Bunda Maria, Simfoni Cinta yang Abadi
Gambar
ilustrasi berdoa pada bunda Maria.
Malam itu, rumah sakit
dipenuhi aroma obat-obatan yang menyengat. Menyelimuti ruangan dengan nuansa
dingin dan suram. Suara rintihan pasien memenuhi lorong rumah sakit, seolah
melahirkan simfoni kesakitan yang tak kunjung henti. Di sudut ruangan, Gloria
duduk termenung, matanya kosong, hati terjerat antara harapan dan keputusasaan.
Kenangan akan kedua orang tuanya yang terbaring di tempat tidur perawatan
menyiksanya, menyisakan rasa hampa yang tak tertanggungkan. Dalam kesunyian
malam, ia merasakan ketidakberdayaan, seperti burung terkurung dalam sangkar
emas.
Gloria adalah guru muda yang
penuh semangat, kehidupannya bagaikan lukisan indah yang dipenuhi warna-warni
kebahagiaan. Setiap pagi, senyumnya menghiasi wajah anak-anak di sekolah.
“Selamat pagi, anak-anak! Siapa yang siap belajar hari ini?” teriaknya ceria. Namun,
langit kebahagiaan itu mendung saat kedua orang tuanya jatuh sakit. Dalam
sekejap, mereka pergi meninggalkannya. Rasa kehilangan menggerogoti jiwanya,
menciptakan badai kemarahan dalam hatinya. “Mengapa, Tuhan? Mengapa kau ambil
mereka dariku?” desisnya dalam hening, tak menemukan jawaban.
Kehidupan sehari-hari Gloria
kini penuh kesedihan. Ia berjuang untuk menjalani peran sebagai ibu dan guru.
Di malam hari, saat bintang-bintang bersinar redup, ia merenung. “Kenapa aku
merasa begitu sendiri?” pikirnya, merasakan perasaan terasing yang menyiksa.
Hati yang penuh dengan rasa bersalah menghantuinya. Setiap suara derit kursi
atau ketukan pintu seakan mengingatkan pada kehilangan. “Di mana Kau, Tuhan?
Apakah Kau masih mengawasi?” tanyanya kepada langit yang gelap, tak ada jawaban
yang datang.
Suatu pagi di sekolah, saat
suara Doa Angelus menggema, Gloria tersentuh. Melodi itu membawa kenangan indah
saat ia berdoa Gloria bersama ibunya di gua Maria. “Ibu, mengapa kita selalu
berdoa di sini?” tanyanya kecil. “Karena Bunda Maria selalu mendengarkan kita,
nak,” jawab ibunya lembut. Sekarang, kenangan itu menghangatkan hatinya,
membangkitkan rasa ingin tahu tentang peran Bunda Maria dalam hidupnya. “Apakah
Bunda Maria akan mendengarkan doaku?” tanyanya dalam hati, berharap ada sinar
harapan.
Dengan langkah berani, Gloria mulai berdoa kembali,
mengajak Natalia, putrinya, untuk ikut. “Natalia, maukah kamu berdoa bersama
Ibu malam ini?” tanyanya dengan penuh harap. “Tentu, Bu! Mari kita doakan Nenek
dan Kakek,” jawab Natalia ceria. Kegiatan berdoa bersama membuat ikatan mereka
semakin kuat. Gloria juga memutuskan untuk melakukan ziarah ke gua Maria,
berharap menemukan kedamaian di tempat yang penuh kenangan. Di sana, di tengah
keheningan, ia merasakan kehadiran yang menenangkan, seolah Bunda Maria
mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Selain melakukan ziarah ke gua
Maria, Gloria mencoba menulis buku. Menulis menjadi pelarian baru bagi Gloria.
Ia mengajak murid-muridnya untuk membuat antologi puisi. “Mari kita tulis
tentang kasih dan kehilangan. Setiap kata adalah pengingat bahwa cinta tidak
akan pernah hilang,” ujarnya dengan semangat. Melalui setiap bait yang ditulis,
ia mulai memahami arti sejati dari kasih dan pengorbanan. Meski rasa sakit akan
kepergian orang tuanya semakin dalam, tulisan-tulisan itu memberikan
penghiburan, seolah mereka hadir kembali dalam setiap kalimat.
Gloria terlibat dalam kegiatan
komunitas di gereja. “Ayo, anak-anak! Kita akan latihan koor! Mari tunjukkan
suara kita untuk Tuhan!” teriaknya penuh semangat. Mengajarkan nilai-nilai
kasih kepada murid-muridnya memberikan makna baru dalam hidupnya. Dukungan dari
teman-teman dan komunitas membuatnya merasa tidak sendirian. “Glo, kau tidak
sendiri. Kami akan selalu ada untukmu,” ucap sahabatnya, menggenggam tangannya.
Setiap langkah kecil menuju penyembuhan membuatnya merasa lebih kuat.
Seiring berjalannya waktu,
konflik batin Gloria mulai mereda. Ia merasakan kehadiran Bunda Maria lebih
nyata. “Aku tidak sendirian,” bisiknya, menenangkan dirinya sendiri. Rasa sakit
yang dulunya menghantui kini berubah menjadi motivasi untuk membantu orang lain
yang mengalami kesedihan. Dalam momen merenung, Gloria merasa terhubung dengan
Bunda Maria, merasakan kasih yang abadi. “Terima kasih, Bunda, untuk cinta yang
kau berikan,” ucapnya penuh rasa syukur.
Gloria akhirnya menemukan
kedamaian. Ia menerima kenyataan kehilangan yang telah mengubah hidupnya dan
mulai membangun masa depan baru bersama Natalia putri kecilnya. “Ibu, apakah
kita bisa berbagi kasih kepada orang lain?” tanya Natalia. “Tentu, sayang.
Cinta yang kita miliki harus dibagikan,” jawab Gloria sambil tersenyum. Dalam
hati yang penuh syukur, Gloria berbisik terima kasih kepada Bunda Maria,
merasakan kekuatan untuk melanjutkan hidup dengan harapan yang tak pernah
pudar.
Gloria merenungkan perjalanan emosionalnya, menyadari pentingnya kasih dan pengharapan. Dalam setiap kegelapan, ada cahaya yang selalu bersinar. Cinta, dalam berbagai bentuknya, mampu mengubah hidup, menjadikan setiap langkah penuh makna. Melalui simfoni cinta yang abadi, Gloria menemukan jalan pulang ke dalam diri, mengajarkan bahwa meski hidup penuh tantangan, harapan selalu ada untuk mereka yang percaya.
-Petrosa Eseng-