum adat, pola bercocok tanam di ladang, hingga ritual-ritual besar seperti Tiwah. Bahkan dalam praktik pengobatan tradisional, napas Agama Asli Suku Dayak tetap mengalir sebagai panduan hidup. Inilah yang membuat buku ini menarik, karena berhasil menampilkan Agama Asli Suku Dayak bukan sebagai peninggalan kuno yang sudah usang, melainkan sebagai “denyut kehidupan” Dayak yang terus beradaptasi melintasi zaman.
Antara Sejarah, Antropologi, dan Spiritualitas
Kekuatan utama buku ini adalah keberaniannya memadukan
pendekatan historis dan antropologis dengan nuansa spiritual yang hidup.
Penulis mengajak kita melihat bahwa perjalanan orang Dayak tidak pernah steril
dari pengaruh luar. Kolonialisme, misi agama besar, dan modernisasi membawa
gelombang konversi yang cukup besar. Namun demikian, nilai Agama Asli Suku
Dayak tetap bertahan dan berfungsi sebagai penanda identitas.
Salah satu isu penting yang diangkat adalah integrasi Agama
Asli Suku Dayak dengan Hindu dalam bentuk “Hindu Agama Asli Suku Dayak”. Proses
ini dijelaskan bukan sebagai perubahan ajaran leluhur, melainkan sebagai
langkah strategis demi pengakuan negara. Inti ajaran tetap bertahan:
keseimbangan, harmoni, penghormatan kepada leluhur, serta rasa takzim pada alam
semesta. Kitab Panaturan muncul sebagai penopang utama nilai-nilai itu,
menjembatani masa lalu dengan masa depan.
Buku ini juga menekankan relevansi Agama Asli Suku Dayak dalam konteks dunia modern. Ketika masyarakat global menghadapi krisis ekologi dan kehausan spiritual, kearifan lokal Dayak justru menawarkan jawaban: hidup selaras dengan alam, menjaga keseimbangan, serta menghormati yang sakral. Nilai-nilai itu bisa menjadi fondasi bagi peradaban yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Dari Agama Asli ke Katolik
Salah satu aspek yang membuat karya ini bernuansa khas adalah keterkaitan antara Agama Asli Suku Dayak dan Katolik.
Penulis
menjelaskan mengapa orang Dayak relatif mudah menerima iman Katolik. Kuncinya
terletak pada semina verbi. Yakni “benih sabda” yang sudah tertanam dalam
tradisi Agama Asli Suku Dayak.
Nilai seperti penghormatan kepada leluhur, kesadaran akan
sakralnya kehidupan, serta relasi harmonis dengan alam adalah nilai yang tidak
asing bagi pewartaan Injil. Dengan demikian, Katolik hadir bukan sebagai
sesuatu yang benar-benar asing, melainkan menemukan resonansi alami dalam
kosmologi Dayak. Inilah jembatan yang menjelaskan mengapa perjumpaan antara
Dayak dan Katolik berlangsung lebih cair dibandingkan dengan kelompok lain.
Di Kalimantan Barat, mayoritas penganut agama asli Dayak
menjadi Katolik. Mereka menerima Injil dengan mudah. Terjadi adaptasi dan adopsi, sedemikian rupa menjadi inkulturasi.
Sebagian ke Kaharingan
Agama asli suku Dayak pada mulanya berakar pada praktik
kepercayaan lokal yang menghormati leluhur dan alam. Dalam perjalanan sejarah,
agama asli ini kemudian bermorfosis menjadi Kaharingan, terutama di Kalimantan
Tengah. Proses metamorfosis ini menunjukkan kemampuan orang Dayak untuk
mengadaptasi ajaran leluhur mereka ke dalam bentuk yang lebih sistematis dan
terstruktur, tanpa kehilangan roh dan nilai dasarnya.
Selain Katolik dan Kristen yang kini menjadi agama mayoritas
di sejumlah wilayah Dayak, penganut Kaharingan tetap hadir dalam jumlah yang
cukup berarti. Keberadaan mereka bukan hanya sekadar minoritas yang bertahan,
melainkan juga bagian dari wajah pluralitas religius di Borneo. Fakta ini
menunjukkan bahwa agama asli Dayak tidak pernah benar-benar hilang, melainkan
terus berkembang sesuai kebutuhan zaman.
Kaharingan sebagai agama asli sekaligus agama yang diakui negara memberi ruang bagi orang Dayak untuk menegaskan identitas mereka. Ia menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara leluhur dan generasi kini. Dengan demikian, Kaharingan tidak hanya berbicara tentang masa lalu, melainkan juga tentang masa depan masyarakat Dayak yang ingin tetap teguh pada akar budaya sekaligus mampu berdialog dengan dunia luas.
Buku ini pantas dibaca
Buku ini pantas dibaca oleh berbagai kalangan.
Bagi
akademisi, ia menghadirkan analisis yang kaya dengan data historis dan
antropologis. Bagi aktivis kebudayaan, ia memberi inspirasi untuk menjaga
warisan leluhur tanpa kehilangan relevansi dengan zaman. Bagi pembaca umum,
narasi yang disajikan cukup ringan untuk dinikmati, sekaligus menantang untuk
direnungkan.
Tiwi Etika dan Masri Sareb Putra berhasil menyingkap “terra
incognita” identitas Dayak yang selama ini masih samar. Kedua penulis menegaskan bahwa
Agama Asli Suku Dayak bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan fondasi yang
tetap kokoh dalam menghadapi masa depan. Lebih dari itu, buku ini membuka
dialog lintas iman, menunjukkan bagaimana agama asli Dayak dapat berdampingan
dengan agama-agama dunia, tanpa harus kehilangan akar budayanya.
Dengan harga Rp120.000,-, buku setebal 220 halaman ini tidak hanya menghadirkan pengetahuan, tetapi juga sebuah pengalaman membaca yang memperkaya.
Pustaka ini layak menjadi referensi utama bagi siapa saja yang ingin
memahami Dayak secara lebih mendalam: bukan hanya tentang siapa mereka, tetapi
juga tentang bagaimana mereka tetap setia pada denyut kehidupan yang diwariskan
leluhur.
Peresensi: Petrus Andi Siandika