Melodi Cinta Mengguncang Tradisi Belis
![]() |
Ilustrasi seorang wanita remaja yang sedang menunggu lamaran pria idamannya. |
Bagian 1: Tradisi Belis yang Berbisik
Di
tengah samudra biru yang tak berujung, Pulau Labire berdiri megah, tersembunyi
dalam keindahan alam yang memukau. Labire adalah tempat di mana waktu seolah
berhenti, di mana setiap jejak kehidupan diwarnai oleh adat dan tradisi yang
mengakar dalam. Salah satu tradisi yang dijunjung tinggi oleh penduduk pulau
ini adalah "belis," sebuah ritual mahar yang menjadi simbol cinta,
komitmen, dan kehormatan bagi pasangan yang akan menikah.
Sore
itu, ketika langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan, dan angin laut
sepoi-sepoi menyapu lembut pasir putih di pantai, Arga dan Melati mempersiapkan
diri untuk hari besar mereka. Arga, seorang pemuda sederhana, berdiri di ambang
pintu rumahnya, memandang cakrawala dengan mata penuh harapan dan kegundahan.
Kehidupannya mungkin tak dihiasi harta berlimpah, namun jiwanya kaya akan
ketulusan dan kerja keras. Ia selalu percaya bahwa cinta tak seharusnya diukur
dari materi, tetapi adat belis menuntutnya untuk menunjukkan cintanya dengan
jumlah harta yang diserahkan kepada keluarga Melati.
Melati,
gadis yang telah mencuri hati Arga sejak lama, duduk di beranda rumah
keluarganya. Matanya menatap lautan luas, namun pikirannya berkelana. Dia tahu
keluarganya sangat menjunjung tinggi adat, terutama belis, sebagai lambang
kehormatan keluarga. Namun, dalam hatinya, Melati merasakan kegamangan. Dia
mencintai Arga dengan segenap jiwa, tetapi desas-desus yang beredar di antara penduduk
desa mulai menghantui pikirannya. Keluarganya, sebagai keluarga terhormat,
menuntut belis yang besar sebuah permintaan yang mustahil dipenuhi Arga.
“Apakah
cinta benar-benar harus diukur dengan harta?” pertanyaan itu terus berputar di
kepalanya, menambah berat hatinya.
Saat
malam menjelang, Arga duduk sendiri di tepi pantai, terbenam dalam pikiran yang
gelisah. Suara ombak yang berdebur menambah kesunyian hatinya. “Aku tidak bisa
membiarkan Melati menunggu lebih lama,” gumamnya. “Tapi apa yang bisa aku
berikan? Tanpa belis, apa artinya semua ini?”
Keesokan
harinya, di pasar, Arga mendengar bisikan dari beberapa tetangga. “Siapa dia,
Arga? Sepertinya tak layak untuk Melati. Belis yang diminta keluarganya bisa
membeli dua perahu!”
“Cinta
bukan tentang harta, tetapi tradisi mengharuskan kita untuk mematuhi!” jawab
yang lain, sambil menggelengkan kepala.
Kata-kata
itu menggelitik telinga Arga. Ia tahu bahwa masyarakat memperhatikan setiap
langkahnya. “Aku harus berjuang lebih keras,” tekadnya.
Waktu
terus berjalan, dan Arga berjuang siang malam untuk mengumpulkan belis. Setiap
langkahnya dipenuhi keraguan, dan setiap desakan masyarakat menambah tekanan
pada pundaknya. Bisikan-bisikan mulai terdengar, menyusup ke telinga Arga,
bahwa ia mungkin tidak akan pernah mampu memenuhi ekspektasi keluarga Melati.
Di satu sisi, ia merasa tertantang; di sisi lain, ia merasa terpojok.
Suatu
malam, di bawah cahaya bintang yang gemerlap, Arga dan Melati bertemu di tepi
pantai. Di sana, ombak yang lembut seakan menyuarakan kegelisahan mereka.
“Arga,”
kata Melati perlahan, suaranya hampir tenggelam oleh suara laut, “Apakah kita
harus menuruti tradisi ini? Tidakkah cinta kita cukup tanpa semua itu?”
“Melati,”
balas Arga, dengan tatapan tajam, “ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang
keluarga kita, tentang mereka yang sudah mendahului kita. Tradisi ini bukanlah
hal yang mudah diabaikan.”
“Jadi,
kita harus mengorbankan kebahagiaan kita demi tradisi yang kaku?” Melati mulai
terisak. “Aku tidak ingin berpisah denganmu hanya karena angka yang tertera di
atas kertas!”
“Aku
pun tidak!” teriak Arga, suaranya menggema di antara debur ombak. “Tapi aku
tidak bisa mengkhianati keluargaku. Mereka mengandalkanku! Jika aku tidak
memenuhi belis, mereka akan memandangku sebelah mata, Melati! Apa kau
mengerti?”
Mata
Melati berbinar penuh haru, “Aku mencintaimu, Arga, bukan harta yang kau
miliki. Tapi hatiku tidak bisa tenang jika tradisi ini menghancurkan kita!”
Arga
terdiam. Suara hatinya berkonflik, terjepit di antara cinta dan tanggung jawab.
“Tapi... bagaimana jika semua ini benar-benar berakhir? Apakah kita siap
mengambil risiko ini?”
Melati
mendekat, menggenggam tangan Arga dengan erat. “Kita bisa mencari jalan tengah.
Mungkin ada cara untuk mengubah pandangan mereka. Tradisi bisa saja berubah,
jika kita berani berbicara.”
“Berani?
Kita bukan satu-satunya yang berperan. Keluargaku akan marah,” Arga ragu.
“Maka
kita bicarakan bersama,” kata Melati, semangatnya mulai menyala. “Jangan
biarkan ketakutan menghentikan kita. Kita harus berjuang untuk cinta ini!”
Hari
yang ditentukan semakin dekat, dan seluruh penduduk desa bersiap menyaksikan
upacara belis. Arga masih berjuang, tapi hatinya diliputi kebimbangan. Melati,
di sisi lain, merasa terjebak di antara cintanya pada Arga dan tanggung jawabnya
terhadap keluarga serta tradisi. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk
mengalahkan tradisi yang menuntut lebih dari sekadar ketulusan hati?
Pulau Labire, dengan keindahannya yang magis, menjadi saksi bisu dari pergulatan dua hati yang terikat oleh cinta, tetapi terhalang oleh dinding tradisi yang kokoh. Di bawah langit yang memerah saat senja, ombak berbisik, membawa harapan dan keraguan mereka ke tengah lautan yang luas. “Kita harus bersiap,” bisik Melati, “karena cinta yang sejati akan selalu menemukan jalannya.”
Bagian 2: Gelombang Harapan dan Keraguan
Di
bawah langit malam yang jernih, bintang-bintang bertaburan seperti taburan
kilauan permata di atas samudera hitam pekat. Suara ombak yang memecah pantai
terdengar berirama, lembut namun pasti, seolah sedang menyanyikan lagu rahasia
yang hanya dimengerti oleh mereka yang mendengarkannya dengan hati. Di tepi
pantai itu, Arga dan Melati duduk bersisian, menikmati keheningan malam setelah
semua kehebohan desa perlahan mereda.
Angin
malam menyapu wajah mereka, membelai lembut, seolah mengerti segala kegundahan
yang menggulung dalam hati masing-masing. Arga menatap ke langit, lalu ke arah
Melati yang duduk bersandar di bahunya.
"Melati,"
suaranya terdengar berat, "kau tahu, aku selalu berpikir bahwa cinta kita
seperti ombak ini. Tak terduga, kadang datang dengan tenang, kadang penuh
gejolak. Tapi satu hal yang pasti, ombak itu selalu kembali ke pantai, sekeras
apapun ia terbawa arus."
Melati
tersenyum tipis, matanya menyusuri cakrawala gelap di hadapan mereka. "Dan
pantai... pantai tak pernah menolak ombak, berapa kali pun ombak datang dan
pergi." Ia menoleh menatap Arga. "Begitukah kita, Arga? Meski semua
ini terasa berat, cinta kita selalu menemukan jalannya kembali?"
Arga
menarik napas dalam, suaranya bergetar dengan kejujuran yang dalam. "Aku
ingin percaya itu, Melati. Tapi akhir-akhir ini, dengan semua desakan tentang “belis”,
aku mulai ragu. Aku mencintaimu lebih dari apapun, tapi apakah cinta ini bisa
bertahan di tengah segala tekanan? Aku takut jika aku tak bisa memberikan
cukup, aku akan kehilanganmu."
Melati
menggenggam tangan Arga erat, mencoba meyakinkannya meski hatinya sendiri
dipenuhi keraguan. "Arga, aku tak peduli dengan jumlah “belis”. Yang aku
inginkan hanyalah kau, kita, dan hidup yang kita bangun bersama. Tapi...
keluargaku, mereka menginginkan lebih. Kadang aku merasa terjebak di antara
cinta kita dan ekspektasi yang mereka taruh di pundakku."
Arga
terdiam, kata-kata Melati menancap di hatinya seperti bilah tajam. Ia tahu apa
yang Melati rasakan, karena ia pun merasakan hal yang sama tekanan dari
keluarga Melati, harapan masyarakat, dan tradisi yang begitu kuat menghimpit
mereka.
Malam
itu, di bawah bintang-bintang, mereka berbicara lama, membicarakan
impian-impian yang ingin mereka kejar bersama, dan juga keraguan yang
membayangi. Ada saat-saat di mana keduanya tertawa, merenungkan betapa indahnya
hidup jika hanya ada mereka berdua tanpa harus memikirkan segala tradisi yang
membebani. Namun, ada juga momen di mana keheningan hadir, mengisi ruang antara
mereka dengan kecemasan yang tak terucapkan.
"Cinta
kita adalah ombak," gumam Melati pelan, memecah keheningan. "Datang
dan pergi, tapi selalu kembali."
Namun,
malam itu bukan hanya malam yang indah. Badai mulai mendekat dalam bentuk keraguan
keluarga Melati. Ibunya, seorang wanita yang bijaksana namun sangat terikat
oleh adat, mulai meragukan kemampuan Arga untuk memenuhi “belis”. Di mata
keluarganya, cinta bukanlah sekadar rasa; itu juga tentang tanggung jawab
sosial dan kehormatan yang harus dijaga.
"Melati,"
ibunya memanggil suatu sore, suaranya tenang namun serius. "Apakah kau
yakin dengan Arga? “Belis” bukan hanya soal mahar. Ini tentang bukti bahwa dia
bisa memberikanmu kehidupan yang layak. Kau anak dari keluarga yang dihormati
di pulau ini, dan kau tahu bahwa kami memiliki tanggung jawab menjaga nama baik
keluarga."
Melati
menunduk, hatinya berkonflik. "Aku tahu, Bu. Tapi cinta kami... aku
percaya pada Arga."
Ibunya
tersenyum, tetapi sorot matanya penuh keraguan. "Cinta memang penting,
Nak. Tapi cinta saja tidak cukup dalam dunia kita yang penuh dengan adat. Kau
harus memastikan bahwa dia bisa menghadapi semua ini. Sebab, setelah
pernikahan, kehidupan akan jauh lebih sulit."
Kata-kata
itu menghantui Melati. Ia tahu ibunya tidak bermaksud jahat, tapi tekanan ini
mulai menggoyahkan keyakinannya. Bisakah Arga memenuhi semua harapan yang
dibebankan kepadanya? Dan yang lebih penting, bisakah mereka bertahan melawan
semua tekanan yang datang dari luar?
Di
sisi lain, Arga semakin terseret dalam pusaran kecemasan. Ia merasakan
ketegangan yang tak pernah berhenti harapan dari masyarakat, desakan keluarga
Melati, dan keraguannya sendiri. Suatu malam, di ambang keputusasaan, Arga
membuat keputusan. Ia harus menemukan cara untuk memenuhi “belis”, bagaimanapun
caranya.
"Aku
akan melakukannya," gumam Arga pada dirinya sendiri. "Aku akan
memberi mereka apa yang mereka inginkan, bahkan jika aku harus mengorbankan
diriku sendiri."
Arga
mulai merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar bekerja keras di ladang. Ia
tahu, dengan usahanya sekarang, ia tak akan mampu memenuhi “belis” dalam waktu
yang singkat. Maka, ia memutuskan untuk mengambil risiko berlayar ke pulau
seberang, mencari pekerjaan yang lebih baik, atau bahkan meminjam uang dari
mereka yang kaya di sana, meski ia tahu resikonya besar.
Sementara
itu, Melati mulai merasakan jarak yang semakin besar antara mereka. Arga sering
pergi tanpa kabar, terperangkap dalam upayanya untuk memenuhi ekspektasi yang
tak henti menghantam mereka. Cinta mereka mulai terasa seperti ombak yang
semakin menjauh dari pantai, seakan terhanyut oleh badai harapan dan keraguan
yang tak kunjung reda.
"Arga,"
bisik Melati pada malam saat ia menatap bintang-bintang yang kini terasa jauh.
"Kembalilah. Cinta kita adalah ombak, selalu kembali. Jangan biarkan badai
ini merenggut kita."
Namun, Arga sudah jauh, berjuang di tengah badai yang ia ciptakan sendiri.
Bagian 3: Badai yang Menghantam
Badai
yang mereka khawatirkan akhirnya tiba. Malam itu, di rumah keluarga Melati,
seluruh keluarga besar berkumpul. Wajah-wajah tegang menyelimuti ruangan yang
biasanya dipenuhi tawa hangat. Kini, hanya ada pembicaraan serius dan
perdebatan yang berbisik seperti angin kencang yang menghantam dinding rumah.
Di sudut, Melati duduk diam, merasakan dadanya terhimpit seakan tak ada udara
yang cukup untuk bernapas. Di seberangnya, Arga berdiri, memandang rendah ke
lantai, berusaha menahan beban yang semakin menghimpitnya.
Ayah
Melati, seorang pria yang keras dan dihormati di desa, berbicara dengan nada berat.
““Belis” bukan hanya tentang uang atau harta benda. Ini tentang kehormatan
keluarga kita, Melati. Keluarga besar telah menunggu hari ini, dan kita tidak
bisa mengabaikan tanggung jawab yang datang bersama adat ini.”
Arga
menelan ludah, merasa setiap kata ayah Melati seperti palu yang menghantam
hatinya. Ia tahu, meski cinta Melati padanya tulus, di hadapan keluarga besar,
ia tak lebih dari seorang pemuda yang belum mampu memenuhi ekspektasi adat yang
begitu kaku. Tekanan semakin terasa saat semua mata tertuju padanya, menuntut
jawaban yang belum tentu bisa ia berikan.
“Ayah,
aku mengerti kehormatan keluarga. Tapi, cinta kami tak bisa hanya diukur dengan
“belis”,” Melati berkata, suaranya bergetar namun tegas. “Cinta bukan hanya
sekadar angka, bukan tentang seberapa besar harta yang bisa diberikan.”
Ayahnya
mendengus, sorot matanya tajam. “Kau terlalu muda untuk memahami ini, Melati.
Di dunia kita, cinta tidak cukup. Apa yang akan kau makan dengan cinta itu?
Bagaimana kau bisa hidup tanpa dasar yang kuat?”
Ketegangan
di ruangan itu semakin terasa, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Mata
Melati berkilat penuh amarah dan kesedihan. “Apakah kita hidup hanya untuk
memenuhi ekspektasi orang lain? Apa artinya semua ini jika kita kehilangan
orang yang kita cintai di dalam prosesnya?”
Ibunya,
yang duduk di sebelah ayah Melati, memandang putrinya dengan wajah prihatin.
“Melati, kau tahu kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami ingin kau hidup
dalam keadaan yang layak, tanpa kekurangan. Tradisi ini sudah ada selama
ratusan tahun, dan itu menjaga kehormatan kita.”
Namun,
bagi Melati, setiap kata yang keluar dari mulut keluarganya seperti angin yang
dingin. Ia merasa sendirian, meskipun dikelilingi oleh orang-orang yang
seharusnya mengerti perasaannya. Ia mencintai Arga dengan segenap hatinya, dan
cinta itu tak bisa diukur dengan materi atau tradisi. Ia tahu Arga berjuang
keras, dan Melati tak ingin tradisi ini menjadi penghalang cinta mereka.
Melati
akhirnya berdiri, menatap ayahnya dengan penuh keberanian. “Ayah, “belis”
memang penting bagi kita, tapi cinta lebih dari itu. Aku mencintai Arga bukan
karena apa yang bisa dia berikan, tapi karena siapa dia. Apakah kehormatan
keluarga lebih penting dari kebahagiaan kami?”
Suasana
tegang memuncak, ayah Melati terdiam, wajahnya mengeras. Semua orang di ruangan
itu tahu bahwa pernyataan Melati tidak hanya menantang ayahnya, tapi juga
menantang adat yang telah lama dijunjung tinggi oleh keluarga dan masyarakat
pulau.
Arga,
yang sejak tadi diam, akhirnya mengumpulkan keberaniannya. Ia tahu ini adalah
momen yang menentukan bukan hanya bagi dirinya dan Melati, tapi juga masa depan
mereka. “Pak, Bu,” katanya dengan suara serak, “Saya memang bukan orang kaya,
tapi saya bekerja keras. Saya berjanji akan memberikan yang terbaik untuk
Melati, meskipun itu berarti saya harus berjuang lebih keras lagi. Tapi saya
mohon, jangan ukur cinta kami dari besar kecilnya “belis”. Cinta kami lebih
kuat dari sekadar harta benda.”
Kata-kata
Arga mengalir seperti ombak yang menghantam karang, namun karang itu tak goyah.
Ayah Melati menggelengkan kepala, masih dengan nada dingin. “Arga, ini bukan
tentang dirimu saja. Ini tentang seluruh keluarga dan kehormatan yang kami
jaga. Kau mungkin tidak mengerti, tapi kami tak bisa mengabaikan apa yang telah
diatur oleh adat.”
Keheningan
menyelimuti ruangan. Melati merasakan air mata mulai menggenang di sudut
matanya, tapi ia tak ingin menunjukkan kelemahan. Ia tahu bahwa ini adalah
momen di mana ia harus memilih antara cinta dan tradisi yang mengikatnya.
“Aku
tidak akan menikah jika ini hanya tentang “belis”,” akhirnya Melati berkata,
suaranya tegas meski hatinya bergetar. “Jika “belis” adalah ukuran dari cinta,
maka aku tidak butuh itu. Aku butuh Arga, bukan apa yang dia punya.”
Reaksi
keluarga Melati beragam. Ibu Melati menatap putrinya dengan campuran
kebingungan dan kepedihan. Ayahnya mengerutkan dahi, tampak marah namun juga
tak berdaya menghadapi keteguhan hati putrinya.
"Apa
kau akan melawan kami, Melati?" Ayahnya berkata, nadanya tajam.
"Melawan adat yang telah menjaga kita selama ini?"
Melati
menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak melawan adat, Ayah. Aku hanya
ingin kita menghormati cinta yang ada di antara kami. Cinta bukan hanya tentang
angka, tetapi dua jiwa yang bersatu."
Suasana
hening, badai di dalam hati setiap orang di ruangan itu semakin terasa.
Akhirnya, ibunya berdiri dan meletakkan tangan lembut di bahu Melati. “Kadang,
cinta membutuhkan pengorbanan,” katanya pelan, tapi suaranya penuh arti. “Dan
pengorbanan terbesar adalah ketika kita mampu melepaskan apa yang kita anggap
benar untuk kebahagiaan orang yang kita cintai.”
Kata-kata
ibunya seolah menjadi penyejuk di tengah badai. Melati tersentuh, begitu juga
Arga. Ayah Melati terdiam, wajahnya perlahan melunak. Mungkin, untuk pertama
kalinya, ia melihat apa yang dilihat oleh Melati dan Arga bahwa cinta, meskipun
diuji oleh tradisi dan ekspektasi, memiliki kekuatan yang tak terukur.
“Aku
akan berjuang untuk kita,” Melati berkata pelan pada Arga. “Apapun yang
terjadi, aku akan berdiri di sisimu, bahkan jika itu berarti harus melawan
dunia.”
Arga menggenggam tangan Melati, merasa hatinya hangat meski badai belum sepenuhnya berlalu. Mereka tahu, di hadapan mereka masih banyak tantangan. Namun, seperti ombak yang selalu kembali ke pantai, cinta mereka akan terus datang, tak peduli seberapa jauh badai mencoba menyeretnya pergi.
Bagian 4: Simfoni Cinta yang
Mengalahkan Tradisi
Hari
yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Fajar menyingsing dengan lembut di atas
pulau, dan langit membentang seperti kanvas dengan warna-warna keemasan yang
berbaur dengan biru samudra. Hari pernikahan Arga dan Melati terasa magis udara
dipenuhi ketegangan yang bercampur dengan harapan. Di rumah Melati, sang
pengantin duduk dalam keheningan, mengenakan pakaian tradisional yang indah.
Matanya menatap pantulan wajahnya di cermin, tapi pikirannya melayang jauh,
menembus ruang dan waktu, kembali ke momen-momen di mana cintanya untuk Arga
diuji oleh adat dan tradisi.
Sementara
itu, Arga, dengan hati berdebar, memegang erat barang-barang yang telah ia
kumpulkan selama ini untuk ritual “belis”. Setiap benda yang ia genggam adalah
simbol dari usaha kerasnya, perjuangan tanpa lelah untuk membuktikan bahwa
cintanya lebih dari cukup. Ia tahu, di balik barang-barang itu, ada lebih dari
sekadar nilai material ada cinta, pengorbanan, dan janji yang ingin ia berikan
kepada Melati.
Arga
berdiri di tepi pantai sejenak, menarik napas dalam-dalam sembari memandang
ombak yang berlarian menuju pasir. “Cinta kami adalah ombak,” pikirnya, “kadang
tenang, kadang bergelora, tapi selalu kembali ke pantai, ke tempat yang
seharusnya.”
Waktu
seolah bergerak lambat saat Arga dan Melati bersiap menghadapi momen terpenting
dalam hidup mereka. Di bawah tenda tradisional yang dihiasi kain tenun
berwarna-warni, keluarga besar berkumpul, mata mereka tajam mengamati setiap
gerakan pasangan itu. Para tetua adat sudah menanti, siap memimpin ritual “belis”
yang sakral.
Melati
menatap Arga dari kejauhan. Tatapan mereka bertemu, dan dalam diam mereka
berbicara, saling menguatkan. Ketegangan yang merayapi tubuh mereka larut dalam
senyuman yang seolah mengatakan, “Apa pun yang terjadi, kita akan melewati ini
bersama.”
“Apakah
kau siap?” Arga berbisik kepada Melati saat ia mendekatinya. Tangannya gemetar,
tapi ada keberanian di balik kegugupan itu. Melati mengangguk, tangannya yang
dingin menggenggam erat tangan Arga. “Aku siap, selama kau ada di sisiku,”
jawabnya lembut.
Saat
ritual “belis” dimulai, semua mata tertuju pada Arga. Dengan penuh hormat, ia
menyerahkan barang-barang yang telah dikumpulkan: hasil jerih payah dari
bulan-bulan panjang bekerja keras. Harta itu mungkin tak seberapa dibandingkan
dengan apa yang diharapkan oleh keluarga Melati, tapi bagi mereka berdua, itu
lebih dari sekadar benda; itu adalah simbol cinta dan komitmen mereka yang tak
tergoyahkan.
Saat
barang terakhir diletakkan di hadapan para tetua, suasana menjadi hening. Mata
semua orang, termasuk keluarga Melati, terfokus pada momen itu. Detik-detik
berlalu dalam keheningan, hingga salah satu tetua angkat bicara.
"Ini
adalah hari di mana cinta dan adat bertemu," kata sang tetua, suaranya
penuh kebijaksanaan. "Apa yang diserahkan Arga hari ini bukan hanya
sekadar harta benda, tetapi juga sebuah janji janji untuk melindungi dan
mencintai Melati dengan segenap hatinya."
Arga
menatap Melati, hatinya penuh harapan dan ketegangan. Ia merasakan beban adat
yang masih menggantung di udara, namun ada kekuatan baru yang muncul dari cinta
mereka. Di hadapan semua orang, Arga mengangkat suaranya.
“Belis
ini mungkin tidak sebesar yang diharapkan, tapi ini adalah bukti dari cinta
saya yang tidak terbatas. Cinta yang melampaui harta benda, melampaui tradisi.
Apa pun yang terjadi, cinta kita adalah yang terpenting,” ucap Arga, suaranya
mantap meski hatinya berdebar keras.
Melati,
dengan mata yang berkaca-kaca, meraih tangan Arga. “Kita di sini bukan hanya
untuk memenuhi ekspektasi adat, tapi untuk memperjuangkan cinta yang kita
yakini. Cinta bukan tentang angka, tapi tentang dua jiwa yang bersatu, siap
menghadapi segala badai bersama.”
Mendengar
kata-kata itu, keluarga Melati awalnya diam. Ayahnya, yang sejak awal sangat
menjunjung tinggi adat, memandang pasangan itu dengan sorot mata tajam. Ada
keheningan panjang yang terasa seperti kekekalan. Lalu, ayah Melati berdiri,
napasnya berat.
“Belis
memang penting,” katanya perlahan, suaranya rendah namun penuh otoritas. “Tapi
setelah melihat ketulusan cinta kalian, aku menyadari bahwa cinta sejati tidak
bisa diukur dengan harta benda. Mungkin adat telah membuatku buta akan hal
itu.”
Semua
orang menahan napas, tak percaya dengan perubahan sikap sang ayah. Melati
memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca, penuh syukur. Perlahan, suasana di
sekeliling mereka berubah. Keluarga Melati, yang awalnya skeptis dan penuh
keraguan, mulai melunak. Mereka bisa merasakan kejujuran dalam cinta Arga dan
Melati cinta yang kuat dan tak tergoyahkan oleh adat atau tekanan.
Akhirnya,
tetua adat melangkah maju, tangannya terulur untuk menerima belis yang telah
diserahkan. “Belis ini,” katanya, “adalah gelombang yang mengalir lembut di
pantai, menyatukan semua harapan dan impian. Apa yang kalian tunjukkan hari ini
adalah cinta sejati, cinta yang bisa mengalahkan segala rintangan, bahkan tradisi
yang telah ada selama ratusan tahun.”
Suasana
haru menyelimuti tempat itu. Air mata mengalir di pipi Melati, bukan karena
kesedihan, tapi karena kebahagiaan yang tak terkira. Arga memeluk Melati erat,
merasakan seluruh beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang. Di
sekeliling mereka, keluarga yang tadinya meragukan cinta mereka, kini menerima
dengan hati yang terbuka.
--Yohanes Marianus Madu--